Jumat, 12 Juni 2009

Kekuasaan Bourdeou

Konsep Kekuasaan dalam Ilmu-Ilmu Sosial

MEMANASNYA suhu politik berkenaan dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum pada tahun 2009, menyebabkan ’Politik dan kekuasaan’ menjadi topik hangat dan menjadi bahan perbincangan di warung-warung hingga pada forum ilmiah. Banyak konsep yang diangkat dan digunakan untuk menganalisis dan membedah konsep kekuasaan. Dalam pembahasan tentang konsep kekuasaan dalam ilmu-ilmu sosial akan difokuskan pada pemikiran Foucault tentang seksualitas dan kekuasaan. Sekaligus juga dibahas tentang kuasa pengetahuan dan penyingkapan kuasa simbol pemikiran Pierre Bourdieu serta konsep dominasi dan hegemoni budaya dari Antonio Gramsci.

Dalam hegemoni budaya, terdapat pertautan yang erat antara relasi kuasa dan kekekerasan dalam kehidupan manusia. Sebagaimana pemikiran Antonio Gramsci, seorang pemikir neo-marxis dari Italia, yang menyatakan bahwa kekuasaan dapat dilanggengkan melalui strategi hegemoni, yang dimaksudkan adalah peran kepemimpinan intelektual dan moral untuk menciptakan ide-ide dominan. Relasi kekuasaan dan kekerasan menjadi tidak kentara, dalam artian kekerasan yang ada tertutupi oleh kekuasaan yang bekerja secara halus melalui representasi simbol-simbol. Pierre Bourdieu, adalah salah satu tokoh pemikir yang memberikan perspektif baru mengenai pertautan kekuasaan dan kekerasan. Dari Bourdieu, kita belajar mengeja isyarat untuk kemudian menguak modus operandi kekuasaan yang terselubung di dalam praktik simbolik bahasa/wacana sehingga melahirkan kekerasan simbolik sebagai sebuah mekanisme sosial untuk mereproduksi kekuasaan.

Hegemoni merupakan konsep penting bagi keragaman intelektual gagasan sosial modern dan merupakan salah satu masalah konseptual paling serius dalam Marxisme. Hegemoni berkaitan dengan ideologi yang memiliki cakupan melebih semua bidang sosial, budaya, dan ekonomi dalam suatu masyarakat. Hegemoni adalah konsep yang digunakan untuk menjelaskan wawasan dunia yang bertujuan membekukan dominasi suatu kelas ekonomi terhadap kelas yang lain. Dalam konteks itulah, gagasan Gramsci tentang hegemoni budaya memiliki pengaruh yang sangat besar dewasa ini. Problematika yang diidentifikasi Gramsci adalah dominasi mutlak kapitalisme sebagai suatu sistem sosial dalam masyarakat yang gagal mengatasi berbagai permasalahan mendasar dalam hal ketidakseimbangan politik, ekonomi dan sosial.

Bagaimana ideology hegemonik dapat membentuk dan mempengaruhi alam pikiran masyarakat? Secara sistematis ideology hegemoni ’mencekoki’ individu dan masyarakat dengan pikiran-pikiran tertentu, bias-bias tertentu, system-sistem preferensi tertentu. Di mana kekuasaan cenderung melakukan hegemoni makna terhadap kenyataan sosial (Ibrahim, dkk, 1997). Secara Individu maupun sosial seringkali pola pikir kita lebih banyak dipengaruhi atau dicekoki oleh pikiran-pikiran tertentu yang acapkali sangat bias. Kebanggaan dan kecintaan kita terhadap tanah air dan pelbagai hasilnya semakin lama semakin melemah karena adanya dorongan yang sangat kuat dari kapitalisme global. Akibatnya, kita lebih bangga menjadi konsumen barang-barang import daripada tampil sebagai bangsa yang memproduksi atau menggunakan produk-produk dalam negeri. Dalam konteks inilah, pendidikan nilai dan visi baru melalui pendidikan karakter bangsa dapat menjadi suatu upaya dan langkah yang amat mendasar untuk melakukan counter hegemony.

Sistem simbol memiliki kekuatan untuk memberikan pemaknaan bagi realitas sosial. Lewat proses pencitraan, sistem simbol memperoleh daya abstraknya guna mengubah makna, menggiring cara pandang, hingga mempengaruhi praktik seseorang maupun kelompok. Simbol memiliki kekuatan untuk membentuk, melestarikan dan mengubah realitas. Kekuatan simbol ini mengandung energi magis yang bisa membuat orang percaya, mengakui, serta tunduk atas kebenaran yang diciptakan oleh tata simbol. Kekuatan simbol mampu menggiring siapapun untuk mengakui, melestarikan atau mengubah persepsi hingga tingkah laku orang dalam bersentuhan dengan realitas. Daya magis simbol tidak hanya terletak pada kemampuannya merepresentasikan kenyataan, tetapi realitas juga dipresentasikan lewat penggunaan logika simbol.

Dalam mengapresiasi bentuk-bentuk simbol, individu-individu dalam proses pembentukan (constituting) dan pembentukan kembali (reconstituting) makna yang sedang berlangsung. Bourdieu menjelaskan logika dan praktik permainan sosial yang dipadati semangat kompetisi antar pelaku sosial. Ini semua dilakukan untuk menguak pertarungan antar kuasa yang dijalankan pelaku sosial dalam berbagai posisi yang mereka tempati.

Masih dalam pemikiran Bourdieu, para pelaku sosial yang menempati posisi dominan dalam suatu ranah adalah mereka yang ’diberkahi’ atau mereka yang secara istimewa memiliki akses terhadap berbagai jenis modal. Dalam memproduksi serta menaikkan nilai simbolik, yang mendominasi memakai strategi perbedaan (distinction) dalam arti mereka berupaya membedakan dirinya dari kelompok sosial yang berada dibawahnya. Semakin besar kelompok dominan mengakumulasi modal, semakin besar pula nilai simbolik yang hadir. Misalnya, dalam ranah musik, mereka yang berpunya dan terdidik akan lebih memilih musik klasik sebagai bentuk representasi keistimewaan status mereka.

Strategi mempertahankan dan melestarikan sebuah kekuasaan mengandaikan penggunaan kekuasaan. Pertautan keduanya - kekuasaan dan kekerasan – seringkali terwujud dalam bentuk yang plural. Ada yang mengabsahkan pemakaian segala cara, meskipun buruk yang penting kekuasaan tetap terjaga (pemikiran Machiavelli). Akan tetapi, praktik dominasi kekuasaan tidak semata-mata diadakan melalui kekerasan fisik. Antonio Gramsci adalah yang pertama menyatakan bahwa kekuasaan dapat dilanggengkan melalui strategi hegemoni. Hegemoni yang dimaksud oleh Gramsci ialah peran kepemimpinan intelektual dan moral untuk menciptakan ide-ide dominan. Dengan begitu, relasi kekuasaan dan kekerasan menjadi tidak kentara dalam artian kekerasan yang ada tertutupi oleh kekuasaan yang bekerja secara halus melalui representasi simbol-simbol. Seperti yang dikatakan oleh Bourdieu, sistem simbol menandai praktik dominasi baru dalam masyarakat pasca industri. Dari Bourdieu, kita belajar mengeja isyarat untuk kemudian menguak modus operandi kekuasaan yang terselubung di dalam praktik simbolik bahasa/wacana sehingga melahirkan kekerasan simbolik sebagai sebuah mekanisme sosial untuk mereproduksi kekuasaan (Fauzi Fashri, 2007:1-17).

Ilmu pengetahuan dikatakan juga dapat menjadi alat kekuasaan dan berpeluang menjadi sumber kekerasan, ketika terjebak ke dalam kebenaran tunggal. Ketidak puasan terhadap kondisi tersebut kemudian melahirkan perkembangan dalam ilmu pengetahuan, dengan lahirnya para pemikir filsafat kontemporer. Filsafat kontemporer menolak dan meninggalkan gagasan tentang satu kebenaran tunggal atau pandangan holistik untuk memberi tempat pada pengkajian tentang hasrat menemukan kebenaran itu sendiri. Filsafat masa kini mengkaji pembentukan berbagai teori, berbagai hipotesis disusun kembali, pengujaran diperhitungkan; demikian pula jangkauan dari dampak berbagai wacana. Inilah tahapan perkembangan filsafat kontemporer yang cenderung melihat masyarakat sebagai pelaku pembentukannya sendiri, sebagai suatu sistem yang tidak direkayasa. Salah satu tokoh pemikir filsafat kontemporer Perancis yang penting adalah Michel Foucault.

Pemikiran filsafat yang dikategorikan ke dalam sejarah filsafat kontemporer sangat beragam, dan banyak ditekankan pada permasalahan yang dihadapi oleh manusia secara pribadi maupun kolektif. Dapat disebutkan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh manusia secara pribadi dan kolektif dalam konteks ruang dan waktu pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari kerangka kekuasaan. Kekuasaan adalah elemen kunci dalam membahas diskursus yang berkembang dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Gagasan Michel Foucault tentang kekuasaan sangat penting, khususnya tentang ‘kekuasaan yang tersebar’, memungkinkan kelompok-kelompok marginal, termasuk kelompok perempuan diharapkan dapat menggunakan untuk mengeksplorasi dan membongkar permasalahan yang membelenggu kehidupan mereka.

Dalam konteks itu, Mudji Sutrisno (2007) dalam bukunya yang berjudul Teori-Teori Kebudayaan, mengatakan bahwa pemikiran Foucault dapat digunakan menjadi alat picu kebangkitan kesadaran akan kolektivitas dan pluralitas peradaban. Foucault, dengan pemikiran filosofisnya, merupakan daya dorong bagi etnis-etnis di Indonesia untuk mengeksplorasi keberadaannya, melalui usaha-usaha menafsirkan kebenaran, membangun sistem makna, serta merumuskan tujuan dan arah hidup, baik secara personal maupun kolektif dengan berpijak pada locam wisdom masing-masing etnis.

Mengkontekstualisasikan pemikiran Foucault tentang kekuasaan dan seksualitas di Indonesia, diharapkan dapat menyingkap lapisan terdalam yang ada dalam nilai-nilai budaya dan menggali makna baru dari tubuh dan kondisi kesehatan perempuan. Gagasan Foucault tentang femininitas, maskulinitas dan seksualitas sebagai akibat praktik disiplin dan diskursif, efek diskursus atau buah relasi pengetahuan – kuasa. Bagi Foucault, seksualitas adalah produk relasi kuasa melalui hubungan kompleks dan interaksi praktik disiplin-diskursif, yang membentang dari confession, pedagogisasi seksualitas anak, hingga medikalisasi dan psikiatrisasi seksualitas (Sutrisno, 2007: 159-160).

Dalam buku yang berjudul Sejarah Seksualitas, Foucault menjelaskan relasi antara tubuh dan diskursus tentang seks, yang mengandung berbagai tabu dan larangan. Wacana tentang seksualitas manusia tertera pada dua tataran pengetahuan yang sangat berbeda: pertama, semacam biologi reproduksi, yang berkembang terus-menerus menurut norma-norma umum keilmuan, dan kedua, semacam ilmu kedokteran seks yang dibentuk berdasarkan kaidah-kaidah yang sama sekali berbeda. Di antara biologi reproduksi di satu pihak dan ilmu kedokteran seks di pihak lain, tak ada tanda pertukaran informasi satu pun; sama sekali tak ada strukturisasi timbal balik; biologi reproduksi hanya memainkan peran penjamin dari jauh, dan secara fiktif, kebenaran-kebenaran yang diungkap oleh kedokteran seks; suatu jaminan umum yang di bawah naungannya berbagai hambatan moral, pilihan ekonomi atau politis, dan berbagai ketakutan tradisional, dapat diterakan kembali dalam suatu kosakata yang berwarna ilmiah.

Foucault juga menjelaskan bagaimana sistem paksaan besar dan tradisional untuk memperoleh pengakuan seksual dapat dibangun dalam bentuk-bentuk yang ilmiah:
1. Dengan jalan membakukan sebagai ilmu klinis prosedur “menyuruh bicara”: mengkombinasikan pengakuan dan pemeriksaan;
2. Dengan postulat suatu kausalitas umum dan ke segala arah: pada abad ke-19 hampir tidak ada penyakit atau gangguan fisik yang tidak dikaitkan dengan (paling tidak) etiologi seksual;
3. Dengan asas mengganggap seksualitas sebagai sesuatu yang secara hakiki bersifat laten: dengan mengintegrasikan seks dalam suatu rencana wacana ilmiah, abad ke-19 telah menggeser pengakuan. Asas seksualitas yang pada dasarnya laten memungkinkan untuk memberi landasan ilmiah bagi tekanan pengakuan yang memang sulit dilakukan;
4. Dengan metode interpretasi:dengan membuat pengakuan bukan lagi sebagai bukti melainkan sebagai tanda, dan dengan membuat seksualitas sebagai sesuatu yang harus ditafsirkan, telah dibuka kemungkinan untuk memfungsikan berbagai prosedur pengakuan dalam bentuk yang beraturan seperti lasimnya wacana keilmuan;
5. Melalui medikalisasi berbagai dampak pengakuan: perolehan pengakuan dan berbagai dampaknya dikodifikasikan kembali dalam bentuk berbagai kegiatan penyembuhan. Di situ seksualitas ditetapkan sebagai “kodrat”: suatu bidang yang tertembus oleh berbagai proses patologis, dan karena itu menghendaki berbagai intervensi penyembuhan atan normalisasi; suatu wilayah pemaknaan yang harus dipilah; suatu tempat berbagai proses disembunyikan oleh berbagai mekanisme khas; rumah bagi hubungan kausalitas tak terhingga, suatu wacana kelam yang sekaligus harus ditangkap dan didengarkan.

Salah satu point penting dalam buku tersebut adalah bahwa seksualitas lebih merupakan produk positif kekuasaan daripada kekuasaan yang menindas seksualitas. Foucault mengatakan bahwa kita sebenarnya baru memiliki gagasan seksualitas sejak abad ke-18 dan seks sejak abad ke-19. Apa yang kita miliki sebelumnya adalah, tidak diragukan lagi, hanyalah daging. Karya Foucault memperlihatkan bagaimana pada abad ke-19 proses pelatihan dan regulasi tubuh manusia terjadi di lingkup lokasi institusional spesifik yang luas: di pabrik, penjara dan sekolah. Keseluruhan hasil praktik pendisiplinan ini adalah tubuh yang berguna dan jinak, produktif dan patuh. Dan kemudian, pada awal abad ke-20, wacana seks mulai menjadi kajian keilmuan. Contoh utama wacana seksualitas modern yang diajukan Foucault, pengakuan ilmiah baru, adalah psikoanalisis. Ia mengatakan dengan mengasumsikan insting seksual Freud membuka wilayah baru dominasi ilmu atas seksualitas.

Pemikiran tentang seksualitas dan kekuasaan merupakan kontribusi utama Foucault atas ilmu-ilmu sosial, di mana terdapat deskripsi mengenai pengaturan politik tubuh dalam, melalui, dan atas tubuh fisik. Kekuasaan berakar di dalam kekuasaan atas tubuh (biopower) dan di dalam setiap aktivitas kecil mikrokopik tubuh (mikrofisika, istilah yang diberikan Foucault) dalam setiap institusi politik tubuh (dalam Anthony Synnott, 2007: 369-374).

Konstruksi politis dan filosofis mengenai tubuh tumbuh bersamaan dengan berbagai konstruksi ilmiah. Perkembangan mutakhir dalam ilmu kedokteran mendorong konstruksi atas tubuh menjadi mekanistik dan materialistik. Bedah plastik dan pencangkokan merupakan salah satu perkembangan paling cepat dalam kedokteran di Amerika Serikat, lebih dari dua juta operasi dilakukan setiap tahunnya.dengan kata lain, tubuh bukan lagi “pemberian” (secara tradisional hadiah dari Tuhan); ia bersifat plastis, dapat dibentuk dan dipilih berdasarkan kebutuhan atau tingkah lakunya. Meski makna tubuh diperdebatkan selama berabad-abad, tetap saja tidak ada tanda-tanda kesepakatan universal. Setiap abad terlihat menciptakan dan merekonstruksi tubuh menurut gambaran dan pendapatnya sendiri; karenanya sekarang terdapat banyak paradigma mengenai tubuh; yang saling bersaing, melengkapi, atau bertentangan. Tak diragukan lagi, redefinisi kebertubuhan akan terus berlanjut dalam abad dua puluh satu (Anthony Synnott, 2007:51-57).

Dalam Sejarah Seksualitas-nya Foucault juga menjelaskan tentang “ledakan besar” wacana-wacana seksualitas, misalnya di dunia medis, psikiatris dan teori pendidikan. Tesis dasar buku ini adalah bahwa seksualitas bukanlah realitas alamiah melainkan produk sistem wacana dan praktik yang membentuk bagian-bagian pengawasan dan kontrol individu yang semakin intensif. Foucault mengatakan bahwa pembebasan itu pada kenyataannya merupakan bentuk perbudakan, karena seksualitas yang tampak “alamiah” itu sebenarnya merupakan produk dari kekuasaan.

Tujuan utama Foucault adalah mengkritik cara masyarakat modern mengontrol dan mendisiplinkan anggota-anggotanya dengan mendukung klaim dan praktik pengetahuan ilmu manusia: kedokteran, psikiatri, psikologi, kriminologi dan sosiologi. Ilmu manusia telah menetapkan norma-norma tertentu dan noram tersebut direproduksi serta dilegitimasi secara terus-menerus melalui praktik para guru, pekerja sosial, dokter, hakim, polisi dan petugas administrasi. Ilmu manusia menempatkan manusia menjadi subyek studi dan subyek negara. Terjadi ekspansi sistem administrasi dan kontrol sosial yang dirasionalkan secara terus-menerus (Sarup, 1993: 108-110).

Pemikiran Foucault tentang seksualitas dan kekuasaan menjadi pemikiran penting untuk menganalisis kondisi ketimpangan serta relasi kuasa yang tidak seimbang dalam masyarakat. Termasuk juga tentang seksualitas dan kesehatan kaum perempuan. Sebagaimana tertulis dalam buku tentang Sejarah Seksualitas, Foucault mendiskusikan cara-cara perempuan dan kaum homoseksual melakukan perlawanan atas penolakan yang mereka terima dari masyarakat (Agger, 2007: 351).

Melalui pemikiran Gramsci, Bourdieu dan Foucault kita dapat melihat bagaimana bekerjanya sistem simbol, kekuatan simbolik, seksualitas dan kekuasaan yang berada dibalik berbagai diskursus yang melandasi kebijakan serta praktik-pratik layanan publik. Termasuk bekerjanya kekuatan sistem simbol dalam layanan kesehatan reproduksi perempuan. Dikatakan bahwa makna tubuh perempuan dan cara pandang tentang tubuh perempuan adalah semata-mata sebagai tubuh biologis patologis, dan dilihat dari sudut pandang laki-laki. Adanya cara pandang dalam kedokteran dan layanan kesehatan yang menganggap bahwa menstruasi, kehamilan, kelahiran, menopause sebagai permasalahan biologis patologis. Suatu pandangan yang menyebabkan tekanan berlebihan pada aspek tubuh dan medis fisik dalam praktik layanan kesehatan reproduksi perempuan.

Pemikiran Bourdieu, Gramsci, dan Foucault dapat digunakan untuk melakukan analisis kritis trerhadap tubuh, seksualitas dan kesehatan perempuan. Karena kaum perempuan telah mengalami proses internalisasi tentang definisi tubuh perempuan yang mengarah kepada ”denigration of the female body”, yang membuat perempuan takut, malu atau merasa jijik terhadap bagian-bagian tertentu dari tubuhnya dalam proses yang sebenarnya sangat alamiah seperti menstruasi, melahirkan dan menopause, dan menempatkan sebagai bagian dari kondisi kesehatan yang membutuhkan treatment medis. Tidak mengherankan apabila sebagian besar dari kita termasuk praktisi kesehatan mempercayai, dan bahkan mengesahkan proses medikalisasi terhadap tubuh perempuan, bahkan sejak sebelum lahir (Northrup, 2002: 11).

Dalam pemikiran filsafat kontemporer, seks dan seksualitas manusia adalah konstruksi sosial/kultural dari masyarakat yang bersangkutan, sebab kedua hal tersebut baru mendapat maknanya yang dibentuk oleh jaringan-jaringan sosial dalam kehidupan manusia. Dalam hal Foucault membangun konsep pemikiran mengenai pembentukan seksualitas dalam jaringan-jaringan kekuasaan. Foucault menolak pewacanaan seks dalam seksualitas yang merumuskan kedua hal tersebut dalam pengertian-pengertian yang negatif maupun destruktif. Sebagai konstruksi sosial, seksualitas mempunyai pluralitas makna yang menandakan bahwa adanya berbagai seksualitas dengan kebenarannya masing-masing. Makna-makna ini akan selalu berubah, bersifat cair, seiring dengan perubahan yang terjadi dalam nilai-nilai masyarakat (dalam Syarifah, 2006).

Saatnya untuk membuat perubahan! Misalnya, perubahan untuk memperbaiki kualitas hidup perempuan, khususnya kondisi kesehatan perempuan yang masih ditandai berbagai kerentanan, antara lain ditandai dengan masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI). AKI di Indonesia saat ini menunjukkan posisi 307 per 100.000 kelahiran. Perubahan dalam konsep dan kerangka pikir dalam upaya menekan AKI dapat dilaksanakan dengan menerapkan pemikiran Foucault tentang seksualitas dan kekuasaan, atau menerapkan pemikiran Gramsci dan Bourdieu, untuk membongkar deskripsi mengenai pengaturan politik tubuh dalam, melalui, dan atas tubuh fisik. Di mana kekuasaan berakar di dalam kekuasaan atas tubuh (biopower) dan di dalam setiap aktivitas kecil mikrokopik tubuh (mikrofisika, istilah yang diberikan Foucault) dalam setiap institusi politik tubuh.

Pemikiran Foucault misalnya, dapat digunakan juga untuk mendorong perubahan paradigma dalam bidang pendidikan kedokteran serta kebijakan maupun praktik-praktik layanan kesehatan terhadap perempuan yang cenderung mengesahkan proses medikalisasi pada tubuh perempuan. Pola pikir konvensional tentang tubuh dan seksualitas perempuan dapat diubah dengan menggunakan pemikiran filsafat kontemporer yang diwakili antara lain pemikiran Foucault tentang seksualitas dan kekuasaan. Penolakan Foucault terhadap pewacanaan seks dalam seksualitas yang merumuskan kedua hal tersebut dalam pengertian-pengertian yang negatif maupun destruktif, serta konstruksi sosial tentang konsep seksualitas yang diyakini mempunyai pluralitas makna menjadi alterrnatif pemikiran yang perlu dikembangkan. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pemikiran Foucault tersebut pantas untuk dijadikan bahan diskusi penting para ahli dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial dan studi gender, ilmu kedokteran maupun dalam kebijakan sistem kesehatan nasional.

Memasukkan pemikiran Foucault tentang seksualitas dan kekuasaan sebagai amunisi penting untuk menganalisis tubuh dan kesehatan perempuan dalam relasi kuasa yang tidak seimbang, merupakan langkah-langkah strategis yang tak dapat dilepaskan dari pergerakan feminisme. Feminisme berusaha untuk membongkar diskursus atau wacana-wacana yang bersifat misoginis. Pembongkaran suatu wacana seringkali membutuhkan keajegan berpikir, koherensi dan semua ini menurut Arivia (2003:17) memerlukan refleksi filsafat. Melalui refleksi filsafat, akan ditinjau bagaimanakah diskursus tentang tubuh mempengaruhi kesehatan reproduksi dan kualitas hidup perempuan. Pemikiran filsafat tentang tubuh dan kesehatan perempuan belum banyak mendapat tempat dalam filsafat meanstream yang cenderung misoginis. Atas dasar itulah, dirasakan perlu dilakukan kajian secara mendalam tentang tubuh dan kesehatan perempuan dari perspektif filsafat feminis. Dapat dicatat pentingnya kontribusi dari pemikiran tokoh-tokoh lain seperti Simone de Beauvoir, Lacan, Foucault dan juga Derrida.

Melalui berbagai uraian yang telah disampaikan di atas, dapat dikatakan bahwa betapa pentingnya untuk mengkontekstualisasikan pemikiran Foucault, Gramsci dan Bourdieu tentang relasi kekuasaan dan seksualitas, serta kekerasan simbolik di Indonesia, terutama untuk menyingkap lapisan terdalam yang ada dalam nilai-nilai budaya dan menggali makna baru dari dari kelompok marginal. Termasuk juga bagi kelompok perempuan, untuk menggali makna baru dari tubuh dan kondisi kesehatan perempuan.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang pemikiran Bourdieu, Gramsci dan Foucault tentang kuasa simbol, hegemoni budaya , serta seksualitas dan kekuasaan, dalam menganalisis berbagai ketimpangan relasi kuasa dalam kehidupan sehari-hari, dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, pentingnya konsep Kuasa Simbolik yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu. Pierre Bourdieu, adalah salah satu tokoh pemikir yang memberikan perspektif baru mengenai pertautan kekuasaan dan kekerasan. Dari Bourdieu, kita belajar mengeja isyarat untuk kemudian menguak modus operandi kekuasaan yang terselubung di dalam praktik simbolik bahasa/wacana sehingga melahirkan kekerasan simbolik sebagai sebuah mekanisme sosial untuk mereproduksi kekuasaan.

Kedua, Konsep dominasi dan hegemoni yang digagas Antonio Gramsci merupakan pemikiran yang mempunyai pengaruh penting dewasa ini. Khususnya dalam memotret kegagalan dominasi dan hegemoni kapitalisme dalam mengatasi permasalahan mendasar dalam hal ketidakseimbangan ekonomi, sosial dan politik. Ideology hegemonik dapat membentuk dan mempengaruhi alam pikiran masyarakat, di mana secara sistematis ideology hegemoni “mencekoki” individu dan masyarakat dengan pikiran-pikiran tertentu, bias-bias tertentu, system-sistem preferensi tertentu. Kekuasaan cenderung melakukan hegemoni makna terhadap kenyataan sosial.

Ketiga, Gagasan Foucault tentang kekuasaan yang tersebar memungkinkan kelompok-kelompok marginal, termasuk kelompok perempuan untuk mengeksplorasi dan membongkar permasalahan yang membelenggu kehidupan mereka. Dikatakan bahwa pemikiran Foucault dapat digunakan menjadi alat picu kebangkitan kesadaran akan kolektivitas dan pluralitas peradaban. Foucault, dengan pemikiran filosofisnya, merupakan daya dorong bagi etnis-etnis di Indonesia untuk mengeksplorasi keberadaannya, melalui usaha-usaha menafsirkan kebenaran, membangun sistem makna, serta merumuskan tujuan dan arah hidup, baik secara personal maupun kolektif dengan berpijak pada locam wisdom masing-masing etnis.

Keempat, Pemikiran Bourdieu, Gramsci dan Foucault tentang kekuasaan menjadi pemikiran penting untuk membuat membongkar dan perubahan. Pemikiran mereka dapat digunakan untuk mendorong suatu perubahan paradigma dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan negara; mendorong perubahan paradigma di dalam ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan, termasuk dalam pendidikan kedokteran; serta mendorong perubahan kebijakan dan program dalam berbagai bidang pembangunan lainnya.

DAFTAR BACAAN
Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya, penerjemah: Nurhadi, Yogyakarta: Penerbit Kreasi Wacana, 2007.

Arivia, Gadis, Filsafat Berperspektif Feminis, Jakarta: Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan (YJP), 2003

Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu, Yogyakarta: Juxtapose, 2007.

Foucault, Michel, Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, penerjemah Rahayu S. Hidayat, Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia Bekerjasama dengan FIB Universitas Indonesia, 2008

Northrup, Christiane, Women`s Bodies, Women`s Wisdom, New York USA: A Bantam Book Publishing History, 2002.

Sarup Madan, Panduan Pengantar Untuk Memahami Postrukturalisme & Posmodernisme, penerjemah: Medhy Aginta Hidayat, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, 2008.

Syarifah, Kebertubuhan Perempuan dalam Pornografi, Jakarta: Penerbit Yayasan Kota Kita, 2006.

Synnott, Anthony, Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri & Masyarakat, terjemahan Pipit Maizer, Yogyakarta: PT Jalasutra, Edisi Revisi 2007

Sutrisno Mudji & Hendar Putranto (ed), Teori-teori Kebudayaan, Yogyakarta: PT Kanisius, 2005.

Ditulis oleh Pinky Saptandari
Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Universitas Airlangga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar