Jumat, 12 Juni 2009

Telaah Burdieu 1

Memuja "Keaslian" Local Genious (Tanggapan Tulisan Damanhuri

* Asarpin, Aktivis Urban Poor Consortium (UPC), tinggal di Jakarta

Minat terhadap cara-cara pemecahan masalah sumber daya dan perubahan sosial pada tingkat lokal membawa sejumlah besar pendekatan baru ke dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora saat ini. Banyak di antaranya diilhami penemuan kembali apa yang disebut sebagai pengetahuan asal (indigenous knowledge). Fenomena ini sebetulnya bukan sesuatu yang baru, setidaknya sejak buku P. Richard, Indigenous Agricultural Revolution (1985) dilansir ke pasaran perbukuan, wacana ini telah melahirkan perdebatan cukup panjang seputar pengetahuan-pengetahuan yang berbasis lokalitas. Pun tak terkecuali di Indonesia, seperti yang dinyatakan Damanhuri dalam tulisannya di harian ini, "Agama dan Kearifan Lokal" (Lampung Post, 11 Oktober 2004).

Kajian poskolonial atau local genious telah merambah tidak hanya pada wilayah ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Belakangan, kajian semacam itu telah mewarnai analisis-analisis di bidang teologi (seperti dalam tulisan Damanhuri yang disebutkan di atas), pengetahuan lingkungan, antropologi, dan cultural studies. Tulisan ini mencoba menyoroti berbagai perspektif itu dengan melihat adanya kecenderungan peminat kajian poskolonial memuja berlebihan semangat yang ditawarkan studi poskolonial.

Teologi Poskolonial dan Ekopopulisme

Damanhuri dengan lantang mengkritik gerakan "Islam murni" yang menurut dia telah "memangkirkan" persoalan-persoalan local genious. Semangat pembaruan yang diusung "Islam murni" telah berisiko mencampakkan pengetahuan-pengetahuan lokal ke tong sampah peradaban umat manusia. Padahal, menurut dia, pengetahuan-pengetahuan lokal masih perlu didialogkan secara kritis dengan nilai-nilai agama.

Teologi poskolonial, menurut Damanhuri, adalah teologi yang "tidak memangkirkan secara total warisan teologi lama itu, tetapi tetap meminjamnya dengan melakukan negosiasi (lewat resistensi maupun adaptasi) atasnya sembari tidak meluputkan upaya terus-menerus menengok nilai-nilai tradisional--yang sama pentingnya--agar selalu mampu menunjukkan "ke-Lain-an" dirinya (otherness)".

Dipertegas pada pertanyaan di bagian akhir, "berlebihankah jika nilai-nilai agama disambut sembari tidak memangkirkan nilai-nilai lokal yang indigeneous? Salahkah jika kita tetap memelihara keduanya sekaligus tanpa menyisihkan salah satunya? Apakah upacara Seren Taun yang dilakukan setiap tahun masyarakat Sunda di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, atau tradisi matrilineal yang dipeluk teguh masyarakat Sumatera Barat--sekadar mengambil dua contoh indigeneous values--harus dilucuti dan disepak jauh-jauh ke luar praktek keagamaan (yang dianggap) sahih hanya karena tak ditemukan presedennya dalam teks-teks keagamaan?

Jika Damanhuri cukup jeli, pertanyaan-pertanyaan semacam itu bukanlah ciri khas pertanyaan-pertanyaan teologi poskolonial. Bukankah sudah puluhan tahun kita kenal masyarakat Sumatera Barat menganut prinsip adat basanding syarak, syarak basanding kitabullah (adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah). Dalam tradisi NU kita sering dengar prinsip yang selalu digemborkan, al-muhafadzah 'ala al-qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yakni memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil/meminjam sesuatu yang baru yang lebih baik?

Jika pembacaan Damanhuri terhadap teologi poskolonial tidak jauh berbeda dari dua prinsip tradisi di atas, lalu apa yang subversif dari teologi poskolonial semacam itu? Bukankah kedua tradisi itu telah jauh-jauh hari mengafirmasinya dan tanpa "menerbitkan keberatan di benak sebagian orang"? Dengan mengajukan pertanyaan ini lebih jauh, apakah "nilai-nilai agama yang tidak memangkirkan nilai-nilai lokal" itu merupakan roh dari semangat teologi poskolonial? Di sini saya meragukan cara pembacaan teologi poskolonial semacam itu. Jika keraguan ini nyata, saya melihat Damanhuri belumlah sepenuhnya bisa keluar dari cara berpikir tradisi "Islam murni".

Jika sikap teologi poskolonial tidak memangkirkan nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai lokal, apa bedanya dengan teologi kontekstualnya Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang menurut Anda "menyingkap adanya akomodasi timbal balik antara tradisi dan ajaran Islam"? Atau apa bedanya dengan pribumisasi Islam-nya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang jauh-jauh hari telah mengusung semangat teologi berbasis lokalitas? Mengapa kedua tokoh ini diletakkan dalam satu gerbong dalam "agama kolonial" jika model berpikirnya ternyata tidak jauh berbeda dengan "teologi poskolonial" yang Anda maksudkan? Bukankah "akomodasi timbal balik" antara tradisi dan ajaran Islam (Cak Nur) atau pribumisasi Islam (Gus Dur) sama yang Anda maksudkan dengan teologi poskolonial yang ingin "memperjumpakan" antara Islam dan tradisi, teologi yang menolak pemangkiran atas lokalitas? Di sinilah letak inkonsistensi berpikir yang menjebak analisis-analisis yang dikemukakan Damanhuri.

Pembacaan Damanhuri atas pribumisasi Islam-nya Gus Dur juga masih perlu dipertanyakan. Meskipun di satu sisi Damanhuri mencoba "mengeluarkan" pemikiran Gus Dur dari peta mainstream "teologi tajdid", tapi pembacaannya atas pribumisasi Islam menjadi sangat parsial. Di satu sisi ia melihat adanya benih-benih "teologi berbasis lokalitas" dalam pemikiran Gus Dur, di sisi lain ia menuduh Gus Dur masih terjebak menggunakan standar penilaian teologis dalam melihat persoalan lokalitas. Dengan kata lain, Gus Dur, menurut Damanhuri, masih meletakkan teks-teks keagamaan (baik teks pertama maupun teks-tekas derivatnya) sebagai pusat wacana dan titik-berangkat berteologi, sedangkan konteks "menjelma jadi sekadar pelengkap yang (tak jarang) justru harus dijinakkan, disubordinasikan, demi kepentingan penafsiran atas teks-teks keagamaan tersebut". Sebuah tuduhan yang tidak dilandasi pembacaan yang jernih dan utuh. Bukankah Gus Dur selalu berulang-ulang mengkritik mereka yang selalu menjadikan teks-teks keagamaan (Alquran dan Al-Hadis) sebagai sandaran teologis dalam mendiskusikan isu-isu pribumisasi Islam dan pluralisme agama?

Dalam wilayah ekologi, ternyata apa yang menjadi kegelisahan Damanhuri juga tidak jauh berbeda. Dalam wilayah ini juga dikenal dengan istilah "lingkungan murni", yakni gerakan lingkungan yang harus "murni lingkungan". Lingkungan harus dibersihkan dari segala anasir-anasir yang terdapat di dalamnya, termasuk lingkungan permukiman rakyat yang dianggap mengganggu dan kumuh. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul diseputar penganut "lingkungan murni" adalah apakah gerakan lingkungan lantas harus berurusan dengan persoalan-persoalan politik ekonomi global maupun lokal? Pertanyaan ini terutama tertuju kepada banyak sekali organisasi atau kelompok pecinta atau pemerhati masalah lingkungan yang sering menggunakan retorika bahwa gerakan lingkungan harus "murni lingkungan" dan jangan tersesat menjadi gerakan politik.

Menurut Mansour Fakih, dalam dasawarsa terakhir ini telah muncul istilah ekopopulisme dalam gerakan lingkungan sebagai upaya menjembatani dialog kritis antara mereka yang menganut paham gerakan "murni lingkungan" dan yang menganut paham "adanya saling keterkaitan antara lingkungan dan politik dan politik ekonomi". Penggagas awal gerakan ekopopulisme ini tak bisa dilepaskan dari Ton Dietz, guru besar geografi lingkungan di Universitas Amsterdam, Belanda (Mansour Fakih, 1998: viii).

Dalam pemilahan Ton Dietz, ada dua pendekatan yang menjadi sorotan penggagas gerakan ekopopulisme di dunia: pendekatan pertama apa yang disebut dengan pendekatan ekopopulisme kuat (strong ecopopulism), yang kedua dikenal dengan pendekatan ekopopulisme lemah (weak ecopopulism). Pendekatan yang pertama menekankan pentingnya pengalaman-pengalaman orang lokal dan inovasi-inovasi keliru yang diperkenalkan dari luar. Berkaitan dengan lingkungan, tekanan diberikan pada pentingnya "pengetahuan lama" yang diwariskan generasi oral. Ini bisa berupa pengetahuan rakyat tentang tanah, dongeng-dongeng atau religi. Bisa juga berupa pengetahuan yang dimiliki pakar lokal seperti peracik obat-obatan, pawang hujan, dan pemimpin ritual-ritual suci. Bagi penganut ekopopulisme kuat, hanya yang bersifat lokal saja yang menarik. Dunia luar sering dilihat sebagai sesuatu yang mengancam, termasuk negara.

Pendekatan kedua melihat pengetahuan lokal terlihat menjadi sama pentingnya dengan apa yang disebut pengetahuan ilmiah. Beberapa pihak tidak lagi melihat perbedaan yang kontras antara pengetahuan lokal dan pengetahun ilmiah. Yang dipermasalahkan bukanlah apa yang dianggap ilmuwan pertanian atau lingkungan sebagai kebenaran, tetapi bagaimana petani menggabungkan berbagai gagasan inovatif termasuk beberapa gagasan ilmiah yang sudah diubah-sesuaikan dan membangun kebenaran menurut mereka sendiri. Pemikiran ini dibangun berdasarkan filsafat dari suatu kepercayaan kuat terhadap kemampuan rakyat melakukan inovasi (Ton Dietz, 1998: 39-46).

Baik kaum ekopopulis kuat maupun ekopopulis lemah telah menemukan kembali nilai berharga dari pertanian ekologis. Konsep kunci yang menjadi acuan kedua kelompok ini terletak pada persoalan nilai. Apa yang mereka anggap bernilai, justru dianggap penyuluh pertanian dan kehutanan--yang terlatih dalam "ilmu-ilmu murni"--sebagai sesuatu yang tradisional dan ketinggalan zaman.

Meskipun terdapat perbedaan yang cukup mencolok dari dua pendekatan tersebut, ada beberapa sisi persamaan keduanya. Baik kaum ekopopulis kuat maupun ekopopulis lemah, keduanya cenderung mengidealisasikan masyarakat-masyarakat lokal. Mereka cenderung mendramatisasi nilai-nilai pluralitas dan partisipasi dengan bahasa yang terdengar indah dan romantis, seperti kearifan lokal, narasi-narasi lokal, warisan budaya lokal, yang sebenarnya hanyalah piranti-piranti kecil yang belum teruji.

Dari Antropologi ke Cultural Studies

Menurut Dagung Santikarma, melalui tangan Koentjaraningrat, salah seorang pendekar ilmu kebudayaan Indonesia, antropologi Indonesia menjadi alat penting untuk proyek nasionalisme. Praktek-praktek kultural yang sangat variatif dilihat menurut sebuah skala implisit yang mengukur sejauh mana kehidupan seseorang cocok dengan sebuah "kultur nasional" yang ideal.

Antropologi diberi tugas menggali "mentalitas budaya Indonesia" yang akan dijadikan modal sosial untuk menyokong pembangunan. Mahasiswa antropologi dikirim ke daerah-daerah "terpencil" untuk meneliti perilaku menabung, pola makan, sikap terhadap kebersihan, urusan mengisi waktu luang, nilai anak, budaya berlalu lintas, sampai pada konsep religi yang bisa dipakai "memperdayakan" yang "belum berbudaya". Sedangkan di pusat kekuasaan nasional di Jawa dan Bali, antropolog-antropolog dikerahkan mengumpulkan informasi tentang "puncak-puncak kebudayaan" daerah yang mampu mempromosikan keberadaban Indonesia (Dagung Santikarma, "Pentas Antropologi di Indonesia", Kompas, 7 Juli 2004).

Para antropolog modern melihat masyarakat-masyarakat suku sebagai objek yang dianggap kurang beradab, primitif, terasing, irasional, atau istilah "komunitas adat terpencil". Dengan mudah kita akan menemukan bentuk eksploitatif dari sarjana antropologi mulai dari B. Malinowsky, A.B. Taylor, E.E. Evans Pritchard, Clifford Geertz, dan Levi Strauss untuk konteks dunia, atau Koetjaraningrat, Parsudi Suparlan untuk Indonesia. Berbeda misalnya, dengan gagasan-gagasan George Junus Aditjondro dalam analisisnya yang menempatkan kepentingan kelompok tertindas sebagai satu-satunya indikator baik buruknya gerakan antropologi dan lingkungan. Berbeda dengan antropologi, sebagai praktek intelektual, cultural studies membedakan dirinya dengan arus "pemikiran utama", seperti kritik sastra, sejarah seni, atau antropologi melalui fokus terhadap teks yang diciptakan kelompok pinggiran, seperti komik, seni rakyat, pelesetan, media alternatif, dan bentuk-bentuk ekspresi tandingan yang ada di luar jalur hegemonik. Cultural studies mencoba memberi suara pada perlawanan sehari-hari "kaum (di) miskin (kan)" terhadap diskursus dominan. Namun, usaha ini belum juga mampu keluar dari hubungan kekuasaan yang melilit cultural studies di Indonesia untuk mengangkat suara mereka yang terbungkam. Di sini pemahaman seorang sosiolog pasca-marxis, Pierre Bourdieu, memang penting. Menurut Bourdieu, kekuasaan bekerja bukan hanya lewat kelas dalam arti hubungan yang tidak adil dengan means of production di dunia ekonomi, tetapi lewat produksi dan reproduksi "modal simbolis". Menurut Bourdieu, tidak ada subjek yang bebas dari kekuasaan dan tidak ada ruang sosial yang steril dari kuasa (Ibid).

Pemujaan atas Local Genious

Jika antropologi dipakai "memangkirkan" penciptaan budaya kaum mustad afin dan melihat perjuangan sehari-hari mereka sebagai sesuatu yang tidak punya nilai, sebagai cermin peradaban. Cultural studies menyulap sistem penilaian tersebut dan menciptakan definisi baru "kebudayaan". Namun, menurut Bourdieu, kekuasaan juga berfungsi lewat habitus orang, praktek-praktek yang terbadankan yang mengandung trace of structural violence atau jejak kekerasan struktural yang melekat dalam hubungan sosial sehari-hari.

Sekarang di Indonesia memang ada upaya meninggalkan apa yang disebut "aliran struktural-fungsional" dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Mereka mengajukan alternatif melalui pendekatan dekontrukstif dengan pembongkaran makna melalui tafsir hermeneutis, poskolonial yang memberi ruang pada pluralitas-lokalitas, sampai pada apa yang disebut cultural studies yang membedah politik representasi, media massa dan konsumtivisme. Mereka sering berteriak lantang ketika ada sistem kepercayaan yang dianut sekelompok orang tak diakui atau kurikulum yang tak bermuatan lokal, tetapi mereka tak terusik ketika masyarakat yang dikaji tidak makan.

Ketimbang bermuluk-muluk dengan sesuatu yang masih belum jelas duduk perkaranya, apalagi ia menjadi terlalu muluk pula menjadi kenyataan atau menjadi model ideal (ideal type) suatu tatatan masyarakat multikulturalis, local genious lebih banyak mengandung ketidakjelasan. Apalagi jika dilihat dari sejarah kemunculannya, beberapa gagasan indigeneous values seperti dikemukakan di atas sering terjebak dalam bentuk reaksioner yang memuja berlebihan atas "keaslian" local genious dan memunculkan sikap tidak kritis terhadap perkembangan yang terjadi di luar komunitas?

Bukankah jauh-jauh hari sejak kemunculannya, Rajeswari Sunder Rajan telah mengkritik kecenderungan studi poskolonial, yang katanya sering luput dalam membahas isu kemiskinan, distribusi sesumber, kekerasan negara, pelanggaran hak asasi, sanitasi kota, dan pembangunan dalam arti luas. Sementara dalam bahasanya Phillip Darby, poskolonial adalah sebuah studi yang terlalu "mengambang" dan terlalu "open ended" (Lihat artikel Ilya F. Maharika, "Menegosiasikan 'Ruang' Politik 'Otherness' dan 'Other Space'", 2001).

Kalau teoretisasi yang diangkat Bourdieu itu benar--tidak ada subjek yang bebas dari kekuasaan dan tidak ada ruang sosial yang steril dari kuasa--maka untuk mengerti dominasi kuasa, tak cukup mengambil suara local genious sebagai "suara alamiah perlawanan" yang cukup tangguh. Menurut Dagung Santikarma, teks yang diproduksi "suara-suara lokalitas" masih diciptakan segelintir "brahmana" di antara ribuan massa paria. Dunia sosial berhierarki di antara pengemis, pelacur, eks tapol, narapidana, preman, dan buruh bukan hanya membuahkan solidaritas dan kearifan di antara mereka, tetapi juga saling hantam, saling jegal, bahkan saling bunuh karena struktur kehidupan yang membelenggunya.

1 komentar:

  1. Menarik sekali tulisannya, Pak... :)
    Bagaimana kalau Habitus Bourdieu ini dikaitkan dengan kondisi pariwisata sekarang ini, Pak?
    Ditempat saya itu sebenarnya banyak sekali potensi wisatanya, tetapi kalo saya amati kok kurang mendapatkan apresiasi dari pemerintah maupun masyarakat sendiri. Apakan dengan teori Bourdieu ini kita bisa menggali potensi lain dan elemen2 lain yang bisa digunakan untuk mengembangkan pariwisata ya Pak? terus terang saya prihatin dengan objek2 pariwisata di daerah saya. Mohon sarannya Pak :)

    BalasHapus