Jumat, 12 Juni 2009

Habitus Prameker bourdieu

Habitus Pramekers
Sabtu, 27 Desember 2008 | 11:58 WIB

Oleh ANHAR WIDODO

Saat mulai menjalani hari-hari sebagai pramekerspenumpang setia Kereta Api Prameksdari Solo ke Yogyakarta, dan sebaliknya, saya tidak menemukan hal yang menarik selain bahwa hal itu adalah rutinitas dari para komuter. Mereka yang tinggal dan hidup di satu kota (Solo), tetapi dengan aktivitas harian (bekerja/belajar) di Yogyakarta, demikian sebaliknya. Lambat laun, saya mencermati dan menemukan sejumlah perubahan baru dalam rutinitas sebagai pramekers. Asumsinya, hidup dalam irama dan aturan Kereta Api Prambanan Ekspress adalah sebuah kompleksitas sosial yang menarik untuk dicermati. Saya teringat dengan konsep habitus dari Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis. Mengutip Haryatmoko (Basis, Nomor 11-12, Tahun Ke-52/2003), Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai pengondisian yang dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas.

Hasil suatu habitus: sistem- sistem disposisi yang tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur- struktur yang dibentuk, yang dimaksudkan untuk berfungsi sebagai struktur-struktur yang membentuk. Artinya, menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktik-praktik hidup dan representasi-representasi, yang dapat disesuaikan dengan tujuan-tujuan tanpa mengandaikan pengarahan tujuan secara sadar dan penguasaan secara sengaja upaya-upaya yang perlu untuk mencapainya, secara obyektif diatur dan teratur tanpa harus menjadi buah dari kepatuhan akan aturan-aturan dan secara kolektif diselaraskan tanpa harus menjadi hasil dari pengaturan seorang dirigen. Gagasan ini tentunya tidak akan menempatkan konsep habitus Bourdieu secara tepat, mendalam, dan luas pada upaya melihat fenomena pramekers. Bukankah saat kita menjadi pelanggan setia KA Prambanan Ekspress (Prameks) dan dicap sebagai pramekers, kita telah masuk dalam kelas tertentu dengan seperangkat syarat dan aturan yang telah dikondisikan sebelumnya. KA Prameks diberangkatkan pada jam-jam tertentu yang telah ditetapkan waktunya dan berlaku untuk jangka waktu yang cukup lama. Artinya, rutinitas irama terbentuk karena kepastian jadwal sebagai salah satu struktur pembentuk. Dengan alasan keteraturan (waktu datang, berangkat, dan sampai di tujuan) dan kepastian (jadwal, harga tiket yang terjangkau, dan kenyamanan-layanan) dibandingkan dengan moda transportasi lain yang melayani rute Solo-Yogya dan sebaliknya, KA Prameks telah membangun sebuah komuter yang disebut dengan pramekers. Kebiasaan Menjadi sangat menarik mengaitkan konsep habitus-nya Bourdieu dengan habit (kebiasaan) pramekers. Mulai dari soal cara mencatat dan menghafalkan jadwal, mengantre tiket, sampai mencari tempat duduk paling pas di stasiun.

Soal di pintu bagian mana (depan, tengah, atau belakang) mereka akan naik ke atas kereta, sampai aktivitas yang akan dilakukan baik saat perjalanan berangkat ke tujuan maupun kembali ke asal. Dengan memerhatikan lebih seksama mereka yang memilih menjadi pramekers, kita dapat melihat masyarakat seperti apa yang melingkupi dan hidup di sekitar kita. Pramekers pekerja biasanya adalah mereka yang menggunakan kereta yang berangkat paling awal dan kembali lebih terakhir. Tiket mereka adalah tiket terusan (langganan) yang berlaku untuk jangka waktu tertentu (bulanan), dengan demikian mereka hemat beberapa ribu rupiah karena mendapatkan diskon/potongan harga. Sesaat setelah kereta berjalan, mereka mengaktifkan music player, memasang headphone, dan mulai memejamkan matamemanfaatkan waktu satu jam perjalanan untuk menyambung tidur pagi yang terputus karena harus mengejar kereta. Pramekers pelajar/mahasiswa, biasanya mereka menggunakan kereta yang tidak terlalu pagi dan kembali lebih awal dari para pekerja.

Ada sebagian dari mereka yang menggunakan tiket terusan (langganan), tetapi banyak yang lain menggunakan tiket sekali jalan. Pramekers pelajar/mahasiswa menggunakan waktu dalam perjalanan mereka untuk melakukan komunikasi dengan telepon seluler (bertelepon atau ber- SMS), atau membaca buku, majalah, koran, atau artikel tertentu dari tugas kuliah. Adanya fasilitas penjualan koran dengan harga lebih murah di atas Prameks, juga membangun komunitas pembaca yang luar biasa. Tak jarang, pramekers membeli lebih dari satu eksemplar korankatanya pesanan teman-teman mereka di tempat bekerja. Pada jam-jam tertentu, pramekers tidak mendapatkan tempat duduk karena meskipun masuk kategori kelas bisnis, Prameks tidak melakukan pembatasan jumlah penumpangmaka otomatis ada orang-orang yang berinisiatif membagikan koran bekas kepada mereka yang berdiri, untuk kemudian digelar menjadi alas tempat duduk di lantai di antara kursi yang saling berhadapan. Jadwal pasti Sekali waktu, Prameks datang terlambat atau dengan jumlah gerbong yang tidak sebanding dengan penumpang yang harus diangkut. Akibatnya, mereka yang punya jadwal pasti menjadi terlambat atau mereka yang seharusnya bisa duduk menjadi harus lesehanini dapat menimbulkan gejolak yang bagi PT Kereta Api seminimal mungkin harus dihindari dan diantisipasi.

Bahkan, sampai ada pramekers yang menulis sejumlah keluhan dan harapan kepada Prameks agar semakin meningkatkan kualitas jasa pelayanannya. Ternyata bukan hanya soal yang berkaitan langsung dengan kereta api yang berubah saat seorang menjadi pramekers. Lebih dari itu, jadwal dan irama hidup di rumah maupun dinamika kegiatan mereka di tempat kerja atau tempat belajar menjadi sangat berkaitan langsung dengan jadwal kedatangan, keberangkatan, dan sampainya KA Prameks di tempat tujuan. Upaya-upaya pencapaian tujuan dan kolektivitas tanpa harus terikat komando (dirigen) sebagai salah satu hasil habitus sebagaimana dimaksud Bourdieu di awal tulisan ini, sangat nyata muncul dalam diri pramekers, para penumpang setia KA Prameks. Satu hal yang belum muncul dari kolektivitas tersebut adalah upaya membangun relasi/komunikasi aktif sehingga pramekers sebagai sebuah kelas tertentu dapat memberikan kontribusi positif sebagai sumber penggerak tindakan, pemikiran, dan representasi pada lingkungan sosial budaya di mana mereka berada. ANHAR WIDODO Pramekers, Dosen ISI Solo Mahasiswa Pascasarjana Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

1 komentar:

  1. Menarik sekali tulisannya, Pak... :)
    Bagaimana kalau Habitus Bourdieu ini dikaitkan dengan kondisi pariwisata sekarang ini, Pak?
    Ditempat saya itu sebenarnya banyak sekali potensi wisatanya, tetapi kalo saya amati kok kurang mendapatkan apresiasi dari pemerintah maupun masyarakat sendiri. Apakan dengan teori Bourdieu ini kita bisa menggali potensi lain dan elemen2 lain yang bisa digunakan untuk mengembangkan pariwisata ya Pak? terus terang saya prihatin dengan objek2 pariwisata di daerah saya. Mohon sarannya Pak :)

    BalasHapus