Selebritisasi Politik
Masyarakat dituntut kritis terhadap janji-janji politisi yang dilembagakan menjadi kontrak politik agar tampilan itu tidak sekadar menjadi topeng dari kepalsuan kontrak politik.
ULASAN Pemilu mengenai ‘Caleg Artis Berkibar…’ (Surya,11/4/2009) menarik diperdebatkan secara teoritik. Mengapa pada Pemilu kali ini, politisi selebritis lebih mudah mendulang suara, dibandingkan politisi nonselebritis sekalipun ia elite partai politik?
Rieke ‘Oneng’ Diah Pitaloka mengungguli perolehan suara Taufik Kiemas, yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI Perjuangan. Fenomena ini diikuti Marisa Haque Fawzi (PPP), Teuku Firmansyah (PKB), Derry Drajat (PAN), Rachel Maryam (Gerindra), Nurul Arifin (Golkar), Primus Yustisio (PAN), Buki Wikagoe (Gerindra) di Dapil masing-masing dan Wanda Hamidah (PAN) untuk DPRD DKI Jakarta.
Di Jawa Timur, keunggulan suara sementara politisi selebritis juga terjadi. Simak saja di Dapil I, ada nama Ratih Sanggarwati (PPP), Dapil II ada Chandra Pratomo Samiadji Massaid atau biasa disapa Adjie Massaid, Dapil VI ada nama Vena Mellinda (PD) dan Dapil VIII, ada artis asli Nganjuk Eko ‘Patrio’ (PAN).
Fenomena kemenangan politisi selebritis ini sesungguhnya implikasi dari sistem politik yang demokratis, dengan model sistem proporsional terbuka. Pada sistem ini siapa yang populer dan memiliki citra baik, akan dengan mudah dipilih oleh rakyat.
Dengan Keputusan MK No 22-24 yang membatalkan Pasal 214 dari UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka terjadi ruang kompetisi yang terbuka di antara kontestan caleg, karena penetapan anggota legislatif ditentukan dengan suara terbanyak.
Medan Perebutan
Bagi politisi selebritis arena kompetisi kekuasaan semacam ini semakin mudah dan murah untuk mewujudkannya. Hampir setiap saat popularitas dirinya terpublikasi media, yang memungkinkan masyarakat mengingatnya setiap saat dan bahkan memilihnya.
Sebaliknya, menjadi sulit dan mahal bagi kontestan yang bukan dari kalangan selebritis. Jika ingin terpilih, harus mengejar ketertinggalan popularitasnya dengan melakukan proses selebritisasi politik (politic celebration) lewat media secara masif.
Proses selebritisasi politik itu bisa dengan pola marketing politik (political marketing), promosi politik (political promotion) dan iklan politik (political advertishing).
Pola dalam melakukan proses selebritisasi politik ini, jelas sekali menempatkan media sangatlah utama, apakah media itu berbentuk cetak, elektronik, atau dengan media iklan politik yang lain, semisal baliho, banner, stiker dan lainnya.
Ya, media merupakan ranah kekuasaan. Pierre Bourdieu dalam karyanya Outline of a Theory of Practice (1977) dan Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1984) mengatakan, ranah (field) merupakan jaringan hubungan antar posisi objektif di dalamnya.
Media sebagai ranah kekuasaan merupakan arena pertarungan dan perjuangan. Struktur ranah medialah yang mempersiapkan dan membimbing strategi yang digunakan pengisi posisi tertentu yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi untuk memaksakan penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk sendiri.
Ranah media bagaikan pasar kompetisi, yang mempertaruhkan berbagai jenis modal (ekonomi, kultural, sosial, dan simbolik) digunakan dan disebarkan. Ranah media merupakan wilayah politik (kekuasaan) yang memiliki hirarki hubungan kekuasaan dan dapat membantu menata ranah yang lain.
Bourdieu menentukan tiga tahap proses menganalisis ranah. Pertama, menggambarkan keutamaan ranah kekuasaan (politik), untuk menemukan hubungan setiap ranah khusus dan ranah politik. Kedua, menggambarkan struktur objektif hubungan antarberbagai posisi di dalam ranah tertentu. Ketiga, penganalisis harus mencoba menentukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam ranah.
Ranah di sini ialah media, yang menjadi medan perebutan untuk marketing politik, komunikasi politik dalam bingkai mengenalkan program maupun politikus itu sendiri. Maka media dalam perspektif ini, benar-benar menjadi arena kekuasaan.
Dramaturgi Politik
Toh, masyarakat perlu mewaspadai implikasi dari proses selebritisasi politik itu. Mengingat apapun pencitraan sebuah produk yang ditayangkan oleh media tidaklah selalu ideal dari yang dipromosikan itu.
Begitu halnya dengan produk politik, tentu tidaklah seindah dari penampilan dan janji-janji politik yang disajikan. Karena itu, proses selebritisasi politik itu berimplikasi jatuh pada realitas dramaturgi politik.
Erving Goffman (1974, 1959) dalam karyanya Frame Analysis: An Essay on the Organization of Experience, dan The Presentation of Self in Everyday Life, menjelaskan bahwa kehidupan manusia terdiri dari panggung depan (front region) dan panggung belakang (back stage).
Dalam teori dramaturgi Bourdieu, ada dua pertanyaan pokok : mengapa pada panggung depan individu bertindak seperti sosok ideal? Sosok ideal yang dikemas dalam topeng kehidupan akan menjaga ‘kesatuan bertindak’, dalam situasi rutin anggota tim harus dapat dipercaya sehingga harus dipilih hati-hati.
Kedua, apa tujuan tindakan bertopeng? Tujuan secara rasional adalah untuk menjaga ‘kesatuan bertindak’ antara kondisi ideal dan real atau tetapnya integrasi suatu integrasi sosial. Sedang secara tidak rasional tujuan tindakan itu memang sudah dipastikan pada kehidupan yang fatalis.
Dengan analisis Bourdieu di atas, jelas sekali tergambar tampilan politisi dipanggung depan dalam proses selebritisasi politik tentu tampilan performa yang ideal, yang tentu berbeda dengan performa di panggung belakang.
Masyarakat dituntut kritis terhadap janji-janji politisi yang dilembagakan menjadi kontrak politik agar tampilan itu tidak sekadar menjadi topeng dari kepalsuan kontrak politik.
Sufyanto
Dosen Komunikasi Politik Umsida dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Sosial Universitas Airlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar