Jumat, 12 Juni 2009

James Coleman 2

SOSIAL-CAPITAL

CAPITAL SOCIAL

1.Latar Belakang Masalah

Penganggguran terus bertambah. Kemiskinan semakin sulit dikendalikan. Kriminalitas semakin meningkat dimana-mana. Francis Fukuyuma (1999) dengan meyakinkan beragumentasi bahwa Modal Sosial memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern. Modal sosial sebagai sine qua non bagi pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, sosial, politik dan stabilitas demokrasi. Unsur penting dari “social contract” ini antara lain apa yang mereka sebut sebagai karakteristik jaringan sosial, pola-pola imbal balik, dan kewajiban-kewajiban bersama. Seperti apa yang dilakukan oleh Marx dan Engles dengan konsep keterikatan yang memiliki solidaritas (bounded solidarity) yang menggambarkan tentang kemungkinan munculnya pola hubungan dan kerjasama yang kuat, ketika suatu kelompok berada dalam tekanan negara atau kelompok lainnya.

2. Konsep Modern Tentang Modal Sosial
Modal Sosial menjadi fokus diskusi dan penelitian serta pengembangannya dalam berbagai kebijakan pembangunan terutama sekali banyak diilhami oleh karya-karya Robert D Putnam seperti; Making Democracy Work: Civic Transition in Modern Italy, 1993, dan Bowling Alone: America’s Declining Social Capital,1995. Begitu juga dengan Francis Fukuyama dengan karyanya The End of History and The Last Man, 1992; Trust, The Social Virtues and The Creation of Prosperity, 1995; The Great Disruption, Human Nature and The Reconciliation of Human Order, 1999; Social Capital and Civil Society, 1999; Social Capital and Development: The Coming .- 2002, dan beberapa karyanya yang lain. Pierre Bordieu (1983, 1986) dengan sosial teorinya. James Coleman yang mengkhususkan bahasannya pada dimensi Modal Sosial dan pendidikan (1998), dan masih banyak lagi para pemikir Modal Sosial yang lainnya.

3.Definisi Capital Social
Modal Sosial adalah sumber daya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Seperti diketahui bahwa sesuatu yang disebut sumber daya (resources) adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan dan di investasikan. Sumberdaya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal. Modal sosial berbeda dengan istilah populer lainnya yaitu Modal Manusia (human capital). Pada modal manusia segala sesuatunya lebih merujuk ke dimensi individual yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu. Modal sosial juga sangat dekat dengan terminologi sosial lainnya seperti yang dikenal sebagai kebajikan sosial (social virtue). Perbedaan keduanya terletak pada dimensi jaringan. Kebajikan sosial akan sangat kuat dan berpengaruh jika di dalamnya melekat perasaan keterikatan untuk saling berhubungan yang besifat imbal balik dalam suatu bentuk hubungan sosial. Robert D Putnam (2000) memberikan proposisi bahwa suatu entitas masyarakat yang memiliki kebajikan sosial yang tinggi, tetapi hidup secara sosial terisolasi akan dipandang sebagai masyarakat yang memiliki tingkat Modal Sosial yang rendah.
Randall Collin (1981) melakukan kajian tentang apa yang dia sebut sebagai phenomena mikro dan interaksi sosial yaitu norma dan jaringan (the norms and networks) yang sangat berpengaruh pada kehidupan organisasi sosial. Norma yang terbentuk dan berulangnya pola pergaulan keseharian akan menciptakan aturan aturan tersendiri dalam suatu masyarakat.Aturan yang terbentuk tersebut kemudian akan menjadi dasar yang kuat dalam setiap proses transaksi sosial, dan akan sangat membantu menjadikan berbagai urusan sosial lebih efisien. Ketika norma ini kemudian menjadi norma asosiasi atau norma kelompok, akan sangat banyak manfaatnya dan menguntungkan kehidupan institusi sosial tersebut. Kekuatan-kekuatan sosial dalam melakukan interaksi antar kelompok akan terbentuk. Pada akhirnya mempermudah upaya mencapai kemajuan bersama.Bank Dunia (1999) mendefinisikan Modal Sosial sebagai sesuatu yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan- hubungan yang tercipta, dan norma norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat.Cohen dan Prusak (2001) memberikan pengertian bahwa Modal Sosial sebagai stok dan hubungan yang aktif antar masyarakat. Setiap pola hubungan yang terjadi diikat oleb kepercayaan (trust) kesaling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif

4. Unsur Pokok Modal Sosial 

 1. Partisipasi Dalam Suatu Jaringan
 Salah satu kunci keberhasilan membangun Modal Sosial terletak pula pada kemampuan sekelompok orang dalam suatu asosiasi atau perkumpulan dalam melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial.Masyarakat selalu berhubungan sosial dengan masyarakat yang lain melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom) dan keadaban (civility). Kemampuan anggota anggota kelompok/masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergetis akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu kelompok

.2. ResiprocityModal sosial senantiasa diwarnai oleh kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara resiprokal seketika seperti dalam proses jual beli, melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang dalam nuansa altruism (semangat untuk membantu dan mementingkan kepentingan orang lain). Dalam konsep Islam, semangat semacam ini disebut sebagai keikhlasan. Semangat untuk membantu bagi keuntungan orang lain. Imbalannya tidak diharapkan seketika dan tanpa batas waktu tertentu. Pada masyarakat, dan pada kelompok-kelompok sosial yang terbentuk, yang di dalamnya memiliki bobot resiprositas kuat akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki tingkat Keuntungan lain, masyarakat tersebut akan lebih mudah membangun diri, kelompok dan lingkungan sosial dan fisik mereka secara rnengagumkan.

 3. Trust Trust atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak. yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Robert D Putnam, 1993, 1995, dan 2002). Dalam pandangan Fukuyama (1995, 2002), trust adalah sikap saling mempercayai di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan Modal Sosial.


4. Norma SosialNorma-norma sosial akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk perilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Pengertian norma itu sendiri adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu. Norma-norma ini biasanya terinstusionalisasi dan mengandung sangsi sosial yang dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang menyimpang dan kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya. Aturan-aturan kolektif tersebut biasanya tidak tertulis tapi dipahami oleh setiap anggota rnasyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial.

5. Nilai-Nilai Nilai adalah sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat.

6. Tindakan ProaktifSalah satu unsur penting Modal Sosial adalah keinginan yang kuat dan anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan masyarakat. Ide dasar dan premise ini, bahwa seseorang atau kelompok senantiasa kreatif dan aktif. Mereka melibatkan diri dan mencari kesempatan kesempatan yang dapat memperkaya, tidak saja dan sisi material tapi juga kekayaan hubungan hubungan sosial, dan menguntungkan kelompok, tanpa merugikan orang lain, secara bersama-sama. Mereka cenderung tidak menyukai bantuan bantuan yang sifatnya dilayani, melainkan lebih memberi pilihan untuk lebih banyak melayani secara proaktif.

2.2. Modal Sosial yang Menjembatani (Bridging Social Capital)

 Bentuk Modal Sosial ini atau biasa juga disebut bentuk modern dan suatu pengelompokan, group, asosiasi atau masyarakat. Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada Prinsip Universalisme tentang persamaan, kebebasan, nilai-nilai kemajemukan dan kemanusiaan, terbuka dan mandiri. Prinsip pertama yaitu persamaan bahwasanya setiap anggota dalam suatu kelompok memiliki hak hak dan kewajiban yang sama. Setiap keputusan kelompok berdasarkan kesepakatan yang egaliter dan setiap anggota kelompok..Kedua, adalah kebebasan, bahwasanya setiap anggota kelompok bebas berbicara, mengemukakan pendapat dan ide yang dapat mengembangkan kelompok tersebut. Ketiga, adalah kemajemukan dan humanitarian. Bahwasanya nilai nilai kemanusiaan, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain merupakan prinsip prinsip dasar dalam pengembangan asosiasi, group, kelompok atau suatu melalui masyarakat tertentu.

Telaah pilihan rasional Coleman 3

MEMBIDIK GAYA HIDUP
A. B. Susanto*


Lebih dari sekedar Gold Card. Citibank Garuda Indonesia Travel Festival. Berlibur atau bisnis, terbang dengan harga spesial. Beli tiket Garuda dengan Kartu Kredit Platinum/Gold untuk seluruh rute domestik, Anda tidak saja mendapat diskon, tapi juga cicilan tetap dan ringan dari Citibank EazyPay. Di bawahnya terdapat sederet penawaran tiket Garuda kelas ekonomi ke berbagai kota di Indonesia berikut cicilannya dalam dua belas bulan.

Iklan yang muncul beberapa waktu yang lalu, sungguh menarik perhatian dan pantas untuk ditelaah. Apa yang tergambar di benak Anda jika seseorang pemegang kartu kredit Citibank Platinum/Gold. Mungkin Anda akan beranggapan bahwa mereka selalu naik pesawat kelas bisnis atau first class, dan tidak akan membayar tiket dengan cara mencicil. Tetapi Citibank tentu punya alasan tersendiri yang tentunya didukung oleh data-data yang dimiliki, sehingga ia menawarkan kelas ekonomi untuk pemilik kartu ini dan dengan cara mencicil pula. Bisa jadi anggapan-anggapan yang berkembang selama ini salah.

Keyataan lain juga cukup mendukung. Di tengah krisis yang belum juga usai, kita lihat mobil-mobil mewah berseliweran di jalan raya. Model-model baru selalu ditawarkan, dan laku. Telepon seluler ? Sama juga. Model-model baru selalu muncul, dan dalam jangka waktu tidak terlalu lama, akan tergantikan oleh model baru. Barang elektronik ? Sama juga. Liburan juga banyak ditawarkan. Sesuatu yang menonjol yang perlu diamati, hampir semuanya ditawarkan dengan sistem kredit. Beberapa tahun yang lalu mungkin belum terbayangkan orang berlibur, tetapi bayarnya mencicil dibelakang.

Inilah salah satu aspek penting kenapa gaya hidup harus dipertimbangkan, disamping data demografis yang seringkali menyesatkan dalam memahami perilaku konsumen. Seorang karyawati mungkin rela merogoh kantongnya lebih dalam dan bersedia menyisihkan gajinya untuk mencicil selama setahun demi sebuah tas Louis Vuitton, Channel, Gucci, Prada dan sejenisnya. Sementara seorang pedagang Glodok yang omsetnya puluhan juta per hari mungkin merasa sayang untuk mengeluarkan uang sebesar itu untuk sebuah tas. Rokok kretek tak berfilter yang paling mahal adalah Dji Sam Soe, tetapi pembelinya bukan hanya orang yang secara demografis berpenghasilan tinggi, tetapi juga yang berpenghasilan rendah dengan membeli ketengan.

Gaya hidup adalah perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam aktivitas, minat dan opini khususnya yang berkaitan dengan citra diri untuk merefleksikan status sosialnya. Gaya hidup merupakan frame of reference yang dipakai sesorang dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan membentuk pola perilaku tertentu. Terutama bagaimana dia ingin dipersepsikan oleh orang lain, sehingga gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image di mata orang lain, berkaitan dengan status sosial yang disandangnya. Untuk merefleksikan image inilah, dibutuhkan simbol-simbol status tertentu, yang sangat berperan dalam mempengaruhi perilaku konsumsinya.

Fenomena ini pokok pangkalnya adalah stratifikasi sosial, sebuah struktur sosial yang terdiri lapisan-lapisan : dari lapisan teratas sampai lapisan terbawah. Dalam struktur masyarakat modern, status sosial haruslah diperjuangkan (achieved) dan bukannya karena diberi atau berdasarkan garis keturunan (ascribed). Selayaknya status sosial merupakan penghargaan masyarakat atas prestasi yang dicapai oleh seseorang. Jika seseorang telah mencapai suatu prestasi tertentu, ia layak di tempatkan pada lapisan tertentu dalam masyarakatnya. Semua orang diharapkan mempunyai kesempatan yang sama untuk meraih prestasi, dan melahirkan kompetisi untuk meraihnya.

Di Amerika Serikat kelas sosial ini seperti yang diklasifikasikan oleh Coleman menjadi 7 kelas sosial masing-masing kelas Atas-Atas, Atas Bawah, Menengah Atas, kelas Menengah, kelas Pekerja, Bawah Atas, Bawah-Bawah.

Sementara di Kota Jakarta, hasil penelitian Sosiologi UI yang tertuang dalam Rencana Umum Pembangunan Sosial Budaya DKI Jakarta 1994-1995, dapat distratifikasikan dalam lima strata, yaitu lapisan elite, lapisan menengah, lapisan peralihan, lapisan bawah, dan lapisan terendah.

Dalam perilaku konsumen secara samar orang membedakan pengertian kelas sosial dengan pengertian status sosial. Jika kelas sosial mengacu kepada pendapatan atau daya beli, status sosial lebih mengarah pada prinsip-prinsip konsumsi yang berkaitan dengan gaya hidup.

Dalam masyarakat kosmopolit yang pluralistik, status sosial ini dengan mudah dapat dimanipulasi. Dalam masyarakat metropolis tidak mudah melacak status sosial sebenarnya dalam hirarki sosial. Seseorang mempunyai pilihan apakah dia ingin memproyeksikan diri sesuai dengan resources yang dimiliki, atau dengan memilih memproyeksikan diri lebih tinggi dari seharusnya, atau mungkin justru bersikap low profile dengan memilih memproyeksikan lebih rendah dari yang seharusnya. Pembelian simbol status secara kredit merupakan upaya untuk menempatkan diri di atas resources yang dimiliki.

Seseorang dapat memproyeksikan status sosial tertentu berdasarkan simbol status yang dimiliki. Tujuan pemakaian simbol-simbol status ini adalah memproyeksikan citra diri seseorang agar dipersepsi sebagai bagian dari kelas sosial tertentu.

Karena dalam status ini tersimpan unsur prestise, maka pemakaian simbol status menjadi penting. Kepemilikan simbol status diharapkan menimbulkan respek orang lain untuk mendukung citra yang ingin ditampilkan sesuai dengan status sosialnya.

Hal ini terkait dengan konsep diri (self concept). Konsumen menganggap produk-produk tersebut dapat membantunya untuk mengekspresikan citra apa yang ingin dipancarkan. Citra tersebut dapat merefleksikan citra diri aktual (actual self) yang menggambarkan gambaran saya yang sebenarnya (the real me) maupun citra diri ideal (the ideal self) yang menggambarkan sosok yang diinginkan (the person Id like to be). Produk ini dapat digunakan untuk kedua citra tersebut: dapat digunakan untuk merefleksikan siapa diri kita, dan juga dikesempatan lain dapat dimanfaatkan menjadi apa yang kita inginkan.

Dalam era globalisasi, nilai-nilai egaliter merebak ke berbagai pelosok dunia. Sebagian masyarakat mendapat kesempatan untuk mendaki tangga sosial. Terjadi universalitas simbol-simbol status yang bukan hanya berdasarkan jenis benda yang harus dimiliki, tetapi lebih spesifik lagi adalah mereknya. Beberapa merek muncul menjadi bahasa untuk mengatakan status sosial yang meningkat. Misalnya Rolex untuk jam tangan, jas hujan Burberry, busana Giorgio Armani, dan pena Montblanc. Tujuan pemakaian simbol-simbol status ini adalah memproyeksikan citra diri seseorang.

Salah satu contoh segementasi psikografis adalah VALS 2. Dalam VALS 2 (Values & Life Style) terdapat dua dimensi yang menjadi titik beratnya, yaitu self orientation dan resources. Resources yang dimaksudkan bukanlah semata-mata materi, tetapi dalam arti yang luas yang mencakup sarana dan kapasitas psikologis, fisik, dan demografis. Dalam perilaku konsumsi yang didorong oleh self orientation terdapat tiga kategori yaitu principle, status dan action.

Self orientation yang bertumpu pada principle, berarti keputusan untuk membeli berdasarkan karena keyakinannya. Sehingga keputusannya untuk membeli bukan hanya karena ikut-ikutan atau sekedar untuk mengejar gengsi. Boleh dikatakan tipe ini lebih rasional. Sedangkan yang bertumpu pada status, keputusannya dalam mengkonsumsi didominasi oleh apa kata orang. Produk-produk branded menjadi pilihannya. Bagi yang bertumpu kepada action, keputusan dalam berkonsumsi didasari oleh keinginannya untuk beraktivitas sosial maupun fisik, mendapatkan selingan atau menghadapi resiko. Spa mewah, caf berkelas, dan pertunjukan yang mendatangkan artis internasional terkenal merupakan refleksinya.

Fenomena inilah yang banyak ditemui pada saat ini. Jika logika ekonomi (yang seharusnya negara masih dalam krisis ekonomi) tidak dapat diterapkan, maka memahami perilaku konsumen dari sisi gaya hidup lebih dapat menjelaskan. Kedatangan F 4, Las Ketchup, dan pementasan artis asing lainnya di tengah krisis ekonomi yang juga belum berakhir, adalah fenomena gaya hidup. Atau larisnya artis lokal macam Inul yang berhonor 150 juta rupiah. Membidik gaya hidup merupakan jalan keluar bagi para pemasar di tengah kelesuan ekonomi.


* Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Pilihan Rasional Coleman

Perkara “Democratainment”

April 4th, 2008
Oleh Idi Subandy Ibrahim

Neologisme, bentukan kata baru tak hanya bermakna baru, tetapi memantulkan hadirnya transformasi dan realitas baru. Begitulah istilah democratainment dan politicotainment mulai memperkaya kamus politik kontemporer. Dua istilah hibrid untuk melukiskan kecenderungan dunia politik memasuki abad ke-21.

Istilah tersebut menunjukkan makin kuatnya unsur hiburan dalam praktik demokrasi dan proses politik.

Kajian politik konvensional keteteran menghadapi perubahan dahsyat dunia politik dan menjelaskan perilaku elite politik serta proses partisipasi politik. Bagaimana menjelaskan perubahan "watak" komunikasi politik elite warga dan partisipasi politik warga dalam praktik democratainment dan pentas politicotainment?

Menghibur

Ketika memperkenalkan istilah democratainment, John Hartley (1999) bermaksud menggambarkan kecenderungan praktik demokrasi di tengah pertumbuhan dunia media, khususnya televisi, yang kian terkomersialkan. Istilah ini adalah perluasan untuk istilah hibrid yang sudah dikenal, yakni infotainment dan edutainment. Dalam demokrasi komersial, partisipasi warga dalam bidang publik semakin sering dilakukan melalui media hiburan dan lembaga komersial ketimbang lembaga publik.

Di tengah kemajuan dunia media, partisipasi politik warga tak lagi didominasi secara langsung atau tatap-muka, tetapi dengan perantaraan media hiburan, terutama televisi. Democratainment adalah proses demokrasi yang menghibur. Demokrasi dilihat sebagai hiburan dan sekaligus hiburan sebagai media demokrasi. Orang berpartisipasi di dalam dan lewat hiburan. Alih-alih dilihat sebagai pencipta apatisme politik, media dipAndang sebagai bagian penting dari proses partisipasi dan identifikasi politik warga.

Media adalah bagian hakiki dari praktik demokrasi ini, meski masih sarat kontroversi. Beberapa ahli memandang bahwa media yang menyajikan berita dan opini politik, disertai meningkatnya level pendidikan, memiliki efek mendidik dan memobilisasi warga secara politik. Namun, banyak lagi yang berpendapat sebaliknya. Media dibilang tak mendidik, tetapi hanya menghibur. Media hanya memusatkan perhatiannya pada kisah kehidupan manusia yang superfisial dan tanpa kedalaman. Sebagian lagi memandang media hanya menyajikan "diet berita buruk", yang menekankan konflik, inkompetensi, korupsi, dan skandal. Pendeknya, segala hal yang dianggap sensasional.

Bukankah masyarakat memang butuh sensasi dan fantasi?

Warga "remote-control"

Dalam menentukan sikap dan preferensi politiknya, warga negara menjadi konsumen atau khalayak media. Mereka bebas menentukan pilihan, sesuai dengan drama dan lakon politik yang digandrungi. Mereka bebas memilih dan mengalihkan saluran media hiburan politik yang disukai. Mereka disebut seorang profesor komunikasi politik "warga negara remote-control" (remote-control citizen) (Coleman, 2006).

Di Indonesia, kebangkitan warga negara remote-control adalah potret kebangkitan generasi pascagolongan, pascaikatan primordial. Generasi tanpa ikatan identitas yang kaku. Generasi dengan identitas yang cair ini, identitasnya dibentuk oleh budaya media pop. Ia menyerap banjir nilai yang datang dari berbagai penjuru, terutama melalui media hiburan. Ia membunuh waktu senggang dengan hiburan yang menjanjikan eskapisme seketika yang hadir langsung ke dalam ruang keluarga. Ia adalah "warga politik" dalam "masyarakat tontonan politik".

Media baru ikut menyalurkan pemuasan psikopolitik warga politik baru ini. Teknologi SMS tak hanya menjadi penyambung pesan kasih sayang atau saling tukar foto idola, tetapi untuk mobilisasi dukungan politik. Blog dan komunitas virtual di Internet tak hanya jadi ajang gosip, tetapi media aktualisasi dan promosi diri sekaligus forum penegasan sikap politik di ruang publik.

Di sini, cyberpornotainment berdampingan dengan cyberdemocratainment. Pentas hiburan pornografi dan hiburan demokrasi hadir bersebelahan dalam karut-marut infotainment di dunia maya.

"Demokrasi fans"

Demokrasi mutakhir bukanlah demokrasi populis/kewargaan/kerakyatan dalam artian konvensional. Demokrasi kini adalah "demokrasi publik pengagum" atau "demokrasi para penggemar", atau disebut oleh ilmuwan kajian media sebagai "demokrasi fans". Generasi remote-control butuh fantasi dalam berkreasi dan berpartisipasi. Fantasi akan figur idola dibutuhkan oleh para fans. Karena, dengan fantasi itu mereka membangun identitas dan harapan akan kehidupan politik.

Itulah sebabnya, figur-figur fantasi media menjadi idola dunia politik dan hiburan. Seperti para penonton dalam dunia hiburan butuh idola untuk dipuja, warga masyarakat tontonan pun membutuhkan idola dalam dunia politik untuk dikagumi. Kriteria "politisi yang ideal" pun ikut berubah, ketika ideologi hiburan memaksakan unsur fisik dan penampilan sebagai faktor penting daya tarik warga yang lahir dalam budaya tontonan. Di sini, politik kemasan makin menyingkirkan kualitas kenegarawanan. Retorika citra visual mengalahkan realita aktual.

Democratainment dan politicotainment menunjukkan bahwa demokrasi dan politik tidak perlu hadir secara sangar di ruang publik.

Ketika dunia politik masuk dalam logika budaya pop, figur politisi (kandidat pejabat publik) pun dikonstruksi supaya menjadi seperti figur-figur entertainer pop. Para politisi menjadi penghibur dan dunia politik menjadi panggung hiburan.

Mungkin itulah sebabnya, beberapa politisi sering mengajukan jawaban atas masalah masyarakat dengan jawaban yang hanya "menghibur" masyarakat. Mereka juga rajin menggunakan slogan atau retorika simbolik untuk memberikan jaminan kepada rakyat bahwa seolah-olah masalah sedang diatasi, meski kenyataannya relatif kecil hasil yang telah dicapai oleh kebijakan yang dibuat. Selain itu, mereka juga semakin bersemangat menjadikan dirinya sebagai figur fantasi, seperti layaknya para selebriti dunia hiburan yang sering memerankan tokoh kunci dalam drama-drama fiksi atau opera sabun di televisi.

Kalau sebelumnya proses keterlibatan politik warga dipandang sebagai pilihan rasional-kognitif, lewat hiburan ia dilihat sebagai pilihan emosional-afektif. Itulah sebabnya unsur melodrama, opera sabun, dan tragi komedi yang menjadi bagian penting dari genre bisnis hiburan sangat sesuai dengan dunia dan kehidupan politik yang sering digambarkan seolah-olah "dunia" yang penuh intrik, konflik, ketegangan, pengkhianatan, kemenangan. dan kekalahan yang tak jarang mungkin berakhir tragis. Sehingga, muncul mitos diperlukan pemimpin harapan atau tokoh penyelamat. Tapi, yang lahir para pemimpin penghibur di pentas selebritisasi politik.

Pertanyaannya, apakah proses pendidikan politik lewat democratainment dan politicotainment akan ikut memobilisasi masyarakat untuk menentukan pilihan yang tepat pada pemilu ataukah ia semakin menyuntikkan apatisme politik? Apakah ia akan mencerdaskan atau memiskinkan warga secara politik?

Jawaban pertanyaan ini masih menanti penelitian yang lebih dalam. Penelitian di sejumlah negara maju menunjukkan bukti konsisten bahwa figur media hiburan mulai mengambil alih agen sosialisasi politik tradisional. Barangkali seperti halnya tokoh fantasi dunia hiburan, mulai menjadi tokoh fantasi dunia politik kita akhir-akhir ini. Maka demokrasi para pemimpi akan lebih cocok ,di tengah mayoritas masyarakat yang suka ilusi dan fantasi akan image sosok ketimbang kualitas sang politisi.***

Penulis, peneliti media dan budaya, Institut Komunikasi Jakarta.
(Pikiran-Rakyat)

Tags: , ,

Politik tanpa Imajinasi

March 22nd, 2008
Oleh Idi Subandy Ibrahim

dalam sebuah wawancara eksklusif di televisi, seorang pejabat tinggi dicocor dengan sejumlah pertanyaan kritis oleh seorang presenter yang manis. Dengan penuh percaya diri, sang pejabat menjawab dengan tangkas setiap pertanyaan.

Ketika ditanya sikapnya tentang kenaikan harga kebutuhan sehari-hari, si pejabat menjawab, jangan khawatir itu hanya sementara. Jangan terlalu dibesar-besarkan. Fondasi ekonomi kita masih kuat. Bahkan, dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lain, kita masih jauh lebih baik.

Yang menarik dari sejumlah wawancara sejenis adalah seolah-seolah segalanya sedang berjalan dengan baik. Everything is OK! Tak perlu ada yang terlalu dirisaukan. Kompromi elite politik itu memang lambat, jadi mesti sabar. Utang luar negeri itu hanya masalah waktu. Bencana alam hanya masalah gejala perubahan iklim. Korupsi hanya masalah kriteria. Kemiskinan hanya masalah rendahnya keterampilan rakyat. Dan, demokrasi itu bukan jaminan untuk sejahtera.

Kontradiksi perspektif

Jawaban pejabat di atas terlihat logis dan benar. Akan tetapi, jawaban itu benar bila hanya dilihat dari satu perspektif, yakni perspektif si pejabat atau kelompok elite politik. Jelas bagi kaum elite atau OKB di Jakarta, kenaikan harga pastilah tak akan terasa, apalagi bagi si pejabat yang diwawancara. Akan tetapi, bagaimana bagi masyarakat bawah?

Potret cara berpikir yang cenderung elitis, kurang populis. Ini akan kontradiktif dengan cara berpikir masyarakat. Saya pernah mendengar sendiri, seorang pejabat tinggi yang mengatakan bahwa orang-orang yang sering mengkritik itu karena mereka cemburu. Mungkin saja mereka cemburu. Namun, isi kritik mereka juga harus didengar dengan empati.

Politik yang dijalankan tanpa imajinasi akan fungsi jabatan publik yang sesungguhnya jelas akan kontradiktif dengan cita-cita demokrasi itu sendiri. Di sini kita melihat kebijakan publik yang dijalankan dengan dua pola komunikasi politik yang juga saling bertentangan. Di satu pihak, yang berorientasi pada kepentingan kelompok (golongan atau partai) atau sekelompok kecil elite (klik kepentingan). Di lain pihak, yang berorientasi pada kepentingan warga atau masyarakat luas. Politik dilihat sebagai bagian dari pemberdayaan warga.

Pertama, kebijakan publik yang berorientasi negara akan menghasilkan pola komunikasi politik yang berorientasi elitis. Kekuasaan diraih dan dijalankan bukan untuk merancang atau mengimplementasikan program yang berorientasi menyejahterakan rakyat. Akan tetapi, untuk memuaskan kebutuhan diri, kelompok atau kepentingan sempit demi mempertahankan kekuasaan. Tak usah heran, kalau imajinasi akan kekuasaan masih mendominasi bahasa politik elite politik.

Kedua, kebijakan publik yang berorientasi warga akan menghasilkan pola komunikasi politik yang berorientasi populis. Kekuasaan yang berhasil diraih, dijalankan dengan sungguh-sungguh untuk merancang kebijakan dan menyusun program-program strategis yang berorientasi pada pencapaian keadilan sosial dan kesejahteraan warga, terutama masyarakat bawah. Pejabat publik yang menyadari jabatan dalam sistem demokrasi adalah "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat", pasti akan mengembangkan pola komunikasi politik yang berorientasi populis. Yakni, pada kepentingan masyarakat yang telah bersusah payah memilihnya.

Politik seolah-olah

Mengapa pesan komunikasi politik yang berorientasi populis masih kurang hidup dalam wacana elite politik kita? Beberapa pendapat mengatakan bahwa itu hanya mencerminkan bahwa elite politik Orde Baru dan warisan budaya politiknya masih mendominasi pentas dan wacana politik nasional. Pendapat yang lain mengatakan ibarat pohon besar, reformasi politik baru berhasil memangkas beberapa ranting kecil. Belum sampai ke batang, apalagi akarnya.

Akan tetapi, sebenarnya ada alasan lain mengapa pesan komunikasi politik yang berorientasi elitis masih mendominasi wacana politik nasional. Ini disebabkan imajinasi politik elite dan warga sedang terpesona oleh fantasi-fantasi wacana politik di pentas budaya pop. Dalam pentas demokrasi yang kian terkomersialkan, partisipasi warga dalam urusan publik semakin sering dilakukan melalui media hiburan dan lembaga komersial ketimbang lembaga publik. Tak heran kalau politik lebih dilihat sebagai panggung pertunjukan elite sekaligus pentas hiburan warga.

Ketika politik kian menjadi komoditas, pentas dunia politik semakin didominasi oleh orang-orang yang bermental saudagar dan berpenampilan selebriti. Beberapa di antaranya bahkan tak segan-segan menjadikan jabatan politik untuk bisnis dan sekaligus bisnis sebagai jalan mudah berpolitik. Itulah mungkin sebabnya dalam sejarah politik Indonesia mutakhir, akan aneh kalau menemukan ada orang yang berkurang hartanya setelah dia jadi pejabat publik.

Politik tanpa imajinasi amat mengAndalkan peristiwa semu, kejutan-kejutan sesaat, citra-citra sekilas. Kuatnya komodifikasi politik semakin membuat peristiwa semu politik lebih penting daripada real-politik. Para elite politik yang merupakan komunikator politik profesional lebih sering mengandalkan kekuataan citra ketimbangan ketajaman logika. Lebih mementingkan kemasan kulit ketimbang kualitas isi. Di sini komunikasi politik yang berorientasi substansi semakin dikalahkan oleh komunikasi yang mengandalkan sugesti bunyi, visualisasi penampilan, dan imaji sosok sang politisi.

Politik tanpa imajinasi adalah politik yang berpusat pada kepenting diri (self), bukan pada publik. Semacam gejala "narsisme politik". Politik yang hanya tergila-gila pada diri atau kelompok sendiri. Menurut David Hume dalam karya klasiknya, A Treatise of Human Nature, "Imajinasi memperluas pengalaman." Dengan imajinasi, kita mampu membayangkan hal-hal yang tak pernah kita alami. Kita bisa berempati, merasakan sesuatu dari perspektif orang lain. Kita bisa merasakan bagaimana orang miskin menghadapi kenaikan harga, tanpa kita harus jadi miskin. Miskinnya imajinasi tercermin pada pola komunikasi politik tanpa empati.

Oleh karena itu, tak usah heran kalau jawaban wawancara seorang politisi sering bukan dimaksudkan untuk mencari jalan pemecahan masalah, tapi untuk menimbulkan kesan dan memuaskan diri dan penonton. Di pentas wawancara, politik seolah-solah berjalan mulus. Namun dalam kehidupan nyata, jalan pun tak terurus. "Politik seolah-seolah" ini –meminjam istilah K.H. Abdurrahman Wahid– adalah potret politik yang dijalankan dan dikomunikasikan tanpa imajinasi. Mungkin dalam beberapa dasawarsa ia akan mendominasi kehidupan politik kita.

Penulis, peneliti Institut Komunikasi, mengajar penulisan kreatif di Fikom Universitas Islam Bandung.

Sumber : Pikiran Rakyat Online

Tags: , ,

Teatrikal Ervin Goffman

Metafora Teatrikal di Lembaga Legislatif



Erving Goffman, sosiolog ternama abad ke-20 menganalisis tingkah laku manusia diibaratkan sebuah metafora teatrikal, di mana masyarakat dianggap sebagai sebuah panggung dan orang-orang bertindak sebagai aktor yang menyusun performa mereka untuk memberi ke
Analisis Goffman dikutip Littlejohn (2002) dalam mengkaji masyarakat dari sudut pandang interaksi simbolik, dan analisis ini sangat signifikan untuk melihat konflik internal terjadi di DPR-RI selama dua pekan.

Perpecahan di lembaga legislatif periode 2004-2009 telah melahirkan dua kubu, yaitu Koalisi Kebangsaan dengan Koalisi Kerakyatan memberi kesan buruk di mata rakyat. Dua koalisi sama-sama mengatasnamakan rakyat untuk mengejar kekuasaan. Perebutan kekuasaan menyebabkan mata hati para anggota dewan melupakan sementara amanah yang dititipkan dipundaknya.

Kepiawaian bersilat lidah dengan jargon komunikasi politik atas nama kepentingan kelompok masing-masing koalisi mengubur budaya demokrasi yang berusaha ditegakkan dalam era keterbukaan. Yang ada di benak politisinya, siapa mendapat apa?

Energi politik dihabiskan berkonflik untuk meraih kursi kekuasaan di lembaga rakyat terhormat, dianggap sebagai pekerjaan mulia atas nama tujuan dan ambisi politik. Koalisi Kebangsaan menyapu bersi seluruh komisi dan Koalisi Kerakyatan membuat komisi tandingan sehingga yang ada adalah pertarungan simbolik kekuasaan.

Adegan konflik di Senayan ini ibarat suatu pertunjukan drama politik, di mana konflik telah dijadikan komoditas untuk di pertontonkan di mata rakyat pemilih. Adegan yang dipangungkan, seperti analisis Goffman diperankan dengan apik dan memunculkan karakter politik masing-masing koalisi.

Karakter dipentaskan para politisi menggunakan politik kuat-kuatan dan menang-menangan, dan unsur dialog-lobby sebagai strategi komunikasi politik untuk mencairkan hubungan memanas dan dead-lock terkooptasi atas nama perebutan kekuasaan.

Efek dramatis sudah menjadi realitas politik di masyarakat, citra anggota dewan ?berseteru? adalah aktor-aktor politik dinilai hanya mementingkan dirinya sendiri dan mengabaikan kepentingan publik. Efek dramatis lainnya menampilkan para ?politisi bertopeng?.

Artinya, politisi pada saat kampanye mengumbar janji-janji politik manis dengan dalih kepentingan rakyat, pada saat duduk di lembaga legislatif, karakter yang bertopeng melekat dalam diri politisi telah terbuka, yang nampak adalah karakter aslinya. Karakter asli ini kadang cenderung culas dan menghalalkan segala cara untuk memenuhi ambisi pribadi dan ambisi koalisi.

Maka interaksi simbolik palsu memunculkan karakter ?penampakan? palsu. Dampaknya, menurunkan kredibilitas aktor-aktor politik. Jika perseteruan dua kubu koalisi tidak diakhiri dengan pembagian kekuasaan secara proporsional dan penyelesaian yang dapat diterima logika publik, maka ada dugaan awal muncul fenomena partisipasi politik masyarakat 5 tahun mendatang untuk memilih wakilnya di lembaga legislatif akan cenderung menurun. Adanya citra buruk itu buka saja merugikan anggota dewan berseteru tetapi menurunkan derajat demokrasi yang sementara dibangun dengan susah payah.

Metafora teatrikal sudah ditunjukkan anggota legislatif akan menjadi catatan tersendiri dalam kehidupan politik di DPR RI, maka perebutan kekuasaan dua kubu koalisi dapat disimpulkan sementara; (1) Wakil rakyat mengatasnamakan diri sebagai politisi berparadigma baru ternyata hanya slogan politik, (2) Jika legislator diperhadapkan pada kekuasaan maka kepentingan rakyat cenderung dilupakan.

(3) Politisi yang ada di Senayan mempermalukan dirinya sendiri dengan mempertontonkan drama perebutan kursi kekuasaan, (4) Hawa nafsu ingin menyapu bersih kursi komisi sehingga rambu-rambu aturan ditabrak demi memenangkan pertandingan politik, (4) Munculnya citra miring terhadap koalisi yang bersengketa tidak saja menurunkan wibawa lembaga legislatif tetapi mencederai proses demokrasi.

Itulah drama politik ditampilkan lembaga legislatif. Dan, aktor-aktor pemeran dari dua kubu koalisi merasa tidak ?sadar dan berdosa? kepada pemberi kedaulatan. Yang ada dibenaknya adalah kekuasaan. Perebutan kekuasaan mengalahkan kepentingan rakyat. Ini suatu ironi bagi wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyatnya. Sungguh dramatikal, metafora, dan teatrikal.

Total Institution Ervin Goffman

June 10, 2008

Desentralisasi IPDN Membuka Diri ke Masyarakat

Oleh Zainuddin Maliki

Setelah didesak untuk melakukan perubahan, akhirnya pemerintah bersedia mendesentralisasikan IPDN. Dengan demikian, nanti IPDN tidak terpusat di Jatinangor, Jawa Barat. Perguruan Tinggi Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri itu akan disebarkan di enam daerah.

Niat tersebut layak diapresiasi secara positif. Sebab, desentralisasi bisa menyelesaikan banyak hal. Antara lain, desentralisasi akan lebih memungkinkan IPDN mengeliminasi kesan sebagai perguruan tinggi eksklusif dan elitis.

Kesan elitis itu muncul karena selama IPDN dikelola secara sentralistik, setiap daerah hanya bisa mengirim beberapa calon mahasiswa dalam jumlah yang telah ditentukan. Di sinilah kemudian terjadi permainan sehingga acap yang diterima ialah mereka yang memiliki jaringan dengan kekuasaan. Boleh dikata, sedikit saja mereka yang tidak memiliki jaringan dengan kekuasaan bisa diterima sebagai mahasiswa IPDN.

Desentralisasi juga semakin memungkinkan IPDN untuk mentransformasikan diri sebagai lembaga pendidikan yang lebih kontekstual. Dengan demikian, seluruh input, proses, dan outcome IPDN akan lebih mendekati kebutuhan dan konteks lingkungan di masing-masing daerah. Adalah masing-masing daerah yang lebih memahami jumlah dan kualifikasi Birokrasi macam apa yang diperlukan daerah itu, jenis dan model pengetahuan kepemerintahan apa yang harus diberikan, dan bagaimana pula cara mentransformasikannya.

Angin Baru

Desentralisasi juga akan membawa angin baru bagi perguruan tinggi yang selama ini dilanda begitu banyak kasus, terutama kasus kekerasan fisik. Praktik kekerasan yang muncul di permukaan itu bukan lagi sebuah isu. Kekerasan tersebut merupakan sebuah realitas dan bahkan konon ibarat gunung es. Artinya, masih banyak kekerasan yang terjadi, namun tidak diketahui publik. masalahnya, selama ini manajemen IPDN menerapkan apa yang disebut Erving Goffman dengan "total institution".

Dalam total institution seperti yang dikonsep Erving Goffman, sebuah institusi diatur sedemikian rupa sehingga tertutup bagi masuknya pengaruh luar. Institusi itu dijaga ketat sehingga intervensi dari luar tidak mungkin terjadi seperti layaknya barak militer.

Barak-barak militer dijaga ketat, bahkan dengan laras senapan yang siap menyalak setiap saat. Institusi militer yang ditugaskan negara dan diberi mandat rakyat untuk memonopoli kekerasan memang layak dikelola dengan model total institution.

Namun, pendidikan tidak bisa dikelola demikian. Pendidikan bukan sebuah total institution. Pendidikan harus dikelola secara inklusif agar terbuka partisipasi dari seluruh elemen masyarakat. Keterbukaan bagi turut sertanya elemen-elemen masyarakat tersebut dimaksudkan agar yang ditransformasikan di sekolah tidak mengalami keterputusan dengan sejarah dan kultur masyarakat itu sendiri.

Dengan keterbukaan itu, masyarakat bisa menyerap ide-ide kreatif, pengetahuan dan teknologi yang ditemukan lembaga pendidikan, dan kemudian memanfaatkannya untuk kemajuan.

Disadari atau tidak, model menajemen total institution itu adalah salah satu penyebab terjadinya kekerasan yang tak terkontrol di IPDN. Tanpa mengurangi arti lahirnya alumni IPDN yang berintegritas dan kini memimpin pemerintahan di negeri ini, dalam perkembangan belakangan ini yang dihasilkan IPDN bukannya calon pemimpin birokrasi pemerintah yang memiliki kompetensi moral dan intelektual, melainkan sosok totaliter yang tak tersentuh kontrol publik dan terkait erat dengan praktik kekerasan.

Model total institution yang diterapkan di kampus tersebut telah memungkinkan terjadinya praktik totalitarian. Sedikit saja masyarakat yang bisa ambil bagian, mereka tidak bisa turut serta membicarakan hal-hal yang lebih substantif, seperti turut menentukan arah pendidikan, penyusunan kurikulum, model pedagogis, maupun kompetensi yang hendak dihasilkan. Bahkan, turut memberikan kontrol terhadap kekerasan yang terjadi di dalam kampus itu saja hampir mustahil.

Apa yang dilakukan orang dalam sendiri, seperti kontrol oleh dosen IPDN, Inu Kencana diketahui harus menghadapi berbagai tantangan dan harus menerima risiko pemecatan sebagai dosen.

Desentralisasi itu bisa dijadikan sebagai momentum bagi IPDN untuk membuang totalitarianism dan sebaliknya membuka tradisi baru serta mendekatkan diri dengan masyarakat.

Menjauhkan dengan Pendidikan

Mengelola pendidikan menggunakan pendekatan total institution hanya akan menjauhkan IPDN dari tujuan pendidikan itu sendiri. Tujuan pendidikan bukan hanya menjadikan seseorang cerdas secara kognitif, tetapi juga cerdas dalam upaya membawa perubahan ke arah kemajuan. Cerdas dalam mengolah sumber daya alam serta memiliki kecakapan lintas budaya.

Selain itu, memiliki kesadaran berkewarganegaraan (citizenship awareness) yang tinggi. Mampu menjalin keselarasan dengan pranata sosial-budaya, ekonomi, serta melakukan mobilitas sosial.

Hal itu hanya akan terwujud jika sebuah lembaga pendidikan dikelola dengan pendekatan inklusif dan bukan eksklusif, apalagi dengan sistem totalitarian. Total institution hanya melahirkan manusia-manusia yang ahistoris, berumah di atas angin, dan tidak peka terhadap penderitaan masyarakat. Hanya pendidikan yang diselenggarakan secara terbuka, senantiasa menjalin dan dekat dengan masyarakatnya yang bisa melahirkan sumber daya manusia cerdas, dalam arti mampu menjalin keselarasan dengan masyarakatnya.

Di negara-negara maju, termasuk di negara-negara Asia yang telah memasuki masyarakat industri seperti Hongkong, Korea, Taiwan, dan Singapura, pendidikan dikelola secara inklusif. Masyarakat turut serta menentukan input, proses, dan pengawasan pendidikan.

Pengelolaan pendidikan di Skotlandia, misalnya, membuka diri bagi masuknya berbagai badan ke dalam penyelenggaraan pendidikan. Mereka turut mempersiapkan guru-guru menjadi pendidik yang terlatih, menjamin tersedianya kurikulum yang baik dan bisa dilaksanakan, serta pengawasan jalannya pendidikan.

Scotlandia Executive of Education Department (SEED), Depdiknas-nya Skotlandia, bekerja sama dengan lembaga pengawas pendidikan Her Majesty's Inspectorate of Education (HMIE) yang pemimpinnya langsung ditunjuk ratu Inggris.

SEED juga bekerja sama dengan pemerintah daerah, lembaga-lembaga pendidikan tinggi, General Teaching Council (GTC), organisasi-organisasi guru, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan seperti para orang tua murid dan pihak-pihak swasta guna memastikan kemajuan yang berkesinambungan dalam pencapaian prestasi para siswa di semua bidang pendidikan.

Di Skotlandia, pelaksanaan pengawasan pendidikan dilakukan tim terdiri atas unsur pengawas utama, yang umumnya diambilkan dari kepala-kepala sekolah senior. Pengawas utama turun ke sekolah-sekolah dengan anggota yang disebut layman. Layman diambilkan dari anggota masyarakat yang justru selama itu melakukan aktivitas dan pekerjaan yang sama sekali tidak berurusan dengan pendidikan.

Alhasil, evaluasi pengawas memperoleh pertimbangan dan penilaian dari user pendidikan, yaitu masyarakat. Dari sini mereka membangun learning community. Dalam masyarakat pembelajaran, bukan hanya sekolah yang bertanggung jawab dalam urusan pendidikan, tetapi juga masyarakat.

Dengan demikian, desentralisasi IPDN, yang digambarkan sebagai upaya mendekati masyarakat dengan segala dinamika, aspirasi, kepentingan, dan kondisinya yang ada di daerah, harus disertai dengan kesadaran perlunya membuka kampus terbuka. (*)

Zainuddin Maliki, rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya, ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur. (Jawa Pos Online)

Telaah ervin goffman 5

Buku:
Keajaiban Permainan Sepak Bola

Agus Wibowo *) (25/01/2008 - 13:05 WIB)


Jurnalnet.com (Jogja): Judul Buku : Sepak Bola Tanpa Batas
Penulis : Anung Handoko
Penerbit : Penerbit Kanisius
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : 160 halaman

Pada mulanya, permainan sepak bola dicipta sebagai sarana mengisi waktu luang sembari untuk berolah raga. Akan tetapi, saat ini sepak bola menjelma menjadi ”permainan mahal,” karena menjadi media bisnis besar-besaran yang melibatkan para penguasa dunia. Lebih dari itu, sepak bola bisa merubah status sosial seseorang lantaran kekayaan dan popularitas yang diperoleh para pemainnya.

Selain itu, sepak bola memiliki beberapa keunikan. Pertama, sepak bola merupakan cabang olahraga yang memiliki magnet luar biasa bagi masyarakat luasolahraga sepak bola bukan saja terbuka dalam menampilkan kerja tim (kompak atau kacau), juga mampu membakar semangat pemain dan ofisial serta menebarkan hubungan emosional yang kuat dengan suporter dan penonton.

Kedua, sepak bola ternyata bukan sekadar menarik dalam kompetisi olahraga atau event besar,olahraga yang paling digemari di seluruh dunia ini juga berhasil menjadi fokus interaksi publik atau focused interaction, meminjam istilahnya Erving Goffman (1992). Yaitu fokus interaksi yang terjadi ketika orang secara efektif sepakat untuk menopang waktu sebagai satu fokus dari perhatian kognitif dan visual seperti dalam sebuah perbincangan, papan permainan, atau tugas gabungan yang didukung oleh sebuah lingkaran para kontributornya yang dekat dan saling berhadapan.

Kita tentu masih ingat dengan pertandingan sepak bola Piala Asia (Asian Cup) 2007, beberapa waktu lalu. Tim kesebelasan merah-putih harus menelan pil pahit lantaran dikalahkan 2-1 oleh Arab Saudi pada menit-menit terakhir menjelang pertandingan Usai. Begitu juga saat melawan Korea Selatan, tim kita dipaksa bertekuk lutut 1-0.

Meski pada akhirnya tim merah-putih kandas untuk meraih posisi puncak pada event ini, setidaknya kita bersyukur ternyata sepak bola masih mampu merekatkan solidaritas bangsa ini. Silang-sengketa dan benih-benih disintegrasi sejenak terlindas oleh perasaan senasib dan seperjuangan untuk meraih juara Asia.

Tatkala kesebelasan kita berlaga melawan Arab Saudi maupun Korea Selatan (Korsel), seluruh lapisan rakyat meluangkan waktunya dan bersatu-padu memberi dukungan mental bagi tim kesayangannya. Entah politisi, artis, maupun elemen yang tadinya berseteru, saling tikam dan saling tuding, sejenak melupakan persoalan itu dan duduk bersama sembari melihat permainan cantik kesebelasan kita. Bahkan, presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) beserta keluarga, rela berdesak-desakan masuk gelora Bung Karno hanya untuk memberi semangat “pahlawan” negaranya.

Menurut Jay J. Coakley dalam Sport in Society, Issues and Controversies (1986), fenomena solidaritas olahraga ini secara sosiologis memiliki mata rantai dengan unsur-unsur kehidupan, diantaranya: Pertama, relasi organisasi sosial, perilaku kelompok, dan pola-pola interaksi sosial yang eksis dalam semua tipe yang berbeda. Kedua, proses-proses sosial yang terjadi dengan olahraga, seperti sosialisasi, kompetisi, kooperasi, konflik, stratifikasi sosial, dan perubahan sosial.

Piala Asia 2007 sebagai perhelatan pertandingan sepak bola yang diikuti oleh kesebelasan-kesebelasan terbaik di kawasan Asia juga bisa luar biasa memukau dan fantastis. Meski tak sehebat Copa Amerika, Piala Afrika maupun kejuaraan Eropa, maupun Piala Dunia (World Cup),namun potensi 1.5 miliar penduduk di kawasan Asia diharapkan akan mengangkat profilnya.

Piala Asia tetap bisa menjadi pusat perhatian sekaligus menjadi media untuk menghimpun publik yang berhasil memalingkan perhatian mereka dari kesibukan rutin sehari-hari. Pada even ini muncul pemain-pemain berbakat yang bermain di Liga-Liga Eropa, misalnya Shunsuke Nakamura yang bermain di Glasgow Celtic, Mark VIduka di Newcastle, Harry Kewell dari Liverpool dan Naohiro Takahara di klub Jerman Frakkfurt akan turun.

Muncul pula tim-tim unggul yang sebelumnya tidak terprediksikan, misalnya Arab Saudi dan Irak. Tim kesebelasan Arab Saudi berhasil menundukkan Jepang dengan sangat manis. Padahal Jepang pada Piala Dunia 2002 menjadi wakil dari benua Asia. Mengejutkan lagi keberhasilan kesebelasan Irak menundukkan Korea Selatan.

Kemenangan Irak melalui adu tendangan penalti yang dramatis atas Korea Selatan hari Rabu membuat ribuan orang turun ke jalan-jalan raya di Baghdad sambil mengibarkan bendera, menyanyi, dan melepaskan tembakan secara serampangan ke udara.

Sementara itu, mayoritas penduduk Irak dari berbagai masyarakat yang saling berperang di negara tersebut menyambut gembira kemenangan tersebut dan menikmati momen kebahagiaan nasional yang jarang terjadi itu, para pemberontak yang menggunakan bom mobil meledakkan dua bom mereka di antara kerumunan orang. Akibatnya 50 orang penduduk sipil Irak dan seorang polisi tewas akibat ledakan itu, 90 lainnya luka-luka, dan 18 kendaraan hancur.

Buku yang ada di tangan pembaca ini, berusaha menelisik asal-usul permainan sepak bola beserta nilai-nilai atau mukjizat-mukjizat yang membingkainya. Paling tidak, buku ini bisa dijadikan salah-satu rujukan bagi para peneliti yang ingin mengetahui lebih lanjut seluk-beluk sepak bola. Meski demikian, buku ini perlu dilengkapi dengan kajian sejarah sepak bola yang mendalam, serta hal-ikhwal mengapa sepak bola yang dahulu hanya permainan yang sifatnya sekedar untuk hiburan, berubah menjadi permainan yang diperdagangkan.[]

*) Penggemar Bola dan Mahasiswa Program Pascasarjana

Self Presentation Ervin Goffman

SELF PRESENTATION

Manusia mencari tahu tentang siapa dirinya dan self esteem yg ia miliki di dalam dirinya. Gambaran ini walau bagaimanapun tidak dapat menggambarkan keadaan diri individu seutuhnya, melainkan kita juga harus melihat social self yg dimiliki oleh individu tersebut. Banyak orang yang memberikan perhatian terhadap image yang ia tampilkan kepada orang lain. Dengan cara yang sama, orang tersebut juga memperhatikan citraan yang mereka tampilkan melalui perilaku kepada publik. Apa yang mereka katakan dan apa yang akan dipikirkan oleh orang lain (tetangga)?
Menurut Erving Goffman (1959), masing-masing dari kita mengasumsikan suatu identitas tertentu atau suatu identitas sosial, bahwa orang lain akan menolong kami. Yang diilhami oleh teori Goffman, psikologi social self presentation adalah proses dimana kita mencoba untuk membentuk apa yang orang lain pikirkan tentang kita dan apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri (Leary &Kowalski, 1990; Schlenker &Weigold, 1992; Tedeschi,1981)

? Dua Tipe Self Presentation
Apabila dilihat dari segi motive, self presentation terdiri dari 2 tipe, yaitu Strategic Self Presentation dan Self Verification. Strategic Self Presentation dilandasi usaha untuk membentu kesan yang spesifik terhadap orang lain yang dapat menimbulkan simpati, pengaruh, dan persetujuan. Adapun tujuan spesifik dari self presentation adalah keinginan untuk terlihat menarik, kompeten, bermoral, berbahaya atau berwibawa.
Secara spesifik orang-orang mencoba menampilkan identitas yang berbeda-beda dari dirinya di dalam situasi yang berbeda-beda pula (Leary &Kowalski, 1990). Bagaimanapun juga terdapat 2 strategi umum di dalam mencapai sasaran self presentation. Yang pertama adalah ingratiation, suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku yang dimotivasi oeh keinginan untuk diterima dan disukai. Ketika orang-orang ingin disukai atau diterima, mereka akan berusaha menampilkan yang terbaik, contohnya dengan cara banyak memberikan senyum, menganggukan kepalanya, memperilhatkan ekspresi menyetujui dan kalau perlu mereka akan menolong, memberikan pujian dan menjilat. Yang kedua adalah self promotion, yaitu suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku yang termotivasi oleh suatu keinginan untuk lebih dari orang lain dan dihormati karena kompetensi yang dimiliki (Arkin, 1981; Jones& Pittman, 1982). Ketika orang-orang ingin dihormati berdasarkan kompetensinya, mereka akan berusaha memberikan kesan kepada orang lain dengan cara membicarakan diri mereka sendiri, dan memperlihatkan pengetahuan yang dimilikinya, status dan eksploitasi-eksploitasi.
Self presentation juga akan mengakibatkan masalah-masalah yang lain. Di dalam suatu artikel proaktif yang berjudul "Self-presentation dapat mendatangkan resiko pada kesehatan Anda (Self presentation can be hazardous to your helath)", Mark Leary dan para rekannya (1994), mengatakan bahwa kebutuhan untuk memproyeksikan image yang disukai oleh orang lain dapat mengarahkan kita ke arah pola perilaku yang tidak aman. Sebagai contohnya, self presentation yang dihubungkan dapat meningkatkan resiko AIDS (ketika seorang laki-laki merasa malu untuk membeli kondom dan pembicaraan secara terbuka dengan mitra seks mereka), kanker kulit (ketika orang-orang berjemur di bawah matahari untuk menggelapkan warna kulitnya agar terlihat menarij), gangguan pola makan (ketika wanita terlalu keras diet atau penggunaan dari amfetamina, laxative (obat pencuci perut) dan memaksa memuntahkan kembali agar tetap terlihat langsing), penyalahgunaan obat-obatan (ketika para remaja merokok, minum-minuman keras, dan memakai narkoba penggunaan untuk mengesankan teman sebayanya), dan luka yang disengaja.
Motif self presentation yang kedua adalah self verification, yaitu keinginan agar orang lain menerima diri kita seperti kita menerima diri kita sendiri seutuhnya. Menurut William Swann (1987), orang-orang sangat termotivasi untuk membuktikan keberadaan self conceptnya dalam pandangan orang lain. Swann dan para rekan kerjanya sudah mengumpulkan banyak bukti untuk hipotesis ini, sebagai contohnya, orang-orang akan selektif di dalam mengingat dan menerima feedback kepribadiannya yang mengkonfirmasikan self conceptnya. Pada kenyataannya, terkadang orang ingin menyembunyikan sesuatu dari orang lain agar terlihat baik namun hal tersebut sebenarnya adalah salah. Di dalam sebuah penelitian, orang yang saling berinteraksi dengan lawan interaksi yang kemudian dikatakan bahwa mereka terlhat dominan atau submisif. Ketika sebuah komentar itu sesuai dengan self concept yg dimilikinya, maka komentar tersebut dapat diterima. Namun, ketika hal tersebut tidak sesuai, mereka akan beralih untuk membuktikan bahwa lawan interaksinya salah, mereka yang merasa diri mereka dominan tetapi dianggap lemah nantinya akan bertingkah laku lebih asertif dari biasanya; mereka yang memandang diri mereka sebagai submisif tetapi dianggap dominan sebaliknya akan menjadi lebih penurut (Swann &Bukit, 1982).
Terkait dengan aspek yang penting dari self concept, riset menunjukkan bahwa orang-orang lebih suka mencerminkan dan belajar lebih banyak tentang kualitas mereka yang positif dibanding yang negatif (Sedikides, 1993). Meski demikian, muncul keinginan untuk self enhancement. Kita semua ingin membuat suatu kesan yang baik, tetapi kita juga ingin orang lain yang ada dalam hidup kita agar memiliki kesan yang akurat, kesan yang sesuai dengan self concept kita.

? High and Low Self-Monitoring
Meskipun self presentation adalah suatu jalan hidup untuk kita semua, namun hal tersebut berbeda-beda pada setiap individu. Secara umum mereka lebih menyadari gambaran diri mereka secara umum dibandingkan orang lain. Juga, sebagian orang lebih suka untuk menggunakan strategic self presentation, sementara orang lain lebih menyukai self verification. Menurut Mark Snyder (1987), perbedaan ini dihubungkan dengan ciri kepribadian yang disebut self monitoring, kecenderungan untuk meregulasi perilaku sesuai dengan tuntutan sosial.
Individu yang memiliki self monitoring tinggi tampaknya memiliki peran sebagai dirinya sendiri agar menarik. Karena mereka peka terhadap strategic self presentation, mereka akan bersikap lebih tenang, siap, dan mampu untuk merubah tingkah laku mereka seperti halnya mereka bergerak dari satu situasi kie situasi lainnya.
Psikolog-psikolog sosial berselisih tentang (1) apakah skala self monitoring mengukur satu ciri umum atau kombinasi dua atau lebih ciri-ciri yang spesifik (Briggs &Pipi, 1998; Lennox, 1988) dan (2) apakah self-monitors yang tinggi dan rendah mewakili; menunjukkan dua jenis orang atau 2 poin sepanjang suatu rangkaian (Gangestad &Snyder, 1991; Tukang giling &Thayer, 1989). Meski demikian hasil tes dapat digunakan untuk memprediksikan tingkah laku sosial yang penting. Terkait dengan suatu gambaran yang publik, self-monitors tinggi tidak hanya untuk orang dewasa tapi juga untuk anak-anak (Graziano et al., 1987). Keluar dari kebiasaan mereka untuk belajar tentang orang lain yang mungkin akan berinteraksi dengan mereka dan mengenai aturan tentang tingkah laku yang pantas. Lalu, setelah mereka mengukur situasi tersebut mereka merubah tingkah laku mereka (Danheiser &Graziano, 1982; Shaffer et al., 1982). Jika suatu situasi mengharuskan mereka melakukan penyesuaian, self monitor yang tinggi akan menyesuaikan; jika situasi yang sama melakukan otonomi mereka menolak untuk menyesuaikan diri. Sebaliknya, self monitors rendah memelihara sikap yang relative konsisten di setiap situasi (Snyder &Monson, 1975).

? Proses Tumbuh Kembang Self Presentation

Di tahun terakhir, psikolog-psikolog sosial sudah menemukan bahwa paling sedikit bagian dari self concept itu dibentuk oleh pengalaman-pengalaman hidup dan bermacam-macam situasi satu ke situasi yang berikutnya. Dari perspektif ini, self memiliki berbagai macam makna.
Ketika membahas tentang self esteem ada kalanya kita cukup memfokuskan diri untuk menjadi sangat berhati-hati dengan kekurangan yang kita miliki. Setelah kita membahas self concept dan self esteem, maka bahasan selanjutnya adalah self presentation. Hal tersebut telah jelas bahwa masing-masing individu mempunyai suatu self yang terdiri dari pemikiran dan perasaan memori-memori, dan self-schemas. Tetapi jelas sekali bahwa kita juga memiliki outer self yang digambarkan oleh peran yang kita mainkan dan topeng yang kita pakai di muka umum.
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa self presentation merupakan refleksi dari self esteem dan self concept yang ada di dalam diri individu. Munculnya self presentation pada diri individu dilatarbelakangi oleh adanya motif-motif yang berasal dari diri individu tersebut, yaitu motif strategic self presentation dan self verification. Dalam hal ini self presentation berfungsi sebagai modal bagi individu untuk melakuan penilaian terhadap orang lain dan dinilai oleh orang lain. Di dalam prosesnya self presentation dapat menimbulkan dampak positif dan negatif yang nantinya akan mempengaruhi interaksi yang dilakukan oleh individu yang terlibat. Bila dampak yang ditimbulkan negatif maka interaksi yang terjadi menjadi lebih terbatas, dan apabila dampak yang ditimbulkan positif, maka kemungkinan terjadinya interaksi akan lebih besar.

Dramaturgi Ervin Goffman

Teater Kematian Soeharto

Oleh DEDDY MULYANA

Wafatnya mantan Presiden RI Soeharto telah menyita begitu banyak perhatian kita. Fenomena sosial tersebut dapat ditafsirkan dengan berbagai perspektif, keagamaan (spiritual), hukum, politik, sosial-budaya, klenik, ilmiah, dan sebagainya. Kematian Pak Harto, khususnya via TV, menarik diikuti karena mengandung aspek-aspek yang memenuhi naluri kita sebagai khalayak media, yang salah satunya adalah drama (tragedi). Dari perspektif ilmiah misalnya, pendekatan dramaturgi dari sosiolog Amerika Erving Goffman (1959) sangat potensial untuk menganalisis ritual kematian Soeharto.

Goffman adalah penafsir brilian teori interaksi simbolik George Herbert Mead (1934). Sebagaimana Mead, Goffman sangat menekankan makna sosial dari (konsep) diri karena individu mengambil peran orang lain dan bergantung pada orang lain untuk melengkapkan citra-diri tersebut. Namun, kontras dengan diri Mead yang stabil dan sinambung selagi membentuk dan dibentuk masyarakat secara jangka panjang, diri Goffman bersifat situasional karena selalu dituntut oleh peran-peran sosial berbeda dalam episode-episode pendek.

Menurut Goffman, kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi "wilayah depan" (front region) dan "wilayah belakang" (back region). Wilayah depan adalah tempat atau peristiwa sosial yang memungkinkan individu atau suatu tim menampilkan peran formal atau bergaya, bak memainkan suatu peran di atas panggung sandiwara. Sebaliknya, wilayah belakang adalah tempat atau peristiwa yang memungkinkan mereka mempersiapkan peran di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung depan (front stage) yang ditonton khalayak, sedangkan wilayah belakang ibarat panggung belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan.

Menggunakan pandangan Goffman, kebanyakan atribut, milik (rumah dan perabotannya, mobil, busana), dan perilaku manusia digunakan untuk presentasi diri, termasuk cara berjalan dan berbicara, pekerjaan dan cara menghabiskan waktu luang, untuk memberi tahu orang lain siapa kita dan mengendalikan pengaruh yang akan ditimbulkan busana, penampilan, dan kebiasaan kita terhadap orang lain supaya orang lain memandang kita sebagai orang atau tim yang ingin kita tunjukkan.

Dalam kebanyakan kasus, pelaku dan khalayak mencapai apa yang Goffman sebut "konsensus kerja" (working consensus) mengenai definisi atas satu sama lain dan situasi yang kemudian membimbing interaksi mereka. Seperti aktor panggung, aktor sosial membawakan peran, mengasumsikan karakter, dan bermain melalui adegan-adegan ketika terlibat dalam interaksi dengan orang lain. Meskipun Goffman mengakui bahwa drama kehidupan sosial sehari-hari lebih penting daripada produksi teater bagi mereka yang melaksanakan dan menyaksikannya, Goffman menunjukkan bahwa kedua jenis drama tersebut menggunakan teknik yang sama, aktor sosial seperti aktor teater bergantung pada busana, make up, pembawaan diri, dialek, pernak-pernik, dan alat dramatik lainnya untuk memproduksi pengalaman dan pemahaman realitas yang sama.

Goffman sebenarnya secara intrinsik menekankan karakter yang kooperatif dan moral interaksi manusia. Ia menunjukkan bahwa pertunjukan timbal balik menciptakan aturan-aturan yang secara timbal balik diterima yang membentuk basis interaksi sosial yang tertib. Ia tidak bermaksud mengatakan bahwa semua perilaku manusia adalah berpura-pura, tidak jujur atau untuk menipu. Dengan kata-kata Cahill (1998), "Saya mempertunjukkan bagi Anda dan menyajikan diri saya dengan cara yang saya pilih. Anda mempertunjukkan bagi saya dan menyajikan diri Anda dengan cara yang Anda pilih. Sebagian dari pertunjukan ini jujur, sebagian lagi tidak jujur. Akan tetapi, bila tidak terdapat bukti penipuan maka kita sepakat menghormati pertunjukan satu sama lain dan memperlakukan satu sama lain."

Dengan kata lain, tidak semua presentasi diri adalah misrepresentasi diri, orang ingin dan dapat menunjukkan siapa dirinya sebagaimana ia ingin dan dapat menyembunyikannya. Pemainan yang menipu, penipuan, sinisme, dan pengkhianatan memang dilakukan melalui dramaturgi, tetapi begitu juga cinta, kebenaran, ketulusan, dan keotentikan (Brissett dan Edgley, 1990). Bagaimana orang tahu bahwa kita orang yang ramah kecuali memang kita harus bersikap ramah baik secara verbal ataupun nonverbal, yang memungkinkan orang lain mendefinisikan siapa kita.

**

Dalam kehidupan manusia, salah satu peristiwa paling dramatis adalah upacara kematian. Dalam hasil penelitiannya tentang upacara kematian Amerika yang klasik, "Death as Theater: A Dramaturgical Analysis of the American Funeral", Ronny Turner dan Charled E. Edgley dalam jurnal Sociology and Social Research (1976) melukiskan bagaimana para penyelenggara upacara kematian di Amerika yang dibayar keluarga mendiang mendandani mayat sedemikian rupa agar tampak bersih dan damai ketika dilihat para pelayat, meskipun tubuhnya sudah rusak bahkan diolok-olok saat dibersihkan dan dirapikan di panggung belakang, dan meskipun si mayat punya sisi kehidupan yang gelap pada masa lalunya.

Mereka juga tidak jarang melatih keluarga mendiang untuk bersikap sedemikian rupa di depan publik, bahkan kalau perlu menangis agar mereka tampak begitu mencintai dan kehilangan si mati. Mereka memilih peti mati tertentu untuk menunjukkan status mendiang dan menyewa kelompok musik tertentu (kalau perlu yang mahal) untuk melengkapi upacara itu agar tercipta kesan bahwa si mayat sekadar sedang istirahat atau tidur dengan damai, misalnya melalui lagu "Death is Only a Dream" atau "It is not Death to Die."

Jika ritual umumnya memungkinkan para pesertanya berbagi komitmen emosional dan menjadi perekat bagi kepaduan mereka, terlebih lagi ritual kematian. Bukanlah substansi kegiatan ritual itu sendiri yang terpenting melainkan makna simbolisnya yakni bahwa manusia adalah "makhluk agung" yang diciptakan oleh sesuatu yang lebih Agung lagi daripada manusia itu sendiri, yang bersifat "Maha".

Ritual kematian menunjukkan bahwa si mati, terlepas dari banyaknya kesalahan yang pernah dilakukannya, diterima dalam keluarga yang mencintainya dan diakui oleh kelompok yang pernah memperoleh jasa darinya atau bersumpah setia kepadanya.

Maka, pada minggu terakhir Januari ini kita menyaksikan kematian Soeharto yang diupacarakan secara resmi kenegaraan, meskipun perannya sebagai kepala negara selama 32 tahun sangat kontroversial, berjasa besar bagi bangsa Indonesia tetapi juga dianggap membangkrutkan bangsa ini.

Di kediaman Soeharto di Jakarta, mendiang dilepas oleh inspektur upacara ketua DPR Agung Laksono. Putra-putri mendiang tak lupa melewati usungan jenazah Soeharto dari bawah untuk menunjukkan bahwa mereka ikhlas melepas ayah mereka. Dalam upacara di Astana Giribangun, Presiden SBY dan putri sulung Soeharto, Siti Hardianti Rukmana, memberikan sambutan dalam upacara kematian tersebut di Astana Giribangun Karanganyar Jateng, dan menegaskan bahwa Soeharto meninggal dengan tenang.

SBY khususnya mengatakan bahwa Soeharto adalah putra terbaik bangsa. Stasiun Metro TV bahkan memperdengarkan lagu "Gugur Bunga" berulang-kali seusai penayangan upacara tersebut, mengisyaratkan bahwa Soeharto adalah seorang pahlawan.

Kita memang bukan makhluk rasional semata-mata. Bila segala kegiatan manusia harus rasional, mengapa kita harus melakukan upacara pemakaman yang melibatkan begitu banyak orang dan menghabiskan begitu banyak biaya? Mengapa mayat Pak Harto harus dibersihkan dan didandani terlebih dulu? Mengapa harus ada begitu banyak ritual sebelum, selama, dan setelah pemakamannya?

Agama Islam yang dianut dan budaya Jawa Pak Harto tentu saja dapat memberikan penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan itu. Akan tetapi, sebagaimana diisyaratkan Ralph Ross (1957), upacara kematian menegaskan kembali tempat manusia dalam masyarakat, keluarga, persahabatan, dan dalam cinta. Hal itu juga menegaskan kembali jati diri manusia, kekhususan hidupnya, kesenjangan yang ia tinggalkan dalam kehidupan orang lain.

Seorang manusia bukan seperangkat mesin dan tidak dapat digantikan sepenuhnya oleh orang lain. Setiap manusia itu unik dan keunikannya juga diperingati kembali. Menururt Ross, masyarakat menyatakan kepeduliannya kepada setiap anggotanya dan para penerusnya lewat upacara pemakaman. Masyarakat menegaskan kematian seorang manusia dan kesinambungannya dalam memori dan pengaruh, dalam keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan masyarakatnya sendiri.

Oleh karena itu, sebagaimana dilukiskan Ross, beralasan bila dalam "Hamlet" karya sastra Shakespeare yang legendaris itu, penutupnya bukanlah kematian sang pangeran melainkan pemakaman tentara yang simbolis dan orasi yang disampaikan penerus Hamlet, Fortinbras. Makna hidup Hamlet dikemukakan dan kebajikan-kebajikannya dipuji. Ia bukan hanya seorang pangeran, namun pangeran yang satu ini, dan kematiannya membuat negerinya kehilangan dia.

Mirip dengan pemakaman Hamlet, dalam pemakaman Soeharto, tidak mengherankan bahwa jasa-jasa besarnyalah yang ditonjolkan, bukan kesalahan-kesalahannya. Seperti diakui putri Soeharto, Mbak Tutut, dalam pemakaman Soeharto di Astana Giribangun Karanganyar, sebagai manusia biasa Pak Harto tidak luput dari kesalahan dan karenanya mohon dimaafkan.

Namun, dibandingkan dengan pemakaman Hamlet, ada sedikit yang berbeda dalam pemakaman Soeharto. Para pemainnya jauh lebih banyak dan ucapan serta tindak-tanduk mereka jauh lebih semarak. Lebih spesifik lagi, dalam drama kematian Soeharto yang kolosal itu, ada drama-drama lain yang dimainkan oleh individu-individu atau tim-tim kecil.

Bahkan, para pemain tersebut juga termasuk orang-orang yang semula menghujat Soeharto. Maka, kita melihat ucapan belasungkawa bertebaran di media massa, dari perusahaan, organisasi, atau individu. Karangan-karangan bunga berdatangan baik ke rumah sakit, ke kediaman mendiang di Jln. Cendana Jakarta, ataupun di peristirahatannya yang terakhir di Astana Giribangun. Para pejabat penting atau mantan pejabat penting menghadiri pemakamannya, termasuk dari negara-negara asing. Sejumlah orang yang dulu dizalimi Soeharto pun dikabarkan memaafkan Soeharto setelah Soeharto wafat. Semua itu boleh jadi dimaksudkan agar khalayak punya kesan positif terhadap individu-individu, tim-tim, atau lembaga-lembaga tersebut.

Betapa pun, sebagai teater kehidupan, kemegahan upacara kematian manusia, termasuk upacara kematian Pak Harto, tidak selalu berkorelasi dengan derajat penerimaan Dia yang memiliki kehidupan, meskipun kita berdoa semoga ada korelasinya dalam kematian Pak Harto. Allah boleh jadi memandang baik orang mati, meskipun ia diantar sedikit orang, dan sebaliknya memandang buruk kematian yang diantar oleh sedemikian banyak orang, termasuk oleh orang-orang penting.

**

Teori dramaturgi Erving Goffman sebenarnya tidak baru sama sekali. Empat belas abad lalu Allah SWT juga telah mengingatkan lewat Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw bahwa kehidupan di dunia ini adalah panggung sandiwara, meskipun Ia menggunakan istilah-istilah lain, misalnya, "Dan kehidupan dunia hanyalah kesenangan tipuan." (Ali-Imran: 185), "Sungguh, kehidupan di dunia hanyalah permainan dan kegembiraan sia-sia. Tetapi jika kamu beriman dan menjaga diri dari kejahatan. Akan diberi-Nya kamu pahalamu." (Muhammad: 47), dan "Kehidupan dunia ini dibandingkan dengan kehidupan akhirat hanyalah kesenangan yang sedikit." (Arrad: 26).

Jabatan kekuasaan atau gelar akademis setinggi apa pun, kekayaan, rumah megah, dan mobil semewah apa pun takkan berguna dalam kehidupan sejati yang akan kita jalani kelak jika kita dalam hidup kita di dunia sekarang ini jauh dari-Nya.

Jika kita tidak menyadari bahwa kehidupan sesungguhnya adalah kehidupan akhirat, celakalah kita. Di dunia ini pada akhirnya kita tak bisa pergi ke mana-mana, kecuali kepada-Nya. Allah menyeru, "Ke mana kamu akan pergi?" (Attakwir: 26), dan "Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah." (Albaqarah: 156), apakah kita rela atau tidak.

Oleh karena itu, seyogianyalah kita pulang ke haribaan-Nya dengan jiwa yang murni, sebagaimana Allah menyeru, "Wahai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati rida dan diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku." (Alfajr: 27-30).***

Penulis, Guru Besar Fikom dan Program Pascasarjana Unpad.

Penulis:

Telaah bourdieu 5

Dominasi Maskulin dalam Filem PPC PDF Cetak E-mail
Ditulis oleh Grace Samboh
Selasa, 15 Juli 2008 20:17

Perempuan Punya Cerita. Sebuah Filem garapan empat sutradara perempuan muda Indonesia. Satu ulasan mengatakan bahwa filem ini lebih pantas berjudul "Perempuan Punya Derita” karena penderitaan tanpa-akhir yang dialami hampir semua tokoh perempuan di dalamnya. Salah satu situs perfileman Indonesia, bahkan meresensi filem ini dengan judul Para Perempuan Malang. Padahal, omnibus filem Perempuan Punya Cerita (PPC) ini disutradarai oleh empat perempuan: Fatimah T. Rony, Upi Avianto, Nia Dinata, dan Lasja Fauzia Susatyo; ditulis oleh: Vivian Idris dan Melissa Karim; dan diproduseri oleh Nia Dinata.

Para pembuat filem perempuan ini, menurut saya, malah menciptakan tokoh-tokoh perempuan yang lemah, kasihan, menderita, dan malang dalam masing-masing sekuennya. Saya menemukan cukup banyak tulisan yang menyorot penderitaan tokoh perempuan dalam omnibus filem produksi Kalyana Shira ini. Padahal, keempat filem pendek ini dinyatakan oleh produser dan para sutradaranya sebagai filem dari, oleh, dan untuk perempuan. Filem ini terlanjur mempunyai beban sebagai ‘pernyataan sosial’ apabila dilihat semua materi publikasinya (poster, kaos panitia, dan sejumlah pernyataan yang dimuat media massa). Salah satu ulasan mengenai filem ini mengatakan bahwa isu yang ‘terlanjur dibebaninya’ adalah mengenai ‘perempuan yang berdaya’.

posterperempuanpunyacerita

Dominasi Maskulin Bourdieu, Dekonstruksi Derrida, dan Kematian Pengarang Barthes

Mengetahui adanya sekelompok laki-laki yang bersekutu untuk meminta Menteri Urusan Laki-laki di India, saya tertarik menuliskan penindasan yang terjadi pada laki-laki, walau hanya dalam filem. Alasannya sepele. Pertama, cobalah Anda tulis ‘kajian gender’ sebagai kata kunci pencarian dalam Google. Dalam 0,22 detik Anda akan menemukan sekitar 103.000 hasil pencarian. Sampai halaman kesepuluh dari penemuan tersebut, saya belum menemukan tulisan tentang ‘penomorduaan’ laki-laki, mulai dari esai ilmiah, jurnal, artikel, sampai ke tulisan-tulisan dalam sejumlah situs pribadi. Padahal situs-situs pribadi ini adalah sebuah ruang di mana pemiliknya bebas menyuarakan hal-hal yang ‘menyimpang’. Apakah berarti laki-laki tidak ada yang tertindas (atau ditindas)? Apakah hanya perempuan yang merasa dimarginalisasi? Saya rasa tidak.

Merujuk kepada dominasi maskulin Bourdieu, laki-laki sebenarnya tidak seberuntung kelihatannya. Bourdieu melihat dominasi maskulin seperti koin, mempunyai dua sisi. Sisi pertama dari koin tersebut adalah privilese, untuk berbagai macam hal dan posisi, dan sisi keduanya adalah jebakan, karena keterikatannya dengan pemahaman-pemahaman maskulinitas yang ada. Dalam Masculine Domination, Bourdieu menggunakan sejumlah konsep yang mendukung ke pemahaman mengenai dominasi maskulinnya: habitus dan doksa. Habitus, menurut Bourdieu, adalah sebuah sistem di mana masing-masing individu menerapkan disposisinya sendiri untuk menghadapi realitas sosialnya. Pada tahap yang lebih lanjut, disposisi diri ini menjadi pengalaman mental yang sudah biasa dialami, sehingga tidak lagi objektif (‘dipaksakan’) dan menjadi subjektif (‘normal’). Keterbiasaan menerima struktur objektif sosial, lama-kelamaan menjadikan masing-masing individu ‘terbiasa’ dalam tatanan pemikiran dan perilaku. Hal inilah yang akhirnya membuat hubungan doksa muncul.

Doksa adalah pemahaman yang sudah tidak lagi dipikirkan, sudah tertanam, diterima sebagai kebiasaan yang mendasari perilaku dan pemikiran dalam lapangan (arena ‘perjuangan’ sosial) tertentu. Doksa bertendensi untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka yang memberikan previlese pada yang dominan dan mereka yang memperlakukan posisi dominannya sebagai sebuah keuntungan. Maka, kategori-kategori pemahaman dan persepsi yang mengonstitusikan sebuah habitus, yang harmonis dengan tujuan organisasi dalam sebuah lapangan, bertendensi untuk mereproduksi struktur dalam lapangan. Bourdieu memang melihat habitus sebagai kunci reproduksi sosial karena habitus adalah pusat pembuatan dan pembatasan hal-hal yang menjadi kehidupan sosial.

Roland Barthes, dalam artikelnya di jurnal Aspen, mengatakan bahwa pengarang itu sudah mati. Pengertian pembaca terhadap karya, itulah yang penting. Kelahiran pembaca, demikian tutup Barthes dalam artikelnya. Saya pun menganut kepercayaan ini. Namun, ketertarikan saya menganalisis PPC memang karena pembuat filemnya (atau pembuat naskahnya —scriptor dalam terminologi Barthes) perempuan: bagaimana mereka menciptakan laki-laki dalam ‘dunia’ mereka. Apabila memposisikan diri sebagai pembaca yang baru lahir (new-born reader), para lelaki-dalam-filem dibaca sebagai teks, mereka tetap dapat dikategorikan tidak berguna, bahkan memperburuk situasi dan kondisi para perempuan yang diceritakan. Ketidakbergunaan para lelaki-dalam-filem inilah yang akan saya analisis dalam tulisan ini, berkebalikan dengan sejumlah tulisan yang sudah beredar dan diskusi yang pernah dilaksanakan.

Saat para Platonis percaya bahwa esensi lebih penting dari eksistensi, Derrida mengatakan sebaliknya (seperti juga Sartre dan eksistensialismenya). Dekonstruksi menggoyahkan segala konsep kemapanan, membuatnya menjadi tidak mapan, dan mengembalikannya sebagai sebuah konsep baru. Merujuk kepada pemikiran Derrida, saya merasa perspektif yang seringkali digunakan dalam pengajian gender perlu diubah. Setidaknya, dalam menganalisis PPC.

Pilihan perspektif saya memang berbeda dengan sejumlah kritik yang sudah beredar atas filem PPC ini. Banyaknya tulisan yang sudah menjabarkan penderitaan para perempuan-dalam-filem PPC, membuat saya tertarik untuk melihat dari perspektif lain. Saya, kemudian, tertarik dengan karakter laki-laki dalam PPC ini. Mengapa? Karena, laki-laki-dalam-filem ini diciptakan oleh perempuan. Seperti sudah dipaparkan sebelumnya, penulis naskahnya adalah perempuan, Vivian dan Melissa. Maka, penulis naskah filem menjadi krusial posisinya, karena naskah yang buruk tidak akan pernah bisa menghasilkan filem yang baik. Penulis naskah, menurut saya, adalah ‘Tuhan’ dalam filem yang ditulisnya. Filem itu sendiri adalah sebuah dunia yang diciptakannya. Vivian ‘menuhani’ dua filem: Cerita Yogyakarta dan Cerita dari Pulau; sementara kedua filem lainnya, Cerita dari Cibinong dan Cerita Jakarta, ‘tuhan’nya adalah Melissa Karim. Kedua penulis naskah ini menciptakan dan memposisikan karakter laki-lakinya dengan cara, bentuk, dan porsi yang berbeda.

Saya melihat ketidakbergunaan laki-laki-dalam-filem ini sebagai bentuk penindasan para pembuat filemnya. Lelaki-dalam-filem PPC dengan semua rincian gerak, lagak, dan cakapnya adalah hasil penciptaan kedua penulis naskahnya. Atas alasan inilah saya mengatakan filem ini menindas laki-laki. Karakter laki-laki yang diciptakan para pembuat filemnya hampir semua tidak berguna dalam tatanan tertentu. Para lelaki-dalam-filem ini bukannya digambarkan tidak (atau kurang) maskulin, namun, yang lucu adalah bagaimana mereka, selain tidak berguna, menjadi sumber masalah atau hanya ‘figuran’ dalam hidup para perempuannya. Ketidakbergunaan lelaki-dalam-filem ini bahkan terjadi pada mereka yang protagonis atau yang (katakanlah) ‘baik’.

Representasi Karakter Lelaki Tertindas dalam Keempat Filem Pendek Perempuan Punya Cerita

Cerita dari Pulau

Ahmad Rokim (Arswendy Nasution) pada Cerita dari Pulau, karya Fatimah T. Rony, adalah seorang suami yang tidak digambarkan memiliki pekerjaan tetap —sementara istrinya adalah sosok penting karena berprofesi sebagai (satu-satunya) bidan di pulau tempat mereka tinggal. Filem ini mengarahkan pemahaman penonton kepada keberadaan Rokim dan Sumantri (Rieke Diah Pitaloka) di salah satu pulau terpencil di Kepulauan Seribu itu dikarenakan pekerjaan sang istri. Kebaikan Rokim, yang direpresentasikan melalui pembawaannya, adalah ‘kebaikan ideal’ yang diinginkan perempuan pada sosok suami (ramah, sopan dalam bertutur, lembut, namun tetap mengurangi kelelakiannya). Bentuk kepedulian Rokim yang besar kepada Sumantri digambarkan dengan ngototnya ia mencari informasi mengenai penyakit yang diderita istrinya. Walau setelah tahupun ia menerima istrinya apa adanya, Rokim, yang juga tahu istrinya mencintai pekerjaannya dengan sepenuh hati, tetap mengajak Sumantri kembali ke Jakarta dengan mengatasnamakan kemudahan akses pengobatan penyakit Sumantri. Di tengah cerita, laki-laki yang digambarkan sebagai suami penyayang istri ini memutuskan untuk menjual rumah tanpa berdiskusi dengan istrinya. Konflik dalam filem semakin memanas ketika si suami ‘ideal’ ini ternyata memutuskan untuk memukuli tanpa ampun sejumlah laki-laki yang ditemukannya sebagai pemerkosa Wulan (Rachel Maryam), anak tetangganya.

Ada dua tokoh yang digambarkan sebagai pemerkosa Wulan, perempuan penderita kelainan mental yang sangat disayangi Sumantri. Nanda (Ferry Ardian) dan Tommy (Edo Borne Putra) adalah dua pemuda asal Jakarta yang statusnya berlibur di pulau ini. Eric Sasono, dalam resensinya, menuliskan bahwa mereka seakan-akan ada di sana hanya untuk memerkosa Wulan. Kesimpulan itu, menurut saya, timbul karena sejak penampilan pertama —saat turun kapal— kedua tokoh ini digambarkan langsung menggoda Wulan. Kemunculan kedua mereka adalah adegan nongkrong bersama salah satu pemuda penghuni pulau, Hasan (Iwan Bango), dengan tujuan menunggu Wulan lewat. Masih dalam adegan nongkrong, mereka menyusun strategi memancing perhatian Wulan untuk, akhirnya, diperkosa. Kemudian setelah berhasil memerkosa, mereka menertawakan ke’istimewa’an Wulan. “…makin dia meronta-ronta, gua makin nafsu, man!” ujar Tommy yang kontan disusul oleh gelak tawa Nanda dan Hasan.

Nah, Hasan adalah si pemuda yang nongkrong bersama kedua turis tadi. Ia turut dipukuli pada saat Rokim mendengar pembicaraan mereka mengenai pemerkosaan Wulan. Sebagai pemuda asli pulau, ia digambarkan tidak peduli lingkungan dan masyarakat sekitar dengan memberikan sejumlah tips untuk menarik perhatian Wulan, yang tertarik pada cahaya —dan akhirnya memang dengan cahayalah mereka memancing Wulan. Hasan kemudian dijadikan kambing hitam oleh Tommy dan Nanda. Ialah yang ditangkap sebagai pemerkosa Wulan —sementara Tommy dan Nanda melenggang bebas— oleh serombongan warga yang kemudian berarak ke rumah Wulan.

Rombongan ini isinya adalah Tommy; Nanda; Pak Lurah (Syamsul Hadi) yang sama sekali tidak membela Wulan, warganya, dan, malah, mendukung perdamaian-dengan-uang; Pak Ipul (Syaiful) yang, mungkin karena uangnya, disegani di pulau ini dan, memang, bergestur semena-mena; dan beberapa laki-laki sebagai warga (setempat) yang malah memihak kepada Tommy dan Nanda. Cara Pak Lurah dan Pak Ipul menghadapi keluarga Wulan adalah dengan menyuruh Tommy memberikannya uang damai.

Selain serombongan laki-laki tidak berperasaan itu, masih ada satu tokoh (figuran) lagi dalam filem ini, yang tidak kurang ‘ketidakpentingannya’, yaitu Pak Polisi (Miftah). Kepadanyalah Sumantri melaporkan pemerkosaan Wulan. Tanggapan yang didapatkan Sumantri adalah penolakan atas laporan tersebut dengan alasan Wulan tidak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pihak kepolisian. Kenyataan bahwa Wulan adalah penderita kelainan mental diabaikan Pak Polisi. Selain tidak menghiraukan laporan pemerkosaan Wulan, salah satu aparat pemerintah yang berslogan “Pelindung, Pengayom, dan Pelayan Masyarakat” ini malah mengancam Sumantri.

Cerita Yogyakarta

“Heh! Awas kalau berani buka mulut! …bilang-bilang! Tak’ bunuh!” ancam Jarwo (Achmadi) pada Tejo (Cia Partawinata), temannya yang sering dimaki ‘banci’. Bagi saya, terlalu berlebihan mendengar Jarwo dengan entengnya mengatakan kepada Jay Anwar (Fauzi Baadila) bahwa ia dan teman-temannya sudah berhubungan seks secara aktif sejak duduk di bangku SMP. Pernyataan Jarwo ini mengakibatkan ia ditertawai ‘geng’nya karena ia tidak pernah dilihat bersama perempuan. Ia, yang sepanjang filem tidak pernah disebutkan namanya, tidak tahu bahwa Jay pernah (dengan tidak sengaja) melihat skandalnya dengan Tejo. Adegan ‘skandal’ yang hanya sekian detik ini menggambarkan kontroversi karakter Jarwo, karena pengancaman Tejo ini berlangsung saat ia sedang menghisap kemaluan Jarwo. Tentunya, ini menjadi salah satu dari sekian banyak adegan yang dipotong oleh Lembaga Sensor Film untuk versi bioskop Cerita Yogyakarta, karya Upi Avianto. Jarwo adalah salah satu anggota ‘geng’ murid laki-laki SMAN 69 yang banal dan binal. Dalam kelas, bersama kelompoknya, ia menertawai guru yang mengajarkan sistem reproduksi perempuan, mengatakan teori yang diajarkan sudah ketinggalan zaman. Salah satu teman Jarwo menyatakan “…wong kita praktiknya udah lebih maju, ya ndak?!”

Kalimat itu keluar dari mulut Dimas (Kukuh Adirizky), pelajar SMA dengan tampang kontradiktif, antara nakal dan ‘anak mami’. Pemilik rumah tempat teman-teman seangkatannya nongkrong ini merelakan kamarnya untuk digunakan berhubungan seks oleh semua temannya (secara bergantian dengan pasangan masing-masing). Menurut saya, hal itu dilakukannya supaya ia disenangi teman-temannya. Dimas juga digambarkan manut terhadap ibunya dengan selalu menyahut akan setiap sapaan basa-basi ibunya. Bahkan, suatu ketika ia sedang berhubungan seks dengan salah satu teman perempuannya, ia tetap menjawab ibunya dengan teriakan dari dalam kamar. Di lain kesempatan, ia memaki dan membodoh-bodohi ketiga temannya karena Rahma (Adithya Putri) —yang pernah mereka gilir— ternyata hamil. Ia kemudian memutuskan bahwa cara menentukan siapa di antara mereka berempat yang harus bertanggungjawab menikahi Rahma adalah dengan mengundinya (dengan kertas kocokan seperti arisan). Sosok yang digambarkan sebagai ‘kepala geng’ ini juga digambarkan minim pengetahuan dalam ‘khazanah pornografi kontemporer’ dengan menyimpan video di telepon selularnya tanpa mengetahui apa (atau, lebih tepatnya, siapa) nama aktris filem porno Jepang yang beberapa waktu lalu sempat populer –Miyabi.

Bagas (Dyo Aleathea) adalah tokoh yang digambarkan paling ‘berwacana’ dalam ‘khazanah pornografi kontemporer’ dengan mengetahui asal-usul Miyabi dari Jepang, bukan Mandarin. Ia juga mengetahui cara menggugurkan kandungan, walaupun caranya kuno (menggunakan Sprite dan nanas muda) dan tidak ada jaminan keampuhannya. Anehnya, ia rela pacarnya, Rahma, digilir teman-temannya. Laki-laki ini digambarkan tidak berperasaan dengan hanya tersenyum, entah manis atau pahit —susah dijelaskan karena, menurut saya, tidak ada penokohan yang kuat dan konsisten dalam filem ini— pada saat menyelamati Rahma di hari perkawinannya dengan Yanto (Ariel Vanka K.).

Yanto, si pengantin laki-laki Rahma, adalah anggota terakhir ‘geng’ laki-laki SMAN 69 yang berwajah paling muda. Ia, yang dengan bangganya memamerkan bahwa telah berhasil memerawani gadis berseragam putih-biru, ternyata terlalu bodoh untuk menyadari bahwa ia dicurangi teman-temannya dalam undian mereka mencari siapa yang ‘harus’ menikahi Rahma. Keputusannya —walau karena undian— untuk menikahi Rahma juga aneh mengingat ia mengaku tidak menyelesaikan hubungan seksnya dengan Rahma karena ibu Dimas sudah terlanjur pulang saat itu. Ketika mendengar kepoloson Yanto mengatakan Miyabi berasal dari Mandarin, Anda, yang mengerti pornografi, akan langsung melupakan bahwa ternyata tumpukan di bawah DVD porno yang sibuk mereka pilih adalah CD Trio Macan dan Peterpan.

“Ada Miyabi nggak?” sela Jay di hadapan sekelompok anak SMA yang sedang memilah DVD porno itu. Tanpa membeli, ia langsung pergi. Mungkin hanya supaya terlihat jagoan di mata ‘geng’ berseragam putih abu-abu tadi saja, karena tanpa akhirnya membeli, iapun pergi. Tokoh utama laki-laki dalam filem ini selalu (dan berulang-ulang kali) dengan bangga menyatakan ia berasal dari Jakarta. Jay digambarkan menjadi sosok lelaki dewasa yang digemari para tokoh perempuan yang pada umumnya sama banalnya dengan yang laki-laki. Jay lebih sering bersama Safina (Kirana Larasati), selaku perempuan yang berbeda-dengan-teman-temannya-karena-masih-perawan. Akhirnya Safina menyerahkan keperawanannya kepada Jay, yang keesokan harinya pulang ke Jakarta dengan hanya mengatakan terima kasih dan mempunyai seorang kekasih di Jakarta (yang diperankan oleh Tiara).

Beberapa waktu kemudian murid-murid (dan, tentunya, guru-guru) SMAN 69 gempar melihat Koran Tumpas yang mengulas kehidupan seksual sekolah mereka. Penulisnya adalah Jay, yang ternyata seorang wartawan. Demikianlah ia digambarkan sebagai wartawan laki-laki yang tidak beretika karena selama perjalanannya di Yogyakarta, ia tidak pernah menyatakan posisinya sebagai penulis yang sedang meneliti. Selain itu, di awal filem ini penonton disodorkan dengan kemungkinan Jay adalah mahasiswa yang baru datang ke Yogyakarta melalui pernyataan pemilik warung internet (warnet), diperankan oleh Arie Dagienk, “…oh, mahasiswa dari Jakarta, toh!”

Filem ini juga punya peran (figuran) yang tidak kalah ‘ketidakpentingannya’, seperti Cerita dari Pulau, yaitu si pemilik warnet yang selalu mengonsumsi hal-hal porno. Mulai dari koran merah (yang kalau tidak dipegang, minimal tampak di layar), buku stensil, sampai situs porno. Warnetnya ini digambarkan mempunyai bilik khusus untuk indehoi —meminjam istilah yang digunakan pemilik warnet dalam filem ini untuk menawarkan fasilitas tersebut. Dengan alasan bisnis, pemiliknya tidak berkeberatan warnetnya dipakai untuk tempat masturbasi sambil mencari ‘literatur untuk memperluas wawasan’ pornografi para pelajar kota pelajar itu.

Cerita dari Cibinong

Melissa Karim, seperti Vivian Idris, juga mengisahkan tokoh ‘bencong’, walau hanya sekilas dan tidak memiliki peranan penting dari segi cerita. Dalam Cerita dari Cibinong karya Nia Dinata, tokoh ‘bencong’ hanya tampil sebagai figuran yang meramaikan (dan mungkin maksudnya membuat jadi lucu) adegan berkelahi di depan bar dangdut Merem Melek milik Jaja (Firza Achmar Paloh). Selain sebagai pemilik, Jaja juga digambarkan sebagai preman penguasa di daerah sekitar bar tersebut. Tidak jelas apakah Jaja adalah suami atau sekadar pasangan kumpul kebo Cicih (Sarah Sechan), penyanyi utama dalam Trio Dag Dig Duer yang populer di bar tersebut, namun yang pasti Jaja menjaga Cicih dengan baik. Ia juga, seperti halnya Rokim dalam Cerita dari Pulau, digambarkan sebagai laki-laki baik dan penyayang pasangannya. Ketika Mansur (Otto Satrya Djauhari) yang dinilainya mengancam keamanan Cicih muncul, Jaja menunjukkan kekuasaannya dengan berkata (setengah memaki) “Eh, lo! Ngapain lo disini lo?! Gua tau banget siape elo! … Macem-macem di sini, gua awetin lo, ye!” Makiannya tidak berhasil menjaga Cicih, yang akhirnya kabur dengan lelaki yang diancam Jaja tadi. Kegagalan kelelakiannya dalam menjaga Cicih, kemudian tertutup dengan sikapnya yang tetap baik dan sopan kepada Esi (Shanty) dan anggota Trio Dag Dig Duer lainnya.

Mansur, yang mengaku berasal dari agensi yang mengorbitkan Vetty Vera (penyanyi dangdut populer), adalah tokoh laki-laki hidung belang yang pekerjaannya adalah mencari ‘korban’ di daerah-daerah terpencil. ‘Korban’nya tentu perempuan muda yang masih perawan, seperti yang ditegaskan oleh atasan Mansur yang dipanggilnya ‘Koh’ (Alditio Pradana). Mereka kemudian dijual ke Taiwan dan Singapura. Mansur menjanjikan Cicih sebuah pekerjaan menyanyi di klub dangdut Belarosa, dengan syarat Cicih mau membawa Maesaroh (Ken Nala Amrytha) ke Jakarta. Tentu Mansur tak berkata apapun mengenai Maesaroh akan diperjualbelikan. Mansur mengatakan bahwa Maesaroh akan dipekerjakan di sebuah hotel berbintang lima dengan gaji yang sangat besar. Walau akhirnya Cicih mengetahui kebodohannya yang telah terperdaya Mansur, Maesaroh sudah terlanjur dinikahi pengusaha Taiwan. Cicih pun harus kabur dari cengkeraman Mansur yang menguncinya dalam area tempat tinggalnya.

Sekembalinya Cicih ke Cibinong, ia harus menghadapi Esi yang setengah mati menderita karena kehilangan Maesaroh, anaknya. Penderitaan yang jaraknya terlalu dekat dengan kenyataan ia baru saja meninggalkan Narto (Reka Wijaya) yang ia tangkap basah sedang menyuruh Maesaroh memuaskan birahinya. Narto yang memang bukan bapak kandung Maesaroh ini tidak diberikan karakter sama sekali. Ia hanya muncul sebagai laki-laki yang serumah dengan Esi (entah suami atau hanya tinggal bersama) tanpa latar belakang apa-apa. Yang dapat diketahui kemudian melalui pernyataan Maesaroh adalah bahwa ia tidak pernah berhubungan seks dengan Narto, hanya disuruh ‘isap-isap’.

Selain Jaja, Mansur, Narto, dan Bun Liang, semua tokoh laki-laki lainnya hanyalah figuran semata. Si ‘bencong’ tadi, satpam, dan para pengunjung bar Merem Melek yang beringasan, selalu mabuk, suka menjamah para penyanyinya, dan dengan penuh amarah siap ‘meruntuhkan’ bar (pada saat para penyanyinya sedikit terlambat naik panggung). Lagi-lagi sekumpulan warga sekitar yang tidak punya kepentingan apa-apa selain menambah penggambaran kebodohan warga, terutama laki-laki, dalam setiap konflik di masing-masing filem.

Cerita Jakarta

Untuk Cerita Jakarta, konfliknya sedikit berbeda. Cerita ini tidak melibatkan tokoh sebanyak di filem-filem lainnya dan tidak ada sekumpulan laki-laki bodoh yang diceritakannya. Hanya ada dua tokoh laki-laki yang digambarkan tertindas.

Pertama, Reno Sumardiprojo (Winky Wiryawan) yang tampil tidak sampai tiga menit tetapi merupakan penyebab malapetaka yang menimpa istrinya yang beretnis Cina, Laksmi (Susan Bachtiar). Dalam kemunculan sebentarnya, Reno diperlihatkan sebagai laki-laki dalam kubikal kamar mandi uniseks yang sedang berhubungan seks dengan seorang perempuan tak dikenal (Nasta Sutardjo) sambil menyuntikkan obat-obatan terlarang sampai akhirnya meninggal (entah karena kelebihan dosis atau penyakit) —sayang pada saat harusnya ditunjukkan terkulai mati, perutnya masih terlihat bergerak tanda masih bernafas. Dengan pemunculan yang demikian, penonton dibawa ke pemahaman bahwa ia adalah pecandu obat-obatan terlarang dan laki-laki yang berhubungan seks dengan siapa saja yang ditemuinya dan mau. Akhirnya, (sebagian) penonton akan mengasumsikan bahwa ialah yang menyebabkan Laksmi juga menderita AIDS, karena Laksmi digambarkan sebagai perempuan dan ibu yang baik.

Sayang, mertua Laksmi, Ibu Sumardiprojo (Ratna Riantiarno) dan Bapak Sumardiprojo (Tarzan), malah akhirnya menyalahkan Laksmi atas kepergian Reno. Mereka menuduh Laksmi sebagai penular penyakit itu kepada anaknya. Sosok ayah Reno disini digambarkan sebagai tipikal ikatan-suami-takut-istri. Bapak Sumardiprojo menurut saja pada semua pendapat dan perilaku istrinya terhadapnya.

Selain kedua tokoh penting itu, yang cukup sering muncul adalah Sinshe Cen Lung (Henky Solaiman) sebagai tabib tradisional Cina yang mengobati Laksmi. Ia digambarkan sebagai tabib yang baik, dengan tidak meminta uang pada saat melihat Laksmi datang dengan keadaan menyedihkan dan memberikan referensi tempat pengobatan gratis untuknya.

Dominasi Maskulin Bourdieu dan Pengandaian

Pada akhirnya, saya melihat bahwa tokoh laki-laki utama yang diciptakan penulis naskah dalam filem-filem pendek ini memiliki peranan ‘merusak’ kehidupan para tokoh perempuannya. Posisinya adalah: apabila tidak ada para laki-laki itu, tentu kehidupan tokoh perempuannya, yang memang sudah menyedihkan, akan lebih baik.

Dominasi maskulin adalah salah satu buah pemikiran Pierre Bourdieu. Dominasi maskulin merupakan salah satu contoh penting dari kekerasan simbolik —kekerasan yang hampir tidak terlihat, ‘baik’, dialami sehari-hari dalam kehidupan sosial sehingga tidak lagi dirasakan sebagai sebuah kekerasan. Melalui konsep ini, Bourdieu menyatakan bahwa maskulinitas memiliki dua sisi yang saling terikat, bagaikan koin. Di satu sisi, maskulinitas adalah privilese, namun di sisi lainnya, ia merupakan sebuah jebakan (bagi laki-laki). Seperti halnya dalam filem PPC ini, laki-laki-dalam-filem ini sebagian besar memenuhi standar maskulinitas pada awal penemuannya, yang dikatakan Wikipedia meliputi tujuh area yang dirumuskan Janet Saltzman Chafetz dalam Handbook of the Sociology of Gender (1974, 35-36).

Walau tanpa semua tokoh laki-lakipun Sumantri tetap menderita kanker stadium tiga, coba bayangkan Cerita dari Pulau tanpa Rokim, suami yang merepresi keinginan Sumantri untuk tetap menjadi bidan di pulau itu? Ia tentu akan tetap bisa mengekspresikan kecintaannya terhadap Wulan, tetap menjaganya, tetap menjalankan apa yang diinginkannya, dan tidak membuat para perempuan penghuni pulau itu resah karena harus berhadapan dengan bidan baru. Atau, tanpa adanya Tommy, Nanda, dan Hasan? Wulan tentu tidak perlu punya pengalaman diperkosa dan aborsi. Atau dengan Pak Lurah dan polisi yang lebih baik? Tentu para pemerkosanya tak akan lolos atas nama uang. Apalagi kalau kesemua tokoh laki-laki itu tidak ada?

Cerita Yogyakarta tanpa Jay saja mungkin belum lengkap, perlu ketidakadaan semua tokoh laki-laki dalam filem ini baru para perempuannya akan baik-baik saja. Tetapi, marilah mengecualikan filem ini. Saya rasa keseluruhan tokoh filem ini sudah terlalu bobrok untuk diandai-andaikan tidak ada salah satu tokohnya pun. Semua karakternya terlalu bermoral bobrok dan, untuk menganalisis lebih lanjut, kenyataan bahwa filem ini tidak mampu menceritakan Yogyakarta dengan baik, membuat saya tidak dapat menganalisisnya dari perspektif gender.

Bagaimana kalau Esi tidak perlu tinggal bersama Narto? Mungkin ia tidak perlu kabur dari rumah yang melindunginya bersama Maesaroh, kemudian tidak perlu tinggal di rumah Cicih. Tentu dengan demikian Maesaroh tidak berkesempatan bertemu Mansur, hingga akhirnya ia di jual. Bahkan, Cicih mungkin tidak akan menderita akibat ditipu Mansur di Jakarta, karena apabila tidak ada Maesaroh, yang lebih diinginkan Mansur karena faktor uang, toh, Mansur tidak akan membawa Cicih ke Jakarta.

Tanpa Reno, Laksmi, mungkin, tidak akan mengidap AIDS dan, yang pasti, tidak perlu berhadapan dengan kedua mertuanya. Maka tak perlulah filem ini ada. Karakter-karakter laki-laki dalam filem-filem ini dibuat oleh untuk menindas karakter perempuannya.

Pengandaian di atas memang tidak menyelesaikan masalah apapun. Saya hanya berusaha mengilustrasikan bagaimana laki-laki ditindas para pembuat filem perempuan ini dengan ditokohkan sedemikian rupa. Apakah dengan menindas tokoh laki-laki yang mereka ciptakan kemudian mereka berhak menyatakan filem ini tentang para perempuan yang berdaya? Saya rasa tidak. Saya malah malu, terutama apabila dengan (balik) menindas laki-laki mereka merasa filem ini adalah filem tentang perempuan. Selain karena akhirnya sejumlah ulasan (terpublikasi/tidak) dan diskusi (formal/non-formal) mengatakan bahwa akhirnya filem ini malah menyudutkan perempuan dengan menggambarkan kemalangan-kemalangan tanpa solusi. Sebagai perempuan, saya juga malu karena akhirnya filem ini terlihat seperti lebih mementingkan isu ‘dari, oleh, dan untuk perempuan’ ketimbang menawarkan (pilihan) jalan keluar dari keterpurukan atau ketersudutan perempuan di Indonesia.[]