BUDAYA KERJA MASYARAKAT PETANIKAJIAN STRUKTURASIONISTIK BERDASARKAN KASUS PETANI SUMBAWA |
Oleh: Faisal, Sanapiah S Email: Library@lib.unair.ac.id; libunair@indo.net.id; Post Graduate Airlangga University Dibuat: 2003-12-24 |
Keywords: Petani
Subject: PEASANTRY
Call Number: DisS01/03 Fai b
RINGKASAN
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perdebatan di tataran teoretis maupun empirik tentang perilaku kerja dan ekonomi petani. Dari rangkaian perdebatan tersebut terdapat sejumlah problematika yang relevan dikaji lebih lanjut, khususnya berdasarkan pers-pektif emik, yaitu berkenaan dengan (1) konsep kerja itu sendiri sesuai dengan pola pemikiran dan praktik kebiasaan kerja di kalangan petani, (2) pola-pola tipikal budaya kerja yang menjelma dan berlangsung di kalangan petani, khususnya kerja dalam ken-fetes maksimalisasi ekonomi, baik yang berlangsung episode belakangan ini maupun pada episode-episode sebelumnya, dan (3) sumber heterogenitas dan perubahan budaya kerja di kalangan petani untuk menemukan pemahaman teoretis yang bisa menielaskan secara memadai fenomena tersebut.
Untuk menjawab problematika utama tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan strukturasionistik. atau menggunakan teori strukturasi Giddens sebagai ancangan pemikiran (theoretical orientation): menempatkan dualitas struktur sebagai konsep sentral. ada empat implikasi metodologis dari penggunaan pendekatan tersebut, yaitu (1) meletakkan fokus observasi dan kajian pada praktik sosial yang berlangsung sebagai rergularitas sehari-hari, (2) memperhatikan aspek atau dimensi kultural yang melingkungi para pelaku praktik sosial, (3) menempatkan para pelaku praktik sosial sebagai hlowledgeable agents, yang untuk itu diperlukan analysis of strategic conduct, dan (4) menerapkan prosedur hermeneutika ganda. Pelaksanaan penelitian menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. dalam pengembangan teori, mengguna-kan metode The Discovery of Grounded Theory (Glaser clan Strauss, 1967), yang dipadukan dengan prinsipprinsip henneneutika ganda Giddens. Penelitian di lakukan di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, tepatnya di Desa Pate, dengan kegiatan lapangan selama"satu tahun, yaitu sejak awal Nopember 1994 hingga Nopember 1995.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa logika dasar ekonomi petani memang booar seperti yang diformulasikan sahlins, yaitu low production for limited want. Mereka berproduksi rendah karena tuntutan kebutuhan yang mau dipenuhi juga sedikit. itu tercermin dalam organisasi ekonomi dan kerja pada masyarakat petani tempat penelitian ini. Tetapi walaupun logika ekonomi petani berkarakteristik seperti disebutkan tadi_ agaknya patut dikoreksi bila menafsirkannya sebagai sesuatu yang statis. Juga patut dikoreksi bila orientasi produksi petani ditafsirkan semata-mata untuk tujuan subsistensi. Label-label negatif seperti pemalas dan irrasional juga patut dikoreksi. ltu semua-- statis, berproduksi untuk tujuan susbsistensi semata, malas dan irrasional-- mungkin saja ada benarnya untuk segmen tertentu di kalangan petani, namun bukan merupakan karakteristik spesifik yang sesuai diberlakukan secara umum kepada petani.
Berdasarkan perspektif emik, kerja dimaknai jauh lebih luas dari sekedar dalam konteks ekonomi. Berpartisipasi mencurahkan tenaga atau fikiran pada kegiatankegiatan yang menjadi kepentingan masyarakat juga dimaknai aktivitas kerja. Malah, meluangkan waktu serta jiwa-raga untuk menunaikan kewajiban peribadatan kepada Tuhan juga diartikan sebagai aktivitas kerja. Pemaknaan seperti itu berakar pada, dan merupakan pantulan dari pandangan hidup yang melembaga secara tunm temurun.
Khusus tentang kerja dalam konteks ekonomi, pada tingkat praktik sosial menampakkan heterogenitas, dan tersedia sistem klasifikasinya dalam terminologi setempat. Malah para pelaku di setiap klasifikasi juga memiliki sejumlah pendirian tertentu (parenti) yang berfungsi semacam semboyan: manifestasi meyakinkan dari adanya heteogenitas budaya kerja di masyarakat petani. Setelah "mempersandingkan" konsep serta kategori berdasar persepektif emit dengan makna atas kerja yang tersirat dalam tesis Weber, penelitian ini menemukan suatu tipologi budaya kerja petani. Secara kategorial-tipo-logis bisa dibedakan ada lima tipe budaya kerja petani, yaitu (1) produktif asketis, (2) produktif konsumtif, (3) subsisten asketis, (4) subsisten konsumtif, dan (5) subsisten tradisional. Kategorisasi tersebut merupakan hasil silang kategori-kategori kadar jiwa optimalisasi terhadap sumber daya produksi dengan kadar jiwa optimalisasi terhadap hasil produksi..
Heterogenitas budaya kerja petani seperti disebutkan itu, tak sepenuhnya dikarenakan pertimbangan-pertimbangan ekonomi sebagaimana yang diduga oleh sejumlah ahli, termasuk oleh Teori Ekonomi Petani karya agung Chayanov. Pada tingkatan arus utama (main stream), memang terlihat kecenderungan bahwa latar belakang posisi ekonomi dan tempaan budaya kerja dalam lingkungan keluarga memainkan peran yang mempengaruhi budaya kerja petani. Hal tersebut bukan semata-mata karena pertimbangan ekonomi itu sendiri, melainkan bertalitemali dengan pertimbangan-pertimbangan citra (harga) diri. Ia merupakan manifestasi dari etos budaya setempat yang "menomorsatukan" soal kehormatan dan martabat di mata masyarakat - bersumber dari pandangan hidup yang mereka anut secara turun temurun. '.
Dalarn konteks sosiobudaya demikian itu, citra diri di tengah masyarakat dimaknai teramat utama dan sentral sifatnya. Organisasi diri dirasakan marem ataukah tidak bergantung pada citra diri mereka masing-masing di tengah masyarakat dan kadar tantangan sosial yang dihadapi atas citra diri tersebut. Dalam dunia makna mereka, citra diri tersebut amat terkait dengan pemilikan sumber-sumber kehormatan seperti kekayaan, jabatan kepemimpinan dalam masyarakat, serta kompetensi dalam ilmu pengetahuan, agama, dan seni budaya; sumbernya bersifat majemuk, bukan berdasarkan kriteria ekonomi semata. Di sini. pemilikan sumber-sumber kehormatan lebih bersifat instrumental, yaitu sebagai sarana mendapatkan kehormatan (pertanda perolehan krik atau "anugerah Tuhan") yang bisa melambungkan citra diri di tengah masyarakat.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa budaya kerja merupakan agensi yang kental dilatarbelakangi pertimbangan-pertimbangan bersifat strategik di bawah kerangka pola pemikiran tadi. Ditemukan bahwa budaya kerja petani-- produktif asketis, produktif konsumtif, subsisten asketis, subsisten konsumtif, subsisten tradisional- terutama ditentukan oleh pertimbangan citra diri (tinggi, sedang, kurang) beserta kadar tantangan sosial (besar, sedang,kurang) yang dihadapi atas citra diri tersebut. ltu menunjuk-kan kentalnya sifat instrumental yang dilekatkan kepada budaya kerja oleh para petani, dan ia merupakan ekspressi dari etos budaya yang melembaga secara turun temurun di lingkungan mereka. Sesuai dengan temuan penelitian ini. petani berbudaya kerja produktif asketis dikarenakan merasa citra dirinya rendah, sementara tantangan sosial yang dihadapi tergolong tinggi. Petani berbudaya kerja produktif konsumtif dikarenakan merasa citra dirinya rendah, sementara tantangan sosial yang dihadapi juga.rendah. Petani berbudaya kerja subsisten asketis dikarenakan merasa citra dirinya tinggi, sementara tantangan sosial yang dihadapi juga tinggi. Petani berbudaya kerja subsisten konsumtif dikarenakan merasa citra dirinya tinggi, sementara tantangan sosial yang dihadapi tergolong rendah. Dan petani berbudaya kerja subsisten tradisional manakala merasa citra dirinya tergolong sedang, serta tantangan sosial yang dihadapi juga pada tingkatan sedang
Pola kecenderungan yang demikian itu juga berlaku untuk menjelaskan fenomena perubahan budaya kerja antar episode- episode 1920 - 1950-an, episode 1960 1970-an, episode 1980 - 1990-an. Yang. menjadi preferensi umum pada episode pertama adalah budaya kerja produktif asketis, dikarenakan kebanyakan petani merasa kuat tertantang oleh ukuran-ukuran ekonomi (sebagai taruhan) bagi kehormatan dan citra dirinya di tengah masyarakat. Pada episode kedua, kebanyakan petani relatif merasa terbebas dari tantangan bermuatan ekonomi atas citra diri mereka di tengah masyarakat, dan dari situlah berkembang preferensi ke arah berbudaya kerja subsisten konsumtif. Episode ketiga terjadi titik balik ke arah yang menyerupai episode pertama.
Atas dasar itu, perubahan budaya kerja antar episode lebih mencerminkan fenomena artikulasi pandangan hidup beserta etos budaya yang mempribadi pada diri para petani. Dikatakan demikian, karena meskipun terlihat perubahan budaya kerja antar episode ternyata tetap bertumpu pada, dan merupakan penjelmaan dari pertimbangan strategik yang secara kental diwarnai alasan kehormatan (citra diri). Cerminan berlangsungnya strukturasi budaya kerja yang tak tercerabut dari akarnya. Berarti terjadi keberlangsungan sosiobudaya sebagaimana yang dimaksudkan Thompson, Ellis, dan Wildavsky. Itu mengisyaratkan bekerjanya dualitas struktur yang tak keluar dari orbit etos budaya. Sebagai suatu siklus (proses), secara teoretis berlangsung ..
Berdasarkan temuan penelitian ini rasanya beralasan untuk menyatakan bahwa teori agung Chayanov tentang perilaku kerja dan ekonomi petani tidaklah memadai, terutama karena terlampau berpijak pada pemikiran determinisme ekonomi a la Marx, dan kurang mempertimbangkan aspek cultural/ideologis. Padahal, perilaku kerja dan ekonomi petani sangat diwarnai oleh pertimbangan-pertimbangan cultural/ideologis.
Implikasi teoretis terpenting dari temuan penelitian ini adalah: Mendukung konsep dualitas struktur yang ditawarkan dalam teori strukturasi Giddens, yang karenanya, juga mendukung sejumlah teori lain yang relatif senada dengan konsep tersebut; pada tataran hipotetik diperkirakan bahwa, pertimbangan cultural/ideologis akan senantiasa menjadi pegangan petani dalam merespons berbagai rupa intervensi dari luar, termasuk program pembangunan, dan itulah yang membuat mereka senatiasa kritis serta penuh kehati-hatian. Pada tingkat yang lebih praktis, sangat disarankan kajian-kajian bersifat strategis untuk mendukung kepentingan keberlangsungan sosiobudaya yang bias Pancasila.
Kepada pengelola program pembangunan disarankan agar kategori petani berdasarkan tipologi budaya kerja ikut dipertimbangkan, baik pada tingkat perencanaan maupun pelaksanaan program pembangunan.
Translation:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar