Demokrasi Sosial Bangkit Kembali
By Republika Contributor
Senin, 24 November 2008 pukul 18:56:00
Senin, 24 November 2008 pukul 18:56:00
Beberapa di antara mereka mengasosiasikan kemenangan Obama sebagai akhir atau setidaknya koreksi terhadap kapitalisme yang dipraktikan secara sporadis sejak era duet PM Inggris Margaret Thatcher dan Presiden AS Ronald Reagan, bahkan asosiasi itu muncul sebelum Obama memenangkan pemilu.
"Laissez-faire, c'est fini (Pasar bebas, cukup sudah). Kami (negara) siap intervensi besar-besaran, kapan pun badan usaha strategis memerlukan uang kami (negara)," kata Presiden Prancis Nicolas Sarkozy menyindir para pemeluk pasar bebas murni yang anti intervensi pemerintah dalam sistem pengelolaan ekonomi itu (Daily Telegraph, 4/11).
Sementara salah seorang pemikir sosial paling berpengaruh di Eropa, Anthony Giddens, di Universitas Tallinn, Estonia awal November ini, menyebut kemenangan Obama sebagai momentum berkembangnya demokrasi sosial di Eropa dan dunia.
"Krisis keuangan global dan terpilihnya Barack Obama adalah tanda-tanda menjanjikan bagi bangkitnya kembali demokrasi sosial di seluruh penjuru Eropa," kata pengemuka ideologi Jalan Ketiga yang pikiran-pikirannya ia bukukan dalam literatur termasyhur, The Third Way; The Renewal of Social Democracy.
Saat estafet pemerintahan Inggris beralih ke Gordon Brown pada Juni 2007, Giddens adalah orang yang paling berharap eksperimen Jalan Ketiga diaplikasikan menyeluruh oleh Brown, setelah Tony Blair tidak mampu memancangkan kuat-kuat ideologi ini dalam sistem penyelenggaraan politik di negeri itu.
Kini, Giddens dan para penyokong demokrasi sosial di Eropa, melihat peluang penerapran secara luas Jalan Ketiga dalam praktik kehidupan politik terbuka lebar, setelah Obama menjadi Presiden AS ke-44.
Mereka melihat tanda bahwa penyelenggaraan politik AS akan cenderung ke Kiri, tepatnya Kiri-Tengah seperti dimodelkan Jalan Ketiga. Bahkan itu sudah terlihat semenjak Obama mengenalkan ide-ide pembelaan sosial dan kritiknya terhadap fundamentalisme pasar atau konservatisme selama kampanye Pemilu 2008.
Selama beberapa dekade konservatisme AS telah mengasingkan demokrasi sosial yang dipromosikan Eropa, bahkan kemenangan Tony Blair yang membawa nafas demokrasi sosial dan naiknya popularitas Kiri Baru di Amerika Latin tidak merembet ke kawasan lain karena kuatnya sekat konservatisme AS.
"Adalah Amerika Serikat yang menentukan kiblat politik, kebudayaan dan intelektual dunia. Adalah lembaga-lembaga (think tank) AS yang mengembangbiakan pemikiran-pemikiran atau reformasi radikal (tentang peran negara)," tulis Wakil Kepala Eksekutif The Work Foundation, Will Hutton, dalam majalah New Statesman (13/11).
Konservatisme AS pula yang membuat eksperimen Jalan Ketiga di bawah Tony Blair hanya berputar-putar di kampus dan gagal mengarungi Eropa, bahkan Kiri Eropa terlempar ke pinggir kekuasaan seperti saat Nicolas Sarkozy menekuk Segolene Royal di Prancis atau naiknya Angela Merkel di Jerman.
Giddens berharap demokrasi sosial Jalan Ketiga menguat kembali setelah Gordon Brown naik menggantikan Tony Blair sebagai PM Inggris. Kedua orang ini boleh disebut sebagai murid sekaligus pembawa nafas demokrasi sosialnya Anthony Giddens.
Dalam The Independent pada 28 Juni 2007, mantan Direktur London School of Economic and Political Sciences (LSE) ini mengungkapkan, kemenangan Gordon Brown adalah peluang baru bagi praktik lebih luas demokrasi sosial yang ia paketkan dalam Jalan Ketiga.
Jalan Ketiga
Jalan Ketiga adalah koreksi ganda terhadap Jalan Pertama atau demokrasi sosial tradisional yang diselimuti pemikiran dan praktik politik pasca Perang Dunia II dan Jalan Kedua atau Thatcherisme (dari Margaret Thatcher) yang melihat fundamentalisme pasar sebagai dasar pemakmuran masyarakat.
Jalan Pertama diasosiasikan sebagai Kiri, sedangkan Jalan Kedua dipersonifikasikan sebagai Kanan atau konservatif. Kiri yang umumnya sosialisme dan terutama Kiri Baru berbeda dari Marxisme yang sering disebut sebagai ekstrem Kiri karena sosialisme mengakui kepemilikan swasta, selain membiarkan persaingan dengan kapitalisme tetap hidup seperti terjadi di Eropa Barat.
Jalan Pertama disemangati gagasan ekonom John Maynard Keynes bahwa negara harus menggantikan pasar di semua medan terpenting kehidupan ekonomi, sebaliknya Jalan Kedua berkeyakinan lingkup kekuasaan pasar harus diperluas selebar-lebarnya karena pasar adalah alat paling rasional dan efisien dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi.
Namun keduanya menampilkan sisi buruk. Kalau Jalan Pertama membuahkan birokrasi yang tidak efisien dan kaku, maka Jalan Kedua membuat timpang distribusi ekonomi bahkan kemudian mendorong asset publik dikuasai brutal oleh swasta yang oleh pengarang buku Shock Doctrine; The Rise of Disaster Capitalism, Naomi Klein, disebut sebagai swastanisasi negara.
Selama beberapa dekade, Jalan Kedua di bawah konservatisme dan fondasi kapitalisme ortodoks ala Thatcherisme dan Reaganomic bertentangan hebat dengan pemikiran Kiri yang ingin meredistribusi asset via birokrasi negara seperti terjadi di era pemerintahan Franklin Delano Roosevelt (FDR) 1930an dan kebanyakan pemerintahan sosialis Eropa seperti Prancis di bawah Francois Mitterrand atau Jerman sampai era Gerhard Schroeder.
Giddens lalu menawarkan Jalan Ketiga yang sudah menjadi praksis demokrasi sosial di negara-negara Skandinavia. Ia mempromosikan Jalan Ketiga untuk merekonsiliasi kompetisi ekonomi dengan perlindungan sosial dan redistribusi asset demi pemerataan ekonomi.
Ketika Gordon Brown tampil berkuasa di Inggris, Giddens melihatnya sebagai peluang untuk menegaskan wujud demokrasi sosial dalam pemerintahan. Ironisnya, upaya ini sejalan dengan sebagian besar gagasan politik Barack Obama yang memenangkan Pemilu AS setahun setelah harapan Giddens pada Brown dilontarkan.
Giddens memercayai Jalan Ketiga adalah keniscayaan jika Gordon Brown atau pemerintahan demokrasi mengambil lima inisiatif demi kokohnya demokrasi sosial ini.
Pertama adalah membentuk pemerintahan koalisi Tengah, persis dilakukan Obama setahun kemudian yaitu menciptakan pemerintahan Kiri-Tengah. Kedua, memperkuat fundamental dan riil ekonomi yang ini pun mirip dengan prioritas kebijakan Obama yang akan menekankan rehabilitasi ekonomi pada prioritas tertinggi.
Ketiga, melakukan investasi besar-besaran dalam pelayanan publik sembari mereformasinya untuk membuat pelayanan publik menjadi lebih efektif, responsif dan transparan. Rekomendasi ini juga mirip dengan ide Obama menata kembali sistem birokrasi di lembaga-lembaga pemerintahan terutama Departemen Pertahanan dan sistem layanan sosial serta kesehatan.
Keempat, demokrasi sosial mensyaratkan kontrak baru antara negara dan warganegara yang didasarkan pada tanggungjawab (sosial) dan hak warganegara. Ini juga mirip dengan upaya Obama mendisiplinkan sektor ekonomi dengan mengenakan pajak terhadap mereka yang berpenghasilan di atas 200 ribu dolar AS untuk kemudian didistribusikan lagi bagi pertumbuhan ekonomi di semua sisi dan menutup jomplangnya kualitas kesejahteraan sosial.
Terakhir, Giddens menyarankan pemikiran Kanan konservatif dikarantina, jangan sampai mengendalikan isu besar. "Kaum Kanan cenderung mendominasi soal-soal kritis seperti hukum dan tatanan atau imigrasi dan terorisme. Kita mesti menjawabnya dengan (membangun koalisi) Kiri-Tengah," kata Giddens.
Jelas sudah ide-ide profesor sosiologi King's College, Cambridge ini beresonansi dengan pemikiran Barack Obama yang juga berusaha membentuk pemerintahan berbasis Kiri-Tengah dengan mengajak Republiken moderat turut memerintah dan menarik Kiri Demokrat lebih ke Tengah (prososial tapi tidak meminggirkan kapitalisme).
Kolumnis Newsweek, Fareed Zakaria, bahkan terang-terangan menyebut pemikiran dan pemerintahan Obama membawa nafas Jalan Ketiga. "Obama bisa membuatkan ideologi pemerintahan baru di Barat," sebut Zakaria.
Lain dari itu, kemenangan Obama telah membesarkan harapan Giddens dan pemikir serta praktisi demokrasi sosial Eropa untuk menyebarkan ide-idenya setelah sempat terpinggirkan karena kalah besar di beberapa negara seperti Prancis, Italia, Spanyol dan Jerman.
Will Hutton bahkan percaya bahwa Kiri --khususnya Jalan Ketiga atau Kiri Baru-- menjadi kecenderungan global menyusul berubahnya mood demokrasi di AS setelah Obama memenangkan Pemilu. "Diskursus akan mengarah ke Kiri," kata Will.
Tanda-tanda diskursus global akan ke Kiri memang sudah terlihat dari pilihan langkah Obama yang cenderung mengambil upaya-upaya drastis yang tidak ditempuh rezim-rezim sebelumnya, kecuali FDR pada 1930an.
Will percaya Obama akan lebih berwajah demokrasi sosial karena hasratnya yang tinggi untuk memperkuat serikat buruh, tekadnya yang bulat untuk mereformasi industri media massa sehingga mencapai tingkat netralitas seperti dipraktikan BBC Inggris yang didambakannya hadir di AS dalam upaya reintegrasi sosial secara menyeluruh, dan mereformasi pajak untuk meredistribusi kekayaan untuk kalangan menengah ke bawah.
Obama juga ingin sistem keuangan diregulasi diantaranya dengan memangkas gaji dan bonus untuk para konglomerat atau eksekutif perusahaan raksasa, dan terakhir ia ingin mengubah paradigma kebijakan luar negeri AS menjadi multilateralis seperti dipraktikan para pendahulunya; FDR, Lyndon Johnson, Jimmy Carter dan Bill Clinton.
Masyarakat baru
Keinginan Obama untuk meniadakan ketimpangan sosial dan ekonomi yang terlalu dalam, adalah ciri demokrasi sosial yang berkembang subur di Eropa, Kanada dan Amerika Latin dewasa ini, bahkan telah mendarah daging di Skandinavia.
Kemenangannya disambut sukacita oleh mereka yang mendambakan keseimbangan antara kemakmuran ekonomi dengan kesejateraan sosial serta mereka yang jujur bahwa kapitalisme bukan satu-satunya jalan dalam mencapai kesemakmuran dan kesejahteraan.
Amerika Latin yang memusuhi AS pun menilai kemenangan Obama sebagai janji seksi bagi proses rehabilitasi dunia dari prilaku ekonomi yang secara sosial tidak bertanggungjawab dan cenderung nir empati.
"Saya tahu bahwa keprihatian utama Obama adalah keadilan sosial dan (menjamin) peluang yang sama (bagi warganegara untuk hidup layak). Semua itu sama dengan prinsip-prinsip yang selama ini mengilhami Chile," kata Presiden Chile Michelle Bachelet.
Presiden Bush boleh mengatakan kapitalisme tak akan mati, namun arus sebagian besar dunia yang berhasil ditangkap dan dipahami Obama adalah perekonomian global mestinya menciptakan keadilan dan merapatkan segala kesenjangan sosial di semua level, di segala konteks.
Kapitalisme akan bertahan, namun pandangan kaku dan konservatif bahwa mekanisme pasar adalah satu-satunya yang menginspirasi kemajuan dunia tidak boleh lagi mendominasi dunia karena acap menjadi pembenar bagi peniadaan dialog yang berujung pada penindasan terhadap si lemah.
Bahkan itu tumpah ke wilayah-wilayah sosial dan politik seperti dalam kampanye antiterorisme. Ini karena ideologi pasar bebas murni cenderung menjadi hukum rimba, siapa kuat itu yang menang.
Mengutip cendikiawan Council on Foreign Relation Peter Beinart dalam Time (17/11), jika liberalisme 1960an ambruk gara-gara kekacauan budaya sebagai hasil dari tuntutan kemerdekaan budaya yang berlebihan, maka konservatisme rontok oleh kekacauan ekonomi yang timbul dari tuntutan kemerdekaan ekonomi yang berlebihan.
Kekacauan ekonomi ini sendiri menjadi muara bagi distorsi dan diskriminasi sosial politik sehingga begitu Obama menang, demokrasi sosial menyambutnya karena dalam banyak hal Obama dipersonifikasikan membawa kritik-kritik dunia selama ini terhadap sistem penyelenggaraan hubungan ekonomi yang tidak adil.
"Kekuasaan ideologi pasar radikal yang dirintis sejak era Margaret Thatcher dan Ronald Reagan tamat," sambut Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier yang merupakan kandidat kanselir Jerman mendatang dari Partai Sosial Demokrat (SPD).
Kemenangan Obama juga menjadi bukti bahwa ada korespondensi antara keinginan dunia dan rakyat AS untuk mengajiulang penyerahan seluas-luasnya operasional negara kepada swasta yang dicibir Naomi Klein sebagai birokrasi atau pemerintahan subkrontak.
Rakyat AS, seperti halnya penduduk dunia, muak melihat posisi pemerintah dalam isu-isu publik, seperti jaminan mendapatkan lingkungan berkualitas dan akses adil terhadap perekonomian, disunat para pemuja kapitalisme neoklasik.
"Arus modal global (yang liar), perubahan iklim dan negara-negara yang retak adalah pertanda era pemerintah minimal (pemerintah yang wewenangnya dikerdilkan) telah berakhir," kata Sunder Katwala, Sekretaris Jendral Fabian Society, satu lembaga think tank khusus kajian Kiri-Tengah utama di London seperti dikutip Newsweek edisi Nopember ketiga 2008.
Sejurusan dengan itu, meminjam tesis sejarawan marxis asal Inggris Eric Hobsbawm, dunia agaknya perlu memulai mengambil langkah awal yang baru dan komprehensif sehingga tatanan sosial dibangun kembali di atas fondasi yang segar karena, "manusia menciptakan nilai, bukan tempat (locus)."
Nilai baru ini tampak sudah menjadi keharusan dan kesegeraan karena nilai lama tampak menjauh dari masyarakat dan malah menularkan wabah yang merusak kelangsungan sistem sosial, mendistorsi makna demokrasi, bahkan mengancam peradaban.
Nilai baru itu bisa menjadi jawaban untuk persoalan krisis yang dialami dunia sekarang, yaitu nilai-nilai baru yang mewujud sebagai masyarakat atau generasi baru seperti di Amerika Latin atau komunitas muslim moderat Turki yang berupaya merevisi kesalahan nilai-nilai lama
Peralihan nilai dan generasi itu sendiri adalah alamiah karena, mengambil pernyataan filsuf politik abad 19 Alexis de Tocqueville, "dalam masyarakat yang demokratis, setiap generasi adalah masyarakat baru.
Dalam konteks kini, masyarakat baru itu adalah konstruksi sosial yang berpegang kuat pada kebebasan, keadilan dan solidaritas sehingga masyarakat hidup makmur sekaligus bert
Tidak ada komentar:
Posting Komentar