Oleh Zainuddin Maliki
Setelah didesak untuk melakukan perubahan, akhirnya pemerintah bersedia mendesentralisasikan IPDN. Dengan demikian, nanti IPDN tidak terpusat di Jatinangor, Jawa Barat. Perguruan Tinggi Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri itu akan disebarkan di enam daerah. Niat tersebut layak diapresiasi secara positif. Sebab, desentralisasi bisa menyelesaikan banyak hal. Antara lain, desentralisasi akan lebih memungkinkan IPDN mengeliminasi kesan sebagai perguruan tinggi eksklusif dan elitis.
Kesan elitis itu muncul karena selama IPDN dikelola secara sentralistik, setiap daerah hanya bisa mengirim beberapa calon mahasiswa dalam jumlah yang telah ditentukan. Di sinilah kemudian terjadi permainan sehingga acap yang diterima ialah mereka yang memiliki jaringan dengan kekuasaan. Boleh dikata, sedikit saja mereka yang tidak memiliki jaringan dengan kekuasaan bisa diterima sebagai mahasiswa IPDN.
Desentralisasi juga semakin memungkinkan IPDN untuk mentransformasikan diri sebagai lembaga pendidikan yang lebih kontekstual. Dengan demikian, seluruh input, proses, dan outcome IPDN akan lebih mendekati kebutuhan dan konteks lingkungan di masing-masing daerah. Adalah masing-masing daerah yang lebih memahami jumlah dan kualifikasi Birokrasi macam apa yang diperlukan daerah itu, jenis dan model pengetahuan kepemerintahan apa yang harus diberikan, dan bagaimana pula cara mentransformasikannya.
Angin Baru
Desentralisasi juga akan membawa angin baru bagi perguruan tinggi yang selama ini dilanda begitu banyak kasus, terutama kasus kekerasan fisik. Praktik kekerasan yang muncul di permukaan itu bukan lagi sebuah isu. Kekerasan tersebut merupakan sebuah realitas dan bahkan konon ibarat gunung es. Artinya, masih banyak kekerasan yang terjadi, namun tidak diketahui publik. masalahnya, selama ini manajemen IPDN menerapkan apa yang disebut Erving Goffman dengan "total institution".
Dalam total institution seperti yang dikonsep Erving Goffman, sebuah institusi diatur sedemikian rupa sehingga tertutup bagi masuknya pengaruh luar. Institusi itu dijaga ketat sehingga intervensi dari luar tidak mungkin terjadi seperti layaknya barak militer.
Barak-barak militer dijaga ketat, bahkan dengan laras senapan yang siap menyalak setiap saat. Institusi militer yang ditugaskan negara dan diberi mandat rakyat untuk memonopoli kekerasan memang layak dikelola dengan model total institution.
Namun, pendidikan tidak bisa dikelola demikian. Pendidikan bukan sebuah total institution. Pendidikan harus dikelola secara inklusif agar terbuka partisipasi dari seluruh elemen masyarakat. Keterbukaan bagi turut sertanya elemen-elemen masyarakat tersebut dimaksudkan agar yang ditransformasikan di sekolah tidak mengalami keterputusan dengan sejarah dan kultur masyarakat itu sendiri.
Dengan keterbukaan itu, masyarakat bisa menyerap ide-ide kreatif, pengetahuan dan teknologi yang ditemukan lembaga pendidikan, dan kemudian memanfaatkannya untuk kemajuan.
Disadari atau tidak, model menajemen total institution itu adalah salah satu penyebab terjadinya kekerasan yang tak terkontrol di IPDN. Tanpa mengurangi arti lahirnya alumni IPDN yang berintegritas dan kini memimpin pemerintahan di negeri ini, dalam perkembangan belakangan ini yang dihasilkan IPDN bukannya calon pemimpin birokrasi pemerintah yang memiliki kompetensi moral dan intelektual, melainkan sosok totaliter yang tak tersentuh kontrol publik dan terkait erat dengan praktik kekerasan.
Model total institution yang diterapkan di kampus tersebut telah memungkinkan terjadinya praktik totalitarian. Sedikit saja masyarakat yang bisa ambil bagian, mereka tidak bisa turut serta membicarakan hal-hal yang lebih substantif, seperti turut menentukan arah pendidikan, penyusunan kurikulum, model pedagogis, maupun kompetensi yang hendak dihasilkan. Bahkan, turut memberikan kontrol terhadap kekerasan yang terjadi di dalam kampus itu saja hampir mustahil.
Apa yang dilakukan orang dalam sendiri, seperti kontrol oleh dosen IPDN, Inu Kencana diketahui harus menghadapi berbagai tantangan dan harus menerima risiko pemecatan sebagai dosen.
Desentralisasi itu bisa dijadikan sebagai momentum bagi IPDN untuk membuang totalitarianism dan sebaliknya membuka tradisi baru serta mendekatkan diri dengan masyarakat.
Menjauhkan dengan Pendidikan
Mengelola pendidikan menggunakan pendekatan total institution hanya akan menjauhkan IPDN dari tujuan pendidikan itu sendiri. Tujuan pendidikan bukan hanya menjadikan seseorang cerdas secara kognitif, tetapi juga cerdas dalam upaya membawa perubahan ke arah kemajuan. Cerdas dalam mengolah sumber daya alam serta memiliki kecakapan lintas budaya.
Selain itu, memiliki kesadaran berkewarganegaraan (citizenship awareness) yang tinggi. Mampu menjalin keselarasan dengan pranata sosial-budaya, ekonomi, serta melakukan mobilitas sosial.
Hal itu hanya akan terwujud jika sebuah lembaga pendidikan dikelola dengan pendekatan inklusif dan bukan eksklusif, apalagi dengan sistem totalitarian. Total institution hanya melahirkan manusia-manusia yang ahistoris, berumah di atas angin, dan tidak peka terhadap penderitaan masyarakat. Hanya pendidikan yang diselenggarakan secara terbuka, senantiasa menjalin dan dekat dengan masyarakatnya yang bisa melahirkan sumber daya manusia cerdas, dalam arti mampu menjalin keselarasan dengan masyarakatnya.
Di negara-negara maju, termasuk di negara-negara Asia yang telah memasuki masyarakat industri seperti Hongkong, Korea, Taiwan, dan Singapura, pendidikan dikelola secara inklusif. Masyarakat turut serta menentukan input, proses, dan pengawasan pendidikan.
Pengelolaan pendidikan di Skotlandia, misalnya, membuka diri bagi masuknya berbagai badan ke dalam penyelenggaraan pendidikan. Mereka turut mempersiapkan guru-guru menjadi pendidik yang terlatih, menjamin tersedianya kurikulum yang baik dan bisa dilaksanakan, serta pengawasan jalannya pendidikan.
Scotlandia Executive of Education Department (SEED), Depdiknas-nya Skotlandia, bekerja sama dengan lembaga pengawas pendidikan Her Majesty's Inspectorate of Education (HMIE) yang pemimpinnya langsung ditunjuk ratu Inggris.
SEED juga bekerja sama dengan pemerintah daerah, lembaga-lembaga pendidikan tinggi, General Teaching Council (GTC), organisasi-organisasi guru, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan seperti para orang tua murid dan pihak-pihak swasta guna memastikan kemajuan yang berkesinambungan dalam pencapaian prestasi para siswa di semua bidang pendidikan.
Di Skotlandia, pelaksanaan pengawasan pendidikan dilakukan tim terdiri atas unsur pengawas utama, yang umumnya diambilkan dari kepala-kepala sekolah senior. Pengawas utama turun ke sekolah-sekolah dengan anggota yang disebut layman. Layman diambilkan dari anggota masyarakat yang justru selama itu melakukan aktivitas dan pekerjaan yang sama sekali tidak berurusan dengan pendidikan.
Alhasil, evaluasi pengawas memperoleh pertimbangan dan penilaian dari user pendidikan, yaitu masyarakat. Dari sini mereka membangun learning community. Dalam masyarakat pembelajaran, bukan hanya sekolah yang bertanggung jawab dalam urusan pendidikan, tetapi juga masyarakat.
Dengan demikian, desentralisasi IPDN, yang digambarkan sebagai upaya mendekati masyarakat dengan segala dinamika, aspirasi, kepentingan, dan kondisinya yang ada di daerah, harus disertai dengan kesadaran perlunya membuka kampus terbuka. (*)
Zainuddin Maliki, rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya, ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur. (Jawa Pos Online)