Ini Masalah Orang atau Sistem?
PERTANYAAN yang menjadi judul tulisan ini kerap kali terdengar mulai dari obrolan santai para tukang ojek hingga makalah ilmiah yang rumit. Misalnya saja, ketika mempersoalkan korupsi, kolusi dan nepotisme. Aneka jawaban biasanya berkisar antara "Sistemnya sudah baik tapi mentalitas pejabatnya masih kacau" atau "Rakyat tidak berdaya karena sistemnya telanjur korup."
Di balik pertanyaan tersebut sebenarnya tersembunyi sebuah teka-teki terpenting yang senantiasa menghantui ilmu-ilmu sosial. Mana lebih penting, pelaku atau struktur? Teka-teki ini muncul dari kenyataan paling elementer bahwa orang mengerjakan ini dan bukan itu. Misalnya, seorang buruh tetap mau bekerja meskipun upahnya kecil, atau orang Yogyakarta suka naik motor dan bukan bus.
Untuk menjelaskan peristiwa tersebut, fungsionalisme yang digagas Talcott Parsons menekankan fungsi sosial yang menuntun pelaku. Marxisme menunjuk pada struktur proses produksi yang mengekang kapasitas bebas individu. Fungsionalisme dan marxisme adalah penjelasan yang bisa dikelompokkan dalam kubu besar strukturalisme-fungsionalisme yang memenangkan struktur di atas pelaku.
Begitulah, teka-teki besar itu dijawab dengan dualisme pelaku/struktur. Masalahnya, dualisme tersebut selalu gagal memberi penjelasan secara memadai karena selalu jatuh pada salah satu ekstrem. Menerobos kebekuan dualisme inilah yang menjadi agendum pokok yang dikerjakan oleh Anthony Giddens, seperti diterangkan dalam buku ini.
B Herry-Priyono, penulisnya, membagi bukunya dalam tiga bagian. Pertama adalah contoh refleksi kritis Giddens terhadap fungsionalisme dan strukturalisme/post-strukturalisme. Kedua adalah terobosan teoretis Giddens yang berpusat pada teori strukturasi. Bagian ketiga menyajikan contoh ringkas penerapan teori tersebut.
GIDDENS menamai teorinya strukturasi (theory of structuration). Menepis dualisme (pertentangan), Giddens mengajukan gagasan dualitas (timbal-balik) antara pelaku dan struktur (hlm18). Bersama sentralitas waktu dan ruang, dualitas pelaku dan struktur menjadi dua tema sentral yang menjadi poros teori strukturasi. Dualitas berarti, tindakan dan struktur saling mengandaikan.
Struktur bukanlah realitas yang berada di luar pelaku seperti dipahami oleh Durkheim dan diteruskan oleh strukturalisme. Struktur adalah aturan dan sumber daya (rules and resources) yang mewujud pada saat diaktifkan oleh pelaku dalam suatu praktik sosial. Dalam arti ini, struktur tidak hanya mengekang (constraining) atau membatasi pelaku, melainkan juga memungkinkan (enabling) terjadinya praktik sosial.
Sementara itu, sentralitas waktu dan ruang diajukan untuk memecah kebuntuan dualisme statik/dinamik, sinkroni/diakroni, atau stabilitas/perubahan. Dualisme seperti ini terjadi karena waktu dan ruang biasanya diperlakukan sebagai panggung atau konteks bagi tindakan.
Mengambil inspirasi filsafat waktu Heidegger, Giddens merumuskan waktu dan ruang sebagai unsur yang konstitutif bagi tindakan. Tidak ada tindakan tanpa waktu dan ruang. Karena itu, tidak ada peristiwa yang melulu statik atau melulu dinamik.
Sedemikian sentral waktu dan ruang bagi Giddens hingga ia mengatakan bahwa keduanya harus menjadi unsur integral dalam teori ilmu-ilmu sosial. (hlm 20). Atas dasar dua tema sentral tadi, Giddens membangun teori strukturasi dan menafsirkan kembali fenomen-fenomen modern, seperti negara-bangsa, globalisasi, ideologi, dan identitas.
Teori strukturasi jelas merupakan tantangan terhadap teori-teori yang sudah mapan secara akademis. Hal ini semakin benar menyangkut dunia akademik di Indonesia. Selama ini fungsionalisme telanjur menjadi dewa, baik di antara para pengajar, peneliti, maupun orang kebanyakan.
Baru pada pertengahan dasawarsa 1990-an, strukturalisme dan post-strukturalisme mulai populer dengan terbitnya buku-buku terjemahan karya Derrida dan Foucault. Begitupun, fungsionalisme masih sukar ditandingi terutama di lembaga perkuliahan resmi. Akibatnya, ilmu-ilmu sosial Indonesia macet dan gagal menerangkan fenomena baru.
GIDDENS terkenal sebagai penulis yang gemar berpanjang kata sehingga karya-karya teoretisnya pun begitu tebal. Kalimat-kalimatnya amat teknis dan memakai kombinasi kata-kata baru yang bahkan dalam bahasa Inggris belum dikenal.
Menurut saya, penulis buku ini berhasil menyajikan pemikiran Giddens dengan jelas dan cukup sederhana, apalagi diperkaya oleh banyak contoh yang jarang ada pada karya Giddens. Buku ini amat menarik dan akan membantu para peminat teori ilmu-ilmu sosial.
Sekalipun demikian, ada beberapa hal yang harus masuk dalam buku kecil ini. Pertama, buku ini baru menerangkan strukturasi yang terjadi pada tingkat pelaku individual. Masih ada dualisme individu/masyarakat yang juga sentral dalam teori ilmu-ilmu sosial. Pertanyaannya adalah bagaimana individu-individu pada tingkat tertentu bertindak secara terorganisasi tanpa saling sikut.
Dalam terminologi teori strukturasi, persoalan ini berada di bawah judul integrasi sosial (social integration). Terinspirasi oleh teori perjumpaan Erving Goffman, Giddens mendefinisikan masyarakat sebagai perjumpaan antar-individu yang terus-menerus.
Perjumpaan diatur oleh mekanisme-mekanisme dualitas pelaku dan struktur. Kemudian, memakai teori waktu-geografi Hägerstrand, Giddens menerangkan bahwa perjumpaan terjadi karena konvergensi waktu-ruang, dan mobilisasi waktu-ruang merupakan poros eksistensi masyarakat.
Kedua, pada catatan untuk bab V (hlm 91-92), penulis buku ini mengajukan tiga catatan kritis terhadap teori strukturasi. Ketiga kritik ini hanya menyentuh satu dari dua tema sentral teori strukturasi yaitu dualitas pelaku dan struktur. Kalau mau adil, kritik terhadap dualitas ini bisa dilanjutkan untuk mempersoalkan perlakuan Giddens terhadap waktu.
Benar bahwa sifat dualisme tidak selalu bisa dihapus dari hubungan antara pelaku dan struktur. Dualitas pelaku dan struktur menunjukkan bahwa seluruhnya adalah proses dan tidak ada hasil. Akibatnya, dualitas tadi tidak bisa menjawab pertanyaan kapan: kapan struktur yang mengekang lebih dominan atau kapan pelaku yang transformatif lebih menonjol dalam satu momentum tertentu?
Ketiga, ada baiknya, di bagian akhir buku ini disusun semacam kamus kecil atau glossary yang memuat istilahistilah baru yang kerap dipakai Giddens. Cara ini dipakai sendiri oleh Giddens dalam buku babonnya, The Constitution of Society (1984). Niscaya pembaca akan makin terbantu untuk memulai proses belajarnya bersama Giddens.
B Hari Juliawan, Mahasiswa Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar