Selasa, 14 April 2009

Strukturasi Gender

Tuntunan Kekerasan dalam Tontonan Anak

"Biar melihat celana dalam kecil Nene, aku sama sekali tidak merasa apa-apa. Ya, Kazao?"

Gadis kecil yang disebut Nene itu hanya cemberut sambil pipinya merona merah. Ia malu dan marah pada Shinchan tidak hanya akibat persoalan celana dalam itu, melainkan juga penolakan teman-temannya atas idenya untuk bermain rumah tangga-rumah tanggaan. Nene senang sekali menjadi ibu bersuamikan si Bo.

Demikian salah satu adegan dalam serial Crayon Shinchan episode "Tahayul Kesialan Kazao", yang diputar salah satu stasiun televisi nasional pada 2 April 2006. Beberapa adegan melecehkan wanita juga ditemukan dalam beberapa episode film animasi "anak-anak" buatan Jepang ini.

Segmen "anak-anak" memang perlu diberi tanda kutip karena cara berpikir yang ditampilkan anak TK berusia lima tahun dari Kasukabe, Distrik Saitama, Jepang, itu memang tidak lazim untuk ukuran anak-anak sebaya dengannya. Hal itu disebabkan tokoh animasi buatan Yoshito Usui ini selalu terobsesi pada seksualitas wanita dewasa.

Dalam salah satu episode, misalnya, Shinchan minta pada Jin Termos untuk didatangkan seorang model wanita cantik berbikini. Dengan kekuatan sihirnya, model cantik itu memang hadir di hadapan Shinchan, tapi tanpa bikini. Soalnya, lagi kena flu!

Kekerasan seksual semacam itu ditemukan dalam penelitian "Kekerasan Televisi Terhadap Wanita", yang saya lakukan beberapa waktu lalu. Kekerasan personal lain yang ditemukan adalah kekerasan psikologis dan fungsional yang dilakukan tokoh pria terhadap tokoh wanita. Upaya Shinchan memaksa model cantik yang lagi kena flu untuk hadir di hadapannya itu masuk kategori kekerasan fungsional.

Selain kekerasan personal, ditemukan juga adanya kekerasan struktural. Kekerasan jenis ini dilakukan oleh nilai, norma, atau sistem sosial tertentu melalui karakterisasi tokoh-tokohnya. Dari beberapa episode Doraemon, Crayon Shinchan, dan P-Man ditemukan adanya dominasi tokoh pria atas tokoh wanita, peneguhan stereotipe peran gender, domestikasi dan ekstensinya sebagai profesi, serta objektivikasi seksualitas wanita.

Adanya kekerasan personal dan struktural dalam tayangan untuk anak-anak ini tentu sangat memprihatinkan. Hal itu disebabkan televisi telah menjadi media keluarga yang banyak menyita waktu anak-anak dibandingkan dengan aktivitas lain, kecuali tidur (Chen, 1996; Greenfield, 1989).

Kedekatan semacam ini tentu mempunyai implikasi serius terhadap proses internalisasi nilai-nilai ideologis tertentu yang bersifat diskriminatif dan seksis (Littlejohn, 1996, 2002; Shoemaker dan Reese, 1991, 1996). Artinya, karena konsep mental psikologis anak belum terbentuk dengan baik, kekerapan exposure tayangan semacam itu bisa menjadikan kekerasan artifisial menjadi natural. Inilah bahaya tontonan yang tidak bisa jadi tuntunan!

Teori strukturasi gender (Wolffensperger, 1991) membantu untuk memahami mengapa ideologi gender dominatif-represif dalam film animasi anak-anak tersebut gagal untuk dikenali oleh khalayaknya (misrecognition). Teori ini merupakan modifikasi teori strukturasi Anthony Giddens (1986; 1986) sebagai varian dari teori ekonomi-politik komunikasi massa dalam paradigma kritis struktural dikaitkan dengan analisis feminis (Golding dan Murdock, 1995).

Teori strukturasi menegaskan, produksi dan reproduksi sistem sosial bergantung pada optimalisasi penggunaan struktur aktor dalam interaksi. Proses produksi ataupun reproduksi sistem sosial ini bisa dilakukan dengan cara kursif (kekerasan aktual) atau persuasif (kekerasan simbolik). Pada teori strukturasi gender, hal itu ditafsirkan, produksi dan reproduksi sistem sosial dominatif-represif ditentukan oleh optimalisasi penggunaan struktur gender aktor wanita dan aktor pria dalam interaksi sosial yang berlangsung.

Menurut teori strukturasi, struktur dominasi dipertahankan oleh kelompok dominan melalui struktur signifikasi dan struktur legitimasi yang mampu menyembunyikan wajah dominasi untuk dikenali oleh korbannya (misrecognition). Mekanisme ideologis semacam itu bekerja melalui proses naturalisasi praktek sosial yang berlangsung.

Melalui proses naturalisasi ini, praktek sosial dominatif-represif dengan menggunakan kekerasan bisa dipandang sebagai bagian dari praktek sosial normal dan wajar. Upaya penyingkapan selubung naturalisasi akan mempunyai potensi besar bagi terjadinya produksi sistem sosial egaliter. Hal itu bisa terjadi apabila terdapat kepentingan emansipatoristik dalam proses strukturasi.

Melalui pendekatan feminis dengan bantuan Bourdieu (1990; 1993), Connell (1987), dan Habermas (1996; 2005), teori strukturasi mentransformasikan dirinya dalam teori strukturasi gender. Dalam teori strukturasi gender, struktur dominasi gender terjadi melalui penundukan agen wanita oleh agen pria dan agen pemilik modal (biasanya juga agen pria) dengan menggunakan struktur signifikasi dan struktur legitimasi.

Struktur dominasi gender terjadi dalam interaksi kekuasaan dengan menggunakan komunikasi, sanksi, dan kekerasan berdasarkan modalitas fasilitas (alokatif dan otoritatif), skema interpretasi, norma, dan seksualitas. Dalam teori strukturasi gender, proses ideologis untuk menyembunyikan wajah dominasi gender agen pria terjadi melalui proses naturalisasi kekerasan terhadap agen wanita sebagai bagian dari praktek sosial yang wajar dan normal.

Proses naturalisasi untuk "menormalkan" struktur dominatif-represif itu dilakukan melalui politisasi relasi gender dan purifikasi kognisi gender. Politisasi relasi gender mewujud dalam bentuk pembagian kerja (division of labour) secara seksual dan justifikasi terhadap relasi heteroseksual. Purifikasi kognisi gender dilakukan dengan peneguhan stereotipe peran gender melalui media massa, eksklusi dan marjinalisasi wanita dari narasi publik, serta dikotomisasi domain publik-privat melalui romantisme bagi agen wanita untuk menemukan cinta sejati dan heroisme bagi agen pria untuk menggunakan kekerasan.

Penggunan kekerasan oleh agen pria untuk mendapatkan kepatuhan agen wanita tersebut mendapat justifikasi dari ideologi gender dominan: patriarkisme, kapitalisme, dan misoginisme. Dalam proses penormalan itu, ideologi patriarkisme membenarkan penggunaan kekerasan fisik dan seksual oleh agen pria atas agen wanita di rumah maupun di tempat kerja.

Ideologi kapitalisme membenarkan penggunaan kekerasan alienatif dalam wujud pembagian kerja secara seksual dengan implikasi pada kekerasan psikologis dalam bentuk diskriminasi dan prasangka negatif terhadap peran sosial wanita di masyarakat sebagai kelompok inferior. Ideologi misoginisme membenarkan terjadinya proses dehumanisasi wanita melalui perendahan derajat (objek kekerasan simbolik, fisik, seksual, kriminal) dan pengangkatan derajat (idealisasi peran sosial wanita sebagai istri dan ibu rumah tangga yang sempurna).

Dalam kasus penayangan film animasi anak-anak asing, praktek institusional industri televisi nasional yang menjadi situs pengamatan dalam penelitian ini ternyata belum mampu memberdayakan (constraining) struktur gender agen wanita pengelola program untuk memproduksi nilai-nilai egalitarian dalam relasi gender tokoh-tokoh yang ada tanpa harus menunjukkan perilaku diskriminatif dan represif terhadap keberadaan tokoh wanitanya. Sistem kapitalisme global dalam proses pemerolehan program anak-anak menjadi faktor penentu minimalisasi struktur gender agen wanita itu.

Situasi semacam itu tidak ditemukan oleh agen wanita ini ketika menayangkan program sinetron produksi lokal. Melalui tayangan sinetron itu, struktur gender agen wanita ini mampu memberdayakan agensinya (enabling) untuk mengurangi eksploitasi seksualitas dan kekerasan. Sebuah situasi yang sedang diupayakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melalui Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) sebagai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran untuk melindungi kepentingan anak-anak, remaja, dan kaum wanita dari semua bentuk perilaku kekerasan simbolik.

Masalahnya, program lokal untuk anak-anak di Indonesia masih merupakan produk langka, sehingga ketergantungan pada program asing untuk anak-anak itu masih belum dapat dihindari sepenuhnya.

Persoalan kekerasan televisi terhadap wanita ini tampaknya masih merupakan pekerjaan rumah serius di masa mendatang bagi semua stakeholders yang terlibat ketika struktur sosial di belakang praktek institusional industri televisi belum sepenuhnya dapat digenderkan.

Kita memang sudah mempunyai berbagai ketentuan yang melarang praktek diskriminasi dan represi terhadap kaum wanita. Antara lain dijumpai pada Pasal 28I ayat 2 UUD 1945 Amandemen, UU Nomor 7/1984 tentang Konvensi Wanita, UU Nomor 23/ 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Tahun 2007, Inpres Nomor 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender, serta larangan kekerasan simbolik dalam UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran.

Meski demikian, kita juga mempunyai ketentuan segregasi peran sosial bagi kaum pria dan wanita, sebagaimana tampak dalam UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan. Selain itu, munculnya RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi serta adanya ketentuan semacam Perda Nomor 8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Tangerang, apabila tidak disikapi dan dicermati dengan seksama, bukan tidak mungkin akan mencederai struktur gender sistem sosial karena ketentuan semacam itu mempunyai potensi besar untuk mengkriminalisasikan kaum wanita. Benar-benar pekerjaan rumah besar bersama!

Sunarto
Doktor komunikasi lulusan Universitas Indonesia dengan disertasi "Kekerasan Televisi Terhadap Wanita", dosen Universitas Diponegoro dan Program Pascasarjana Komunikasi Universitas Indonesia
[Kolom, Gatra Nomor 41 Beredar Kamis, 23 Agustus 2007]
URL: http://www.gatra.com/2007-09-02/versi_cetak.php?id=107371

Tidak ada komentar:

Posting Komentar