Selasa, 19 Mei 2009

ANTONIO GRAMSCY

Kapitalisme Lanjut »

Perihal Hegemoni dan Perang Posisi

Posted by Mh. Nurul Huda on 21 November 2006

1. Pengantar

Antonio Gramsci (1891-1937) adalah salah satu teoritisi Marxis terpenting asal Italia pada abad ke-20 ini, dan disebut oleh Kolakowski sebagai teoritikus politik paling orisinil sesudah Lenin yang mencoba mengkritisi kelemahan-kelemahan Marxisme dan melakukan analisis terhadap penyebab kegagalan revolusi proletariat.

Salah satu gagasan sentral Gramsci yang akan diuraikan dalam tulisan ini adalah soal hegemoni dan perang posisi. Tema ini dipilih karena melalui konsep inilah Gramsci telah membalikkan padangan tradisional Marxisme bahwa revolusi proletar akan datang secara niscaya, sebagaimana siang menggantikan malam. Sebaliknya revolusi sosialis baru bisa diperoleh melalui tekad dan upaya panjang sedemikian rupa sehingga kelas-kelas bawah meraih kepemimpinan kultural, intelektual dan ideologis dalam kehidupan masyarakat.

Dalam tulisan ini, saya akan membagi dalam beberapa pokok bahasan. Pertama-tama akan dibicarakan konteks pemikiran Gramsci, lalu dalam bagian berikutnya akan dibahas pengertian hegemoni dan “perang posisi” serta peran intelektual “organik” dalam proses revolusi sosial. Di akhir tulisan ini akan diberikan kesimpulan dan beberapa relevansi pemikiran Gramsci dalam konteks kekinian.

2. Konteks Pemikiran Gramsci

Gramsci menuliskan pemikirannya dengan bertitik tolak pada kritiknya terhadap pandangan marxisme ortodoks, terutama kerangka teoritis Nikolai Bukharin dalam sebuah buku The Theory of Historical Materialisme yang dimaksudkannya sebagai sebuah karya textbook tentang Marxisme-Leninisme untuk para kader partai komunis lebih tinggi. Buku ini berisi ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme sebagai pandangan dunia proletariat, sekaligus upaya Bukharin menyatukan sosiologi kontemporer dalam karyanya itu dengan tujuan hendak menunjukkan bahwa materialisme historis adalah sosiologi tentang proletariat dengan kadar kepastian ilmiah.

Gramsci menolak pandangan tersebut dan menganggap materialisme sejarah Soviet ortodoks itu telah mereduksi metode dialektik kritis terhadap masyarakat menjadi seperangkat prinsip-prinsip partai yang bersifat dogmatis dengan mengorbankan pembebasan diri proletariat. Lagi pula, Gramsci berkeberatan dengam maksud buku itu yang diperuntukkan bagi komunitas pembaca elit yang disebutnya “bukan intelektual profesional”, sehingga menciptakan kekeliruan besar karena telah mengabaikan “filsafat massa rakyat” atau filsafat yang lahir dari akal sehat rakyat sendiri. Dengan kata lain, pandangan Bukharin ini adalah sebuah sistem filsafat (materialisme historis) yang asing dan tidak dikenal oleh massa rakyat dan hendak dipaksakan begitu saja dari luar kesadaran diri proletar. Bagi Gramsci kesadaran politik proletariat harus dibangun melalui kepercayaan-kepercayaan dan akal sehat mereka sebagaimana terungkap dalam cerita-cerita dan agama rakyat, dan bukan semata-mata di-impose dari luar (elit). Karena yang belakangan ini merupakan cerminan dari kekuatan kultural kohesif atau hegemoni yang dijalankan oleh kelas-kelas yang berkuasa (Richard Kilminster, 1979: 110-111; Frans Magnis Suseno, 2003: 175-176).

Penolakan Gramsci pada tradisi Marxian ortodoks dan penekanan sebaliknya pada faktor-faktor budaya dan ideologi disebabkan oleh karena situasi Italia sendiri, negara kelahirannya, sebagaimana negara-negara kapitalis lain dimana sistem borjuis memiliki sumber stabilitas yang kuat. Di negara-negara ini, revolusi sosialis yang ditunggu-tunggu kedatangannya setelah terjadi krisis ekonomi kapitalis ternyata tidak kunjung tiba. Sebaliknya kegagalan melancarkan revolusi sosialis di negara-negara di luar Rusia, munculnya fasisme di Italia dan pecahnya perang dunia pertama yang menandai lemahnya internasionalisme proletar, serta pemberontakan di Jerman dan Hongaria seakan membuktikan bahwa revolusi di Barat telah gagal. Rangkaian kekalahan dan kegagalan ini, menurut Yoseph V. Femia, telah menyebabkan keraguan dalam diri Gramsci terhadap kredibilitas teoritis aksi revolusi (Heru Hendarto, 1993: 71-72). Sehingga berdasarkan kenyataan dan kesulitan seperti itu Gramsci lalu berusaha menganalisis persoalan tentang bagaimana mencari strategi yang pas untuk menyukseskan revolusi sosialis di Italia dan Eropa Barat pada umumnya.

3. Tentang Hegemoni

Sebagaimana disinggung di atas hegemoni merupakan gagasan sentral dalam pemikiran Gramsci mengenai strategi perubahan sosial. Konsep ini pertama-tama muncul dalam rangka mengoreksi kegagalan revolusi sosialisme di negara-negara Barat, termasuk Italia, sekaligus mengevaluasi gagasan dasar Marxisme ortodoks paska Marx dan Engel yang menyatakan bahwa akibat kontradiksi-kontradiksi internalnya kapitalisme niscaya akan hancur dengan sendirinya digantikan dengan masyarakat sosialis melalui revolusi proletariat.

Bagi Gramsci sendiri revolusi adalah proses organik yang memerlukan pengorganisasian aktifitas sadar dan kesadaran kritis teoritis. Sehingga persiapan intelektual, budaya dan politik kelas pekerja adalah syarat yang diperlukan untuk suksesnya sebuah revolusi proletariat. Dalam konteks inilah hegemoni menemukan lokus urgensinya.

Hegemoni adalah konsep penting dalam tulisan-tulisan Gramsci, meski ia dipakai dalam berbagai pengertian. Konsep ini muncul berbarengan dengan upaya Gramsci untuk memajukan revolusi sosialis dalam rangka menghancurkan tatanan dan sistem kapitalisme. Pertama-tama yang harus dikatakan adalah bahwa Gramsci menggunakan istilah ini sebagai konsep yang netral, tidak bersifat baik atau buruk. Artinya, dia menggunakan konsep hegemoni dalam kerangka realitas perjuangan kelas dalam suatu tatanan masyarakat.

Kadang-kadang Gramsci mengidentifikasi hegemoni dengan kekuatan politik yang dijalankan dengan paksaan, tetapi pada umumnya ia menunjuk kepada kontrol terhadap kehidupan intelektual masyarakat melalui sarana-sarana kebudayaan (Leszek Kolakowski, 1978: 242). James Joll secara gamblang menjelaskan bahwa hegemoni suatu kelas politis berarti bahwa kelas tersebut berhasil membujuk kelas-kelas sosial lain untuk menerima nilai-nilai budaya, politik, dan moral dari kelas itu (James Joll, 1977: 99). Oleh karena itu hegemoni lebih terkait dengan upaya mencapai kekuasaan politik melalui konsensus antar kelas daripada melalui kekerasan. Bahkan dalam suatu hegemoni yang berhasil, kekuatan koersif sudah tidak dibutuhkan lagi oleh kelas berkuasa.

Dengan konsep hegemoni ini Gramsci menyadari pentingnya peran kebudayaan dalam revolusi sosialis, suatu faktor yang kurang memperoleh perhatian sebelumnya dalam analisis Marxisme ortodoks yang terlalu dibutakan oleh kerangka “basis-suprastruktur”. Kerangka ini sebagaimana disebut oleh Magnis Suseno menyimpan kekonyolan pengertian ekonomistik, dimana perubahan dalam basis struktur ekonomi menentukan perubahan dalam level suprastruktur politik, ideologi dan kebudayaan. Revolusi sosialis dianggap tergantung seratus persen dari perkembangan perekonomian kapitalistik. Adapun Gramsci dalam konteks ini sebenarnya mengikuti apa yang telah dilontarkan Lenin bahwa tanpa tekad revolusioner segala perkembangan ekonomis dengan sendirinya tidak pernah akan menghasilkan revolusi apapun. Karenanya Lenin memandang perlu hadirnya sebuah partai revolusioner pada khazanah pemikiran Marxis (Franz Magnis Suseno, 2003: 184). Dan melalui kepemimpinan partai ini Lenin telah membuktikan bahwa revolusi sosialis bisa dijalankan di Rusia.

Namun demikian bagi Gramsci peran partai saja tidaklah cukup untuk menggerakkan revolusi di negaranya, Italia, dan umumnya di Barat. Karena di Barat masyarakat sipil begitu kuat dan kompleks yang tidak hanya dikuasai oleh borjuasi tetapi juga mereka menyokong dan menjamin kedudukannya.

Di negara-negara Barat kekuatan kaum borjuasi sudah mencakup seluruh bidang kehidupan masyarakat: ekonomi, sosial, politik, budaya, agama, dan lain-lain. Kesatuan kekuatan borjuasi dalam masyarakat ini membentuk suatu “blok historis”, yakni suatu konstalasi di mana semua dimensi kehidupan kelas-kelas sosial dalam masyarakat ini menyatu dan saling mendukung di bawah hegemoni sebuah kelas, yaitu kelas borjuasi. Tampaknya inilah alasan mengapa revolusi sosialis pada kenyataannya tidak jua terjadi. Kelas borjuasi berhasil menguasai kelas-kelas di bawahnya melalui hegemoni sehingga krisis ekonomi tidak secara langsung melahirkan revolusi, karena persis krisis ekonomi tidak sekaligus membawa krisis nilai dalam masyarakat. Kelas borjuasi sebagai pemegang hegemoni blok historis tidak hanya berkuasa dalam bidang ekonomi dengan dukungan daya ancam negara, melainkan karena seluruh masyarakat menganggap situasi kekuasaan itu wajar saja, hegemoni borjuis itu masuk akal dan bisa dimengerti. Selain tentu saja karena hadirnya kelompok intelektual yang mendukung kedudukan hegemonial kelas itu melalui refleksi intelektual-filosofis (Franz Magnis-Suseno, 2003: 188).

4. Hegemoni dan Perang Posisi

Dari paparan di atas makin jelas bahwa sebuah revolusi sosialis tidak dapat dilakukan secara gampang tatkala semua kecenderungan, hasrat, perasaan dan kepentingan masyarakat berada dalam hegemoni kelas borjuis. Dalam konteks ini Gramsci menolak pandangan Rosa Luxemburg bahwa krisis ekonomi dalam sistem kapitalisme akan mendorong reaksi spontan masyarakat untuk menghancurkan sistem kapitalisme melalui partai dan sindikat-sindikat para pekerja. Sebaliknya ia menegaskan bahwa revolusi adalah proses organik dan molekular yang membutuhkan pengorganisasian aktifitas sadar dan kesadaran kritis. Ini artinya suksesnya revolusi proletariat juga sangat ditentukan oleh prasyarat persiapan intelektual, budaya dan politik kelas masyarakat bawah sendiri.

Dengan kata lain, perubahan sosial politik baru bisa dimungkinkan jika masyarakat bawah terlebih dahulu berhasil merebut hegemoni kultural dengan menyingkirkan hegemoni kaum borjuasi yang menindas. Ini artinya sebelum mengambil alih kekuasaan politik, kelas buruh dan masyarakat bawah lainnya harus bisa mengambil alih pandangan dunia, nilai-nilai, dan harapan-harapan seluruh masyarakat atau paling tidak kelas-kelas penting, karena dalam rangka menciptakan sistem masyarakat yang baru itu diperlukan sebuah kebudayaan yang baru pula. Upaya pengambilalihan atau perebutan hegemoni inilah yang disebut Gramsci sebagai “perang posisi” (war of position).

Strategi tersebut digunakan Gramsci dalam rangka untuk mematahkan hegemoni borjuasi dalam masyarakat sipil melalui kepemimpinan intelektual, kultural dan ideologis dalam lembaga-lembaga privat, sekolah-sekolah, gereja, industri, asosiasi kota dan pedesaan, dan lain-lain. Gramsci membedakan antara “perang posisi” (war of position) dan “perang gerak” (war of movement) dalam kerangka strategi yang berbeda dalam perebutan kekuasaan. Yang pertama merujuk pada perebutan kekuasaan yang dilakukan melalui konfrontasi langsung, sementara yang kedua melalui proses gradual dan molekular yang menyiapkan kondisi bagi kekuatan sosialis progresif untuk merebut kekuasaan. “Perang gerak” hanya bisa dilakukan bila masyarakat sipil sangat lemah, sementara diperlukan “perang posisi” bila masyarakat sipil dalam negara itu sangat kuat.

Dengan belajar dari Rusia, Gramsci percaya bahwa keberhasilan Lenin merealisasikan revolusi proletariat di Timur, tidak dengan mudah bisa diikuti oleh negara-negara Barat. Perbedaan-perbedaan struktural antara Rusia dan Barat secara otomatis juga mengharuskan kaum proletar untuk membangun strategi politik berbeda. “Perang gerak” sebagaimana yang diterapkan Lenin di Rusia dianggap lebih cocok karena kondisi masyarakat sipil di sana sangat lemah di bawah kepemimpinan Tsar. “Perang gerak” ini sangat berhasil di Rusia karena kekuatan masyarakat sipil yang merupakan gabungan dari elit feudal, borjuis dan intelektual yang berkuasa di satu pihak dan massa petani yang berada dipinggiran kehidupan politik di pihak lain, sangat lemah; sementara kekuasaan negara tersentralisasi dan terkonsentrasi pada diri seorang kaisar Tsar. Dan dalam kondisi tersebut “perang gerak” lebih strategis dan efektif untuk merebut kekuasaan secara langsung.

Adapun di Italia kekuatan negara borjuasi tertanam dalam masyarakat sipil yang kuat dan kompleks. Negara memperoleh kekuatan dan sokongan dari jaringan organisasi-organisasi privat, sekolah, gereja, asosiasi pedesaan dan masyarakat urban, dan para industrialis utara. Tambahan lagi kapitalisme barat dan Italia sukses menciptakan blok politik, menyerap elemen-elemen budaya kelas pekerja dan menyatukan massa rakyat ke dalam struktur hegemonik. Realitas politik inilah yang menyebabkan “perang gerak” tidak berhasil dan tidak bisa diharapkan lagi (Leonardo Salamini, 1981: 126-134). Sehingga dalam struktur politik di mana masyarakat sipil sangat kuat dalam hegemoni kaum borjuasi maka strategi yang lebih masuk akal adalah “perang posisi” dengan menggerogoti kekuatan kultural dan ideologi borjuasi.

Gramsci yakin bahwa hegemoni borjuasi ini bisa dipatahkan melalui strategi “perang posisi”. Ini dikarenakan sebenarnya konsensus antara kelas-kelas sosial yang memapankan masyarakat borjuis adalah semu dan superfisial belaka, sehingga tatanan sosial yang dibangun pun hanya kelihatannya saja universal. Apa yang nampak sebagai kepentingan bersama seluruh masyarakat hanyalah kedok kepentingan kelas borjuasi. Karena dalam kenyataannya eksploitasi kelas-kelas buruh masih terus berjalan (Franz Magnis-Suseno, 2003: 193-194).

Selanjutnya dalam rangka mematahkan hegemoni borjuasi dan merumuskan pandangan dunia baru kelas proletar ini, Gramsci memiliki instrumen favorit yang sangat penting, yakni “intelektual organik”. Kelompok ini berperan signifikan untuk mengobarkan “perang posisi” guna mengambil alih hegemoni.

5. Intelektual “Organik”

Siapakah profil “intelektual organik” ini? Gramsci memakai istilah “intelektual” dalam arti luas yang secara praktis ekuivalen dengan “inteligensia” atau semua kelas terdidik. Dan pada umumnya setiap kelas utama memproduksi lapisan intelektualnya sendiri yang bertugas mempertahankan kontinuitas budaya kelas masyarakatnya dan menyatukan mereka berdasarkan solidaritas tertentu.

Bagi Gramsci, intelektual organik adalah para intelektual yang tidak sekedar menjelaskan kehidupan sosial dari luar berdasarkan kaidah-kaidah saintifik, tapi juga memakai bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman real yang tidak bisa diekspresikan oleh masyarakat sendiri (Leszek Kolakowski, 1978: 240). Intelektual organik adalah mereka yang mampu merasakan emosi, semangat dan apa yang dirasakan kaum buruh, memihak kepada mereka dan mengungkapkan apa yang dialami dan kecenderungan-kecenderungan objektif masyarakat.

Di atas tadi sudah disinggung secara panjang lebar bahwa kemenangan kelas bawah mustahil diraih tanpa suatu kemenangan budaya terlebih dulu, dan kemenangan budaya ini meniscayakan peran serta intelektual organik. Dalam hal inilah bisa dipahami bahwa dalam upaya-upaya perubahan sosial sangat diperlukan penyusunan dan pengorganisasian suatu lapisan intelektual yang mengekspresikan pengalaman aktual masyarakat dengan keyakinan dan bahasa terpelajar. Artinya kaum intelektual organik ini menghadirkan suara-suara kepentingan masyarakat bawah dengan bahasa budaya tinggi sehingga pandangan dunia, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan kelas bawah meluas ke seluruh masyarakat dan menjadi bahasa universal. Bila tahap ini berhasil, maka jalan semakin lebar bagi kelas bawah untuk melakukan perubahan revolusioner, yakni merebut kekuasaan politik.

Dalam pandangan Gramsci perubahan sosial bukanlah semata-mata upaya menyangkut masalah kekuatan ekonomi dan fisik, tapi juga melibatkan perebutan wilayah kebudayaan dan ideologi: suatu upaya masyarakat bawah untuk membebaskan diri mereka dari budaya kaum borjuis dan untuk membangun nilai budaya mereka sendiri bersama-sama dengan kaum tertindas dan lapisan intelektual yang berpihak. Dalam konteks inilah bisa dikatakan bahwa supremasi intelektual merupakan prakondisi tercapainya kekuasaan politik (Leszek Kolakowski, 1978: 242).

5. Kesimpulan dan Relevansi

Gramsci telah merevisi pandangan-pandangan Marxisme klasik yang cenderung “ekonomistik” untuk lalu menekankan arti penting budaya dan ideologi dalam pembentukan masyarakat sosialis. Ia menunjukkan bahwa kategori “struktur-superstruktur” tidaklah bersifat mutlak, deterministik dan monologis. Tapi sebaliknya dalam realitas masyarakat kedua bagian itu saling mempengaruhi, dan ideologi dan budaya justeru sangat menentukan keberhasilan dalam revolusi sosialis.

Gramsci mengikuti Lenin dalam arti dia menolak bahwa revolusi sosialis secara objektif akan datang begitu saja bila tiba waktunya dan kita tinggal menunggu saja kedatangannya. Sebaliknya, Gramsci melihat pentingnya kehendak dan tekad revolusioner itu ada dalam hati sanubari proletariat untuk menumbangkan kekuasaan kaum borjuasi yang telah merasuk dalam semua dimensi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan kelompok intelektual dan partai revolusioner untuk mewujudkan sosialisme. Namun berbeda dengan Lenin, tugas intelektual bukanlah mencekoki kelas buruh pengetahuan tentang teori yang benar, melainkan mengungkapkan belaka suara-suara kepentingan kelas buruh ini dalam bahasa yang bisa dipahami oleh masyarakat luas. Dalam arti ini maka penting sekali bahwa keberadaan kaum intelektual bukanlah di menara gading, elitis, melainkan harus menyatu dan berada di sisi kaum buruh. Demikian juga partai politik, tidak bertugas menyuntik ke dalam diri kelas buruh suatu kesadaran yang benar, melainkan membuat mereka sadar akan implikasi kesadaran yang sudah mereka miliki serta segi-segi perjuangan.

Hal ini semua karena terkait dengan upaya kaum buruh untuk menancapkan hegemoni kultural dan ideologis sebelum memulai perebutan kekuasaan politik. Bagi Gramsci proses perubahan sosial tidak semata-mata sebagai perebutan kekuasaan politik, melainkan suatu perebutan kekuasaan budaya dan ideologi. Demikian juga sebuah revolusi sosialis tidak dapat dilakukan dengan sekali jadi melalui perebutan kekuasaan politik, melainkan memerlukan waktu panjang dalam suatu perang posisi (war of position) untuk merubah pandangan dan nilai-nilai masyarakat sipil. Jika masyarakat sipil sudah dihegemoni maka sebenarnya secara de facto kekuasaan itu sudah berada di tangan kelas buruh, dan kepemimpinan politik bisa diambil alih secara mudah.

Tentu saja gagasan-gagasan Gramsci ini sangat relevan baik sebagai sebuah alat baca maupun sebagai perangkat membangun gerakan sosial.

Sebagaimana berlangsung sejak Orde Baru, berbagai gerakan sosial di Indonesia telah merepresentasikan kiprah para intelektual baik aktifis di berbagai LSM, organisasi keagamaan, aktifis kampus maupun organisasi profesi dalam membangun aliansi bersama untuk menumbangkan rezim Suharto. Proses penyadaran publik dan advokasi sosial terus menerus dilakukan dalam rangka menggerogoti dan mendelegitimasi rezim. Berbagai kekuatan ini telah membentuk semacam “blok historis” lain di luar kekuasaan rezim, dan berusaha meraih dukungan publik seluas-luasnya untuk menggusur hegemoni politik dan ideologis “pembangunanisme” Orde Baru. Dan dampak dari gerakan-gerakan ini mulai terlihat pada periode-periode akhir kekuasaan rezim. Gelombang demontrasi, pemogokan, dan perlawanan-perlawanan rakyat begitu menggelora hingga akhirnya pada 1998 rezim Soeharto itu tumbang.

Selain itu dalam konteks tatanan dunia sekarang ini dimana segala segi kehidupan berada di bawah hegemoni kapitalisme neoliberal dalam bentuk eksploitasi buruh sampai dengan komodifikasi dan konsumerisme, maka gagasan Gramscian tentang a counter-hegemonic transnasional blocco storico (blok historis atau kekuatan progresif transnasional) menjadi sangat penting.

Demikian juga konsep hegemoni Gramsci ini sangat bermanfaat dan menjadi pelajaran penting bagi para politisi partai dan intelektual kita. Sebuah partai akan besar dan sukses bila ia mampu mengartikulasikan kepentingan riil masyarakatnya. Dan menjadi tugas para intelektual untuk mengemban amanah perubahan dan pembebasan sosial. []

Bahan Bacaan:

Craig, Edward (ed.), Routledge Encyclopedia of Philosophy, Vol. 4, Routledge, London, 1998

Joll, James, Gramsci, William Collins Sons & Co. Ltd., Galsgow, 1977

Kolakowski, Leszek, Main Current of Marxism, Vol. III, Clarendom Press, Oxford, 1978

Kilminster, Richard, Praxis and Method: A Sociological Dialogue with Lukacs, Gramsci and The Early Frankfurt School, Routledge & Keagen Paul, London, 1979

Magnis-Suseno, Franz, Dalam Bayangan Lenin, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003

Nelson, Cary & Grossberg Lawrence (eds.), Marxisme and The Interpretation of Culture, MacMillan Education, London, 1988

Salamini, Leonardo, The Sociology of Political Praxis: An Introduction to Gramsci’s Theory, Routledge & Keagen Paul, London, 1981

Tim Redaksi Driyarkara (pny.), Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar