Jumat, 12 Juni 2009

Telaah Bourdieu 4

Kekerasan Simbol dalam Politik
(10 Oct 2008, 257 x , Komentar)

Oleh: Fajlurrahman Jurdi

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-Indonesia dan penulis buku "Predator-Predator Pasca Orde Baru". Tokoh pasca modernitas yang paling penting dan mutakhir sekarang serta seringkali diikuti adalah Pierre Bourdieu (1977).
Tesisnya yang terkenal adalah Power Simbolik. Sebuah tesis yang mencoba untuk memahami sisi-sisi kekuasaan yang paling intim dari yang tidak dipahami oleh banyak orang. Simbol adalah merupakan kata kunci tesis Boudieu, dan untuk memahami makna di dalam simbol itu ada yang disebut dengan "sign".

Sign adalah tanda yang bisa menegaskan sifat simbol. The Meaning of Meaning yang disadur oleh C.K.Ogden dan Richards (1989) dari Umberto Eco merupakan buku yang paling menarik untuk memahami lebih jauh "makna", "tanda" dan "tanda makna".

Ketika Thompson (1984, 99) hendak mengutip patahan-patahan ide Bourdieu, ia mereduksi, bahwa Kekerasan Simbol adalah dominasi yang diujikan melalui komunikasi yang tersembunyi. Lemah lembut karena diterima, tidak tampak karena tidak kelihatan untuk apa ia,

kekerasan simbol dikarakterisasikan satu mélange pengakuan yang berbeda (recoannaisance) dan tidak adanya pengakuan (meconaissance); melalui mélange inilah kekerasan simbol menjadi medium efektif perkembangan sosial. ……..

Kekerasan simbol bukanlah bentuk dominasi yang diterapkan melalui komunikasi: tetapi penerapan dominasi melalui komunikasi yang tidak diakui namun kelihatan diakui sebagai yang legitimate.

Bagaimana keterkaitan antara dunia politik dengan simbol? Diakui atau tidak, dunia politik, sesungguhnya adalah dunia simbol, karena yang diperankan adalah simbol-simbol, dan simbol-simbol ini berubah menjadi pengetahuan.

Orang menganggap, bahwa simbol adalah sumber bagi penegasan kembali identitas, dan pesan adalah kata-kata yang “memaknakan” simbol. Karena itu, simbol sebagai sebuah ideologi akan memberikan doktrin terdalam dari pada simbol sebagai sebuah kepentingan pragmatis, seperti simbol dalam politik.

Simbol sebagai ideologi cenderung mengandung aroma kekerasan, karena ada jiwa eksesif yang melekat di dalamnya. Sehingga kita tidak perlu mengerutkan kening ketika menemukan orang beragama yang memahami masjid itu sebagai tempat sakral dan hanya untuk salat, gereja hanya sebagai tempat peribadatan.

Dari sana pula virus pengetahuan ideologis itu ditebarkan ke “dalam relung-relung” keyakinan masyarakat, menghinggap, mengendap dan perlahan-lahan menjadi mesin penggerak yang paling efektif bagi sebuah perubahan sosial.

Simbol sebagai sebuah ideologi, juga bisa dilihat dan disaksikan di tubuh sebagian partai-partai Islam, ada yang panjang jenggot, celana bergantung dan sebagainya. Simbol itu hendak menginformasikan kepada khalayak yang melihat individu ideologis tersebut sebagai seorang ustaz dan partai orang Islam yang sedang membela agama Tuhan, bahkan membela Tuhan.

Padahal terlalu naïf sebenarnya manusia membela Tuhan, membela dirinya saja tidak mampu.
Begitu dahsyatnya simbol berpengaruh, maka simbol itu kemudian menjadi alat yang paling efektif untuk menegosiasikan dan sekaligus mengukuhkan perbedaan di antara pemilik simbol dengan konsumen simbol.

Seorang politisi muslim yang memakai simbol-simbol kesalehan, ketawaduan, dan “kelihatan” beriman, sekalipun tidak seperti apa yang tampak dalam perilaku sehari-harinya, simbol itu bisa menjadi tabir penghalang baginya agar komunitas sosial tidak melihat perilaku kesehariannya sebagai seorang politisi muslim yang tidak taat.

Ia tetap taat, tetapi pura-pura dalam ketaatan, ia tetap beriman, tetapi pura-pura beriman. Korupsi jalan, salat dhuha lancar. Mengaminkan kebijakan-kebijakan busuk penguasa, tetapi zikir dan “olah” tasbihnya lancar dan teratur.

Sekali lagi kita kutip Bourdieu…Konsep Kekerasan simbolik mensyaratkan satu bentuk pembauran, satu bentuk reconnaissance atau connaisance, tempat dibenarkannya dominasi (Thompson, 1984, 102).

Dominasi terjadi, karena ada perasaan eksesif dari kekuatan simbol yang menghinggap dan menanamkan keyakinan terdalam kepada masyarakat.

Simbol akan menjadi sesuatu yang intim dalam menebarkan virus Simbol-Simbol Dominasi dalam Pilkada Berdasarkan pandangan Bourdieu, bahwa efektivitas ucapan performatif tidak dipisahkan dari keberadaan suatu institusi yang mendefinisikan kondisi-kondisi (seperti tempat, waktu, agen) yang harus dipenuhi.

Intitusi yang memberikan otoritas kepada pengguna bahasa untuk melahirkan suatu tindakan yang menampilkan ucapan (Ibid). Ucapan, atau “keinginan” suatu tidakan ditebarkan melalui media simbolik, dan media simbolik itu kemudian berperan memberikan pesan yang disampaikan dari pemilik simbol dengan konsumen simbol.

Karena itu, berbeda dengan simbol ideologi di atas, maka simbol politik adalah sekaligus "simbol pragmatis".

Pragmatisme simbol dalam politik ditunjukkan oleh mobilitas pesan yang tinggi. Politik adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari "permainan" simbol. Simbol adalah penyampai pesan dalam kontruksi politik, karena dengan simbol pesan-pesan politik bisa ditransformasikan, diinjeksi dan di indoktrinasi kepada publik.

Karena itu, "politik simbol" dan "simbol politik" adalah merupakan sesuatu yang sangat penting dalam upaya untuk mengesesifkan dukungan massa kepada elit.

Dalam konteks ini, simbol politik yang bertebaran dalam suatu suksesi politik pasca liberalisasi politik Indonesia dengan adanya "Pemilihan Secara Langsung", adalah merupakan bentuk dari model kekerasan simbolik.

Semua Pilkada, dimanapun itu, dari pusat kota "urban" hingga ke pelosok komunitas yang "eksotis" di desa-desa dan di pegunungan yang berpenghuni "orang", bisa dipastikan ada simbol penyampai pesan politik.

Baliho/Spanduk/Stiker adalah merupakan penyampai pesan yang dianggap paling efektif untuk meningkatkan mobilitas, memberikan pendidikan politik dan sebagainya. Di dalam baliho/spanduk/stiker itu ada gambar "terbaik" (foto) dari kandidat yang bersaing lengkap dengan pesan singkat, padat dan penuh makna.

"Pendidikan gratis, Kesehatan gratis", "minum alkohol gratis", "tempat hiburan malam gratis”, “salat tahajud gratis” (kok sslat gratis?) adalah merupakan tulisan singkat yang melekat di dalam baliho/spanduk/stiker tadi.

Simbol ini adalah merupakan wakil, "duta" dari sang kontestan. Kontestan X cukup memasang simbol itu di tempat-tempat yang dianggap representatif dan bisa dibaca orang banyak, dan tidak perlu hadir dan berhadapan dengan semua rakyat.

Cukup beberapa komunitas saja sebagai "simbol kewibawaan sosial" suatu komunitas itu di datangi dan meminta restu, ditambah dengan foto "bareng" dan dicetak dalam bentuk baliho/spanduk/stiker, maka dianggap sudah cukup dan celakanya “dianggap” sebagai cara untuk “merasa” dekat dengan masyarakat.

Model ini adalah merupakan dominasi atas pikiran komunitas sosial yang bebas secara politik. Baliho/spanduk/stiker adalah merupakan media komunikasi dan merupakan “institusi simbol”. Simbol itu hidup dan melekat menjadi bagian yang tak terpisahkan dan sekaligus mengkomunikasikan keinginan kandidat dengan Pemilih.

Setiap hari, setiap saat, setiap waktu, apalagi jika stiker itu ditempel di rumah, maka setiap saat dan setiap waktu itu pula sang kandidat mengajak berkomunikasi dengan pemilihnya. Semakin lama, makin memendam harapan,

makin lama makin intim hubungan simbol dengan konsumen simbol itu, makin lama ia menjadi keyakinan dan menggerakkan pikiran bebasnya, hingga pada akhirnya muncul rasa "memiliki" atas sang kandidat.

Jika rasa memiliki itu menjadi alat penggerak yang eksesif, maka ia akan membela mati-matian sang kandidat, paling tidak menyuruh keluarga dan tetangga sekitarnya untuk memilih sang kandidat itu.

Hal senada juga di alami oleh tetangganya, maka perjumpaan antara simbol yang sama dengan pesan yang senada juga, secara perlahan-lahan, lama-kelamaan tercipta hegemoni. Hegemoni ini akan berubah menjadi dominasi apabila sang kandidat memanfaatkan dan mengesploitasi simbol itu secara berketerusan.

Hal yang sama juga berlaku bagi kandidat lain. Terjadilah peperangan simbol yang memperebutkan massa, sementara sang pemilik simbol sedang memikirkan sesuatu yang belum tentu dan tidak sama dengan apa yang sedang konsumen simbol pikirkan.

Masyarakat "disesakkan" oleh sesuatu yang kemudian "tidak pasti" karena komunikasi simbolik itu adalah kata-kata singkat, sarat makna dan menabuh berjuta-juta harapan. Ia kosong-namun penuh gagap, ia berjanji-namun tak pasti, ia berteriak-namun membisu, ia berkata-namun dengan isyarat, semuanya serba "hybrid".

Itulah pembunuhan yang paling sadis namun tak mematikkan, tusukan yang paling sakit, tapi terasa nikmat, diperhadapkan dengan situasi yang serba hybrid. Kebebasan dalam paksaan teror yang "diam", teror simbol yang menikam, memaksa dan merayu berulang-ulang. Rayuan-rayuan maut, seksis, dan terkadang menjijikkan. Pada saat itulah kekerasan simbol itu terjadi. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar