Jumat, 12 Juni 2009

Pierre Bourdieou

Beberapa Pemikiran Pierre Bourdie



Oleh: Sukron Hadi
(Pegiat diskusi di Formaci, Mahasiswa PMF (Perbandingan Mazhab Fiqih) Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta, Semester VII)

Tulisan ini dipresentasikan di Formaci, Kamis 04 Desember 2008

Abstrak
Perdebatan para ahli ilmu sosial mengenai peran “agensi” (individu atau tindakan individu) dan “struktur” dalam masyarakat cukup berkepanjangan. Di satu pihak hadir subyektivisme yang lebih mengedepankan agen sebagai individu yang otonom dalam masyarakat. Struktur tidak lain merupakan deretan kegiatan yang dilakukan oleh agen otonom, dan sengaja dibuat begitu adanya oleh agen. Yang merupakan barisan dari subyektivisme antara lain: fenomenologi, eksistensialisme, teori pilihan rasional, etnometodologi dan segala variannya. Di lain pihak, obyektivisme yang mencakup strukturalisme, fungsionalisme, materialisme dan varian lainnya, mengatakan bahwa struktur, situasi dan kondisi dalam masyarakat merupakan sesuatu rujukan fundamental untuk menganalisa fenomena sosial, termasuk untuk menyimpulkan fenomena tindakan individu.
Pemikiran Pierre Fellix Bourdieu hadir untuk mensintesiskan peran agen dan struktur. Sebelum Bourdieu, hadir beberapa sosiolog yang mengajukan teori untuk mendamaikan peran agen dan struktur, sebagai dualitas, dalam membaca dan menganalisa struktur masyarakat, gejala sosial, perubahan sosial dan lainnya. Di antaranya; Peter L. Berger, Thomas Luckmann, Anthony Giddens, Archer, dan Jurgen Habermas.
Bourdieu mempunyai ciri khas yang membedakan teorinya dengan ahli sosial yang tersebut di atas dalam pergulatan ini. Yakni dengan mengajukan konsep Habitus, Capital, dan Field sebagai kata kunci dalam memahami pemikirannya dalam usahanya menautkan peran agen dan struktur. tulisan ini akan berusaha menghadirkan pemikiran Bourdieu tersebut.
Tulisan ini merupakan rangkuman dari hasil pembacaan penulis atas buku Pierre Bourdieu yang ditulis Richard Jenkins (Routladge, London, 1992) dan sejumlah tulisan yang penulis pungut dari berbagai sumber.

Kritik Bourdieu terhadap Pemikiran Sebelumnya

Bourdieu yang lahir di Prancis, 1 April 1930 kuliah di Ecole Normale superieure salah satu perguruan tinggi di Paris dan sempat belajar kepada Sartre, Foucoult, Levinas dll, cukup memahami atmosfir intelektualitas di Prancis. Saat itu Eksistensialisme Sartre menjadi “mode” yang digandrungi oleh kalangan akademisi. Selain eksistensialisme, aliran yang dominan di Prancis yakni Strukturalisme.
Bourdieu tidak begitu saja ikut larut dalam wacana eksistensialisme, namun ia mengkritiknya. Di antara beberapa pemikiran yang mengamini kedaulatan agen, yang paling berbahaya baginya adalah eksistensialisme. Kritiknya terhadap Eksistensialisme dan aliran lainnya yang mengedepankan kedaulatan agen, bagi Bourdieu, agensi tidak berdaulat penuh ketika bertindak dan menata kehidupan sosial. Ada nuansa eksternal yang diinternalisasi oleh agensi, yang seolah-olah independensi kesadaran agensi tersebut. Sebagai gambaran, seorang perempuan berdasarkan kesadarannya dan pilihan bebasnya, memberikan jawaban “ya” atas pertanyaan apakah Antonio Banderas bisa dikategorikan sebagai pria ganteng? Kategori ganteng tersebut tidak berangkat dari kesadaran dan pilihan individu an sich, namun ada unsur eksternal yang membuat perempuan tersebut menjawab “ya”, yakni konstruksi budaya masyarakat, konstruk media dan lainnya yang mengarahkan individu tersebut (baik langsung maupun tidak langsung, secara sadar maupun tidak sadar) kepada konstruk mengenai kategori ketampanan.
Pilihan rasional individu bukan berangkat dari “kekosongan”, seperti yang diajukaan kaum eksistensialis, namun, selain lahir dari pergolakan pribadi, juga merujuk pada eksternalitas yang telah diinternalisasi agen.
Sedangkan kritik ia terhadap strukturalisme tertuju pada konsepsi parole dan langue dalam strukturalisme Saussure. Dalam ilmu sosial langue merujuk pada struktur dan parole merujuk pada individu. Langue (struktur) menjadi kunci otonom untuk mengetahui parole (individu). Tindakan individu dalam ruang dan waktu hanyalah suatu kebetulan, yang digerakkan oleh struktur. Jadi, jika kita ingin memahami gejala sosial, kita tidak merujuk pada kerja/tindakan individu, tapi merujuk pada struktur, karena strukturalisme cenderung mengebawahkan pelaku dan tindakannya pada totalitas gejala.
Begitu juga dengan Fungsionalisme, pemikiran ini menjadikan agen sebagai entitas dari keseluruhan (struktur). Ibaratnya masyarakat adalah tubuh maka individu-individu adalah tangan, kaki, kepala, telinga dsb, yang setiap individu tersebut mempunyai peran masing-masing dan saling terikat membentuk jalinan yang yang saling bergantung. Sehingga individu hanyalah entitas yang tak terpisahkan dan bergantung pada unsur eksternalnya. Sedangkan kritik Bourdieu terhadap pemikiran besar tersebut, menurutnya agensi tidak semata larut dalam struktur, akan tetapi agensi mempunyai peran dalam pembentukan struktur tersebut
Bagi Bourdieu, pembacaan Strukturalis terhadap realitas sosial tidak lain adalah “ilusi sinopsis”, yang terlalu menyederhankan apa yang sesungguhnya terjadi dan ada dalam realitas sosial. Juga, mereka cenderung generatif dalam membaca realitas sosial. Celakanya, menurut Bourdieu, mereka pemikir strukturalis merasa superior dan merasa paling mempunyai wewenang dalam membaca realitas sosial. Oleh karena itu Bourdieu memberikan saran untuk kembali ke “native” dalam membaca realitas sosial. Pemikir strukturalis hanyalah orang yang mencoba menggambarkan, membaca, dan menguraikan realitas sosial, hingga ingin memecahkannya. Hasilnya merupakan hanya pemikiran yang subyektif, merupakan suka cita pemikir belaka. Dari refleksinya itu, Bourdieu menerbitkan istilah baru yakni sosiolgy of sociology guna membongkar kepatenan suatu teori sosial
Keberatannya terhadap pemikiran yang mengedepankan salah satu dari agen dan struktur, melahirkan usaha Bourdieu untuk menjadikan dua hal tersebut sebagai dualitas yang bersifat resiprokal dalam membentuk struktur masyarakat. Lebih jelasnya, mari kita tilik pembahasan di bawah.

Habitus, Capital dan Field;
Rumusan Bourdieu dalam Menautkan Struktur dan Agensi

Tiga konsep; Habitus, Capital dan Field adalah sebuah terobosan Bourdieu untuk melepaskan diri dari belenggu pemikiran strukturalis yang mengenyahkan peran agensi dan sekaligus dari pemikiran yang mengamini kedaulatan penuh agen namun sepi dari proses internalitas struktur.

a. Habitus
Bourdieu tidak mengartikan Habitus secara sederhana sebagai kebiasan seseorang atau tabiat yang melekat pada diri seseorang. Bourdieu cukup rumit dalam mejelaskan makna Habitus, namun mudah kita pahami. Habitus merupakan “a dialectic of internalization of externality and the externalization of internality”, Habitus berangkat dari kesejarahan seseorang yang sudah mengalami proses internalisasi yang lama dan akut dalam diri sesorang, kemudian tereksternalisasi ulang dalam ruang yang memungkinkan untuk mengimprovisasi. Bersifat dinamis. Atau “sejarah yang mendarah-daging pada individu, terinternalisasi secara alani sehingga dilupakan sebagai sejarah”. Habitus meresap dalam diri, terdisposisi, dan menjadi bagian yang tidak bisa lepas dari agensi.
Habitus juga merupakan proses bagaimana agensi tidak menerima mentah-mentah struktur. Agensi yang menginternalisasi struktur, tetap mempunyai ruang-ruang refleksi atas pilihan-pilihan rasionalnya, prinsip-prinsip, strategi-strategi sebagai saringan sebelum agensi mengimprovisasinya.
Habitus menempati fungsi-fungsi sebagai [a] Matrix of Perception; Habitus merupakan batu pijakan seseorang dalam berfikir atau mempersepsikan sesuatu, juga sebagai titik tolak dan berlabuhnya proses mempersepsikan sesuatu berdasarkan latar belakang agen (sejarah). [b] Appreciation; Habitus menjadi titik tolak dan menentukan bagaimana seseorang mengapresiasi atau cara pandang terhadap sesuatu. [c] Action; Habitus merupakan basis bagi individu untuk melakukan aksi.
Tiga hal tersebut merupakan cerminan dari Habitus. Contoh; bagi orang Sunda mustahil memberi apresiasi terhadap lagu Lingsir Wengi, lagu Campur sari yang dinyanyikan Didi Kempot. Dan ketika seorang nDeso yang hampir tidak pernah mengakses informasi mencoba mempersepsi atau memikirkan tentang harga barang bahan pokok naik untuk sekarang ini, mereka cenderung menganggap bahwa hal tersebut akibat kebijakan pemerintah, sehingga mereka cenderung menyalahkan pemerintah. Berbeda halnya dengan ekonom, mereka akan memikirkan kenaikan harga barang itu secara sistematis dan menyeluruh, ini akibat dari krisis global bla.. bla.. Contoh Action; seorang udik dari pelosok kampong yang kagum dengan dunia selebritis melalui tv, ketika jalan-jalan ke Citos Jakarata untuk pertama kalinya, di sana mereka melihat Luna Maya dan Ariel Paterpan, mungkin mereka langsung menunjukan reaksi dengan berteriak histeris dan segera meminta tanda tangan pada mereka. Mungkin berbeda dengan seseorang yang mempunyai latar belakang masyarakat metropolis, sudah terbiasa dengan dunia gemerlap jakarta dan terbiasa bertemu bahkan berkawan dengan berbagai artis dalam negeri, ketika bertemu dengan Luna Maya dan Ariel cendrung biasa tanpa reaksi.
Setiap orang mempunyai kecenderungan berbeda-beda dalam mempersepsi, mengapresiasi dan melakukan aksi, tergantung latar belakang sejarahnya dan karaternya. Hal ini berdasarkan bahwa habitus setiap orang cenderung berbeda-beda. Sehingga dengan adanya heterogenitas habitus ini maka dimungkinkan adanya perluasan-perluasan habitus, antar habitus saling bergesekan, mencerap dan merebutkan makna dan mengidentifikasi diri dengan habitus yang sama dan habitus yang berbeda. Jika habitus tersebut menemukan habitus-habitus lain yang identik mereka akan membentuk habitus komplek, atau kelas.

b. Capital (Modal)
Usaha Bourdieu dalam menjadikan struktur dan agensi sebagai dualitas, selain tidak bisa dilepaskan dari konsepnya tentang habitus, juga konsepnya tentang capital yang masih berkaitan erat dengan konsep habitus.
Berbeda dengan konsep capital-nya Marxian yang cenderung bersifat materialistik dan determinasi ekonomi yang kemudian menerbitkan pertentangan kelas, Bourdieu tidak membatasi capital pada ekonomi. Menurutnya ada empat macam capital/modal. Yakni modal ekonomi (uang, harta benda, kepemilikan dll.), modal kultural/budaya (modal informasi, pendidikan, keterampilan dll.), modal simbolis (agama, kharisma dll.).
Modal-modal tersebut tidak bersikap tertutup, memungkinkan antara modal satu dengan modal lainnya saling bersentuhan, menegasi, menghadirkan modal lainnya. Di antara empat modal tersebut, menurut Bourdieu, yang mempunyai posisi penting dan paling berpengaruh yakni modal ekonomi.
Dalam keterkaitannya dengan habitus, modal memiliki peran yang penting. Dalam diri seseorang, modal selalu hadir bersamaan dengan habitus. Seperti sedikit disinggung di atas bahwa pergulatan resiprokal antar habitus dengan struktur yang dibarengi keikutsertaan agensi yang tidak begitu saja patuh kepada struktur. Agen selalu berusaha untuk kreatif, memetakan strategi untuk mengimprovisasi. Di situlah empat modal tersebut mempunyai posisi yang penting, menjadi bagian dari pergulatan agensi.

c. Field (Arena)
Istilah Field sering dipakai Bourdieu untuk menyatakan suatu arena sosial tempat bercengkramanya habitus-habitus yang di dalamnya terdapat berbagai perjuangan dan maneuver antar habitus dalam memperebutkan makna, sumber daya, mengungguli, mencari pengakuan, memosisikan diri dsb.
Field bisa kita lihat dalam beberapa ruang simbolik dalam level makro: Negara, Dunia Agama, Ekonomi, Universitas, Sunda, Jawa dsb. Dalam level mikro: Formaci, KMSGD, Fakultas Ushuludin, pesantren, Partai Politik, Warung Apresiasi Seni, Pasar bawang, perusahaan telor asin dsb. Semuanya adalah arena perjuangan antara habitus dengan habitus lainnya,. Agensi ketika menghadapi field tertentu harus mengetahui kode-kode dan aturan yang sudah berkembang di dalamnya.

Habitus, capital dan Field saling berhubungan. Seperti disinggung di atas bahwa habitus yang merupakan sebuah proses menginternalisasi kesejarahan, dan merupakan basis generatif dalam praksis (persepsi, apresiasi dan aksi) agensi. Maka habitus menempatkan posisi capital sebagai hal yang penting. Karena field yang juga mempunya hubungan yang sangat erat dengan habitus, selalu memasang capital sebagai bagian dari dirinya yang penting. Maka capital, bagi habitus, menjadi bagian dari pergulatan pertautan antar habitus, field dan strategi-strategi serta segala bentuk reproduksi.
Dalam habitus selalu menempel capital dalam proses pergulatannya, capital menubuh dalam habitus. Dengan capital, habitus dapat melakukan kreasi-kreasi yang pada saat bersamaan berhadapan dengan field atau struktur. Seperti di singgung di atas bahwa habitus merupakan basis generatif dari praksis (persepsi, apresiasi dan aksi), maka pertautan antara habitus, capital dan field memberikan cerminan untuk lahirnya praksis. [(habitus) (capital)] + field = practice]. (Keterangan ini penulis dapat dari skripsinya Slamet Tohari, UGM Yogyakarta, 2006, yang juga membahas pemikiran Bourdieu)

Di dalam field, yang terdapat berbagai rupa habitus. Di dalam field, antar habitus-habitus saling bersinggungan, saling berusaha memosisikan diri, saling berjuang memperebutkan makna. Habitus-habitus tersebut cenderung heterogen dalam menyandang modal. Ada yang lebih kaya, cukup kaya, miskin. Ada yang memiliki status sosial tinggi, menengah dan rendah, ada yang memiliki intelektualitas tinggi dan banyak hal lagi. Di dalam field tersebut modal tersebut akan menyusut, berubah, bertumbuh, dan memunculkan modal lain, juga sebagai pijakan strategi improvisasi praktis. Dan dalam field, bagi habitus yang mempunyai modal yang lebih tinggi akan mendominasi, lebih mudah mendapatkan makna, dan lebih mudah mendapat pengakuan.
Karena field cenderung heterogen, dalam setiap field mempunyai kode-kode dan aturan tersendiri. Maka modal yang menentukan seseorang mendapatkan makna dalam field-field tersebut akan berbeda dalam satu field dengan field lainnya. Mungkin modal banyak mencerna bacaan (modal cultural) di Formaci (field) cukup menentukan bagi seseorang untuk mendapat pengakuan, mendominasi orang lain, namun berbeda ketika orang tersebut terjun dalam majelis taklim, orang tersebut akan mendapat pengakuan dan mendominasi orang lain ketika dia taat beribadah (modal simbolik).
Juga, di dalam field, antar beberapa habitus saling mengidentifikasi diri, mereka akan menemukan kesamaan modal, kepentingan, makna, persamaan dalam bertindak, mempersepsi dan aksi dsb, dengan habitus lainnya. Maka mereka dengan secara sadar maupun tidak sadar akan membentuk kelas.
Bourdieu memetakan masyarakat ke dalam dua dimensi. Pertama: masyarakat tersusun menurut “dimensi vertical”, antara mereka yang kaya modal, baik mereka yang kaya modal ekonomi, kultur, sosial, maupun simbolik, dengan yang miskin atau sepi modal. Kedua: dimensi “struktur modal”, maksudnya dalam field yang berbeda-beda, maka modal yang menentukan juga berbeda, seperti contoh di atas.
Seperti disinggung di atas bahwa habitus-habitus dalam field akan bercengkerama, menentukan makna dan mengidentifikasi diri dengan habitus lain berlandaskan modal yang sama besarnya, sehingga menentukan improvisasi praksis yang sama pula, kemudian membentuk kelas. Bagi kelas yang memiliki modal, baik ekonomi, kultur, simbolik, maupun sosial tidak menutup kemungkinan untuk berusaha mendominasi kelas yang lebih rendah. Mereka mempunyai potensi untuk mengarahkan kebudayaan/kultur dalam field tersebut sesuai dengan ekspresi habitus kelas dominan tersebut.
Meskipun demikian, usaha mendominasi (daily repression) selalu berhadapan dengan reaksi kelas lainnya yang tidak ingin didominasi kelas dominan (daily resistence). Usaha kelas dominan untuk mendominasi dan memaksakan nilai-nilai mereka—yang merupakan proses internalisasi beberapa individu-indivudu dalam kelas tersebut—supaya diamini dalam sekala yang lebih luas, merupakan fenomena yang selalu terjadi dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini kaum pendukung Neoliberalisme—yang mengedepankan perdagangan bebas, privatisasi aset-aset publik, supremasi homo-economicus, dan minimalisasi hingga nihilisasi peran negara dalam ekonomi—tuduh Bourdieu tidak lain merupakan rasionalitas individu atau kelas yang berkepentingan belaka dalam kebijakan ekonomi liberal tersebut.
Analisis yang berangkat dari konsep habitus, capital dan field ini, dan hubungan habitus satu dengan habitus lainnya, dan hubungan antar habitus komplek satu dengan habitus komplek lainnya dalam sebuah Field, dipakai Bourdieu untuk membaca ideology, gender, pendidikan, bahasa, sastra, seni dan realitas sosial lainnya. Untuk pembahasan ini, mari kita kupas bersama-sama dalam diskusi.()

Categories: artikel

2 komentar:

  1. menarik menyimak artikel diatas, setelah membacakannya saya ingin menanyak sesuatu... bagaimana membedah relasi kuasa dengan konsep hibitus, capital dan field. mohon penjleasan

    BalasHapus
  2. untuk relasi kuasa dengan konsep habitus capital dan field, bourdeou menjelaskan panjang lebar di dalam kasus dunia pendidikan di universitas..bagaimana relasi kuasa antara profesor senior dan yunior dll..banyak buku yang bisa diakses diinternet yang membahas kekuasaan dalam persfektif bourdieu, seperti dari gigapedia.com

    BalasHapus