Selasa, 19 Mei 2009

ANTONIO GRAMSCY

Kapitalisme Lanjut »

Perihal Hegemoni dan Perang Posisi

Posted by Mh. Nurul Huda on 21 November 2006

1. Pengantar

Antonio Gramsci (1891-1937) adalah salah satu teoritisi Marxis terpenting asal Italia pada abad ke-20 ini, dan disebut oleh Kolakowski sebagai teoritikus politik paling orisinil sesudah Lenin yang mencoba mengkritisi kelemahan-kelemahan Marxisme dan melakukan analisis terhadap penyebab kegagalan revolusi proletariat.

Salah satu gagasan sentral Gramsci yang akan diuraikan dalam tulisan ini adalah soal hegemoni dan perang posisi. Tema ini dipilih karena melalui konsep inilah Gramsci telah membalikkan padangan tradisional Marxisme bahwa revolusi proletar akan datang secara niscaya, sebagaimana siang menggantikan malam. Sebaliknya revolusi sosialis baru bisa diperoleh melalui tekad dan upaya panjang sedemikian rupa sehingga kelas-kelas bawah meraih kepemimpinan kultural, intelektual dan ideologis dalam kehidupan masyarakat.

Dalam tulisan ini, saya akan membagi dalam beberapa pokok bahasan. Pertama-tama akan dibicarakan konteks pemikiran Gramsci, lalu dalam bagian berikutnya akan dibahas pengertian hegemoni dan “perang posisi” serta peran intelektual “organik” dalam proses revolusi sosial. Di akhir tulisan ini akan diberikan kesimpulan dan beberapa relevansi pemikiran Gramsci dalam konteks kekinian.

2. Konteks Pemikiran Gramsci

Gramsci menuliskan pemikirannya dengan bertitik tolak pada kritiknya terhadap pandangan marxisme ortodoks, terutama kerangka teoritis Nikolai Bukharin dalam sebuah buku The Theory of Historical Materialisme yang dimaksudkannya sebagai sebuah karya textbook tentang Marxisme-Leninisme untuk para kader partai komunis lebih tinggi. Buku ini berisi ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme sebagai pandangan dunia proletariat, sekaligus upaya Bukharin menyatukan sosiologi kontemporer dalam karyanya itu dengan tujuan hendak menunjukkan bahwa materialisme historis adalah sosiologi tentang proletariat dengan kadar kepastian ilmiah.

Gramsci menolak pandangan tersebut dan menganggap materialisme sejarah Soviet ortodoks itu telah mereduksi metode dialektik kritis terhadap masyarakat menjadi seperangkat prinsip-prinsip partai yang bersifat dogmatis dengan mengorbankan pembebasan diri proletariat. Lagi pula, Gramsci berkeberatan dengam maksud buku itu yang diperuntukkan bagi komunitas pembaca elit yang disebutnya “bukan intelektual profesional”, sehingga menciptakan kekeliruan besar karena telah mengabaikan “filsafat massa rakyat” atau filsafat yang lahir dari akal sehat rakyat sendiri. Dengan kata lain, pandangan Bukharin ini adalah sebuah sistem filsafat (materialisme historis) yang asing dan tidak dikenal oleh massa rakyat dan hendak dipaksakan begitu saja dari luar kesadaran diri proletar. Bagi Gramsci kesadaran politik proletariat harus dibangun melalui kepercayaan-kepercayaan dan akal sehat mereka sebagaimana terungkap dalam cerita-cerita dan agama rakyat, dan bukan semata-mata di-impose dari luar (elit). Karena yang belakangan ini merupakan cerminan dari kekuatan kultural kohesif atau hegemoni yang dijalankan oleh kelas-kelas yang berkuasa (Richard Kilminster, 1979: 110-111; Frans Magnis Suseno, 2003: 175-176).

Penolakan Gramsci pada tradisi Marxian ortodoks dan penekanan sebaliknya pada faktor-faktor budaya dan ideologi disebabkan oleh karena situasi Italia sendiri, negara kelahirannya, sebagaimana negara-negara kapitalis lain dimana sistem borjuis memiliki sumber stabilitas yang kuat. Di negara-negara ini, revolusi sosialis yang ditunggu-tunggu kedatangannya setelah terjadi krisis ekonomi kapitalis ternyata tidak kunjung tiba. Sebaliknya kegagalan melancarkan revolusi sosialis di negara-negara di luar Rusia, munculnya fasisme di Italia dan pecahnya perang dunia pertama yang menandai lemahnya internasionalisme proletar, serta pemberontakan di Jerman dan Hongaria seakan membuktikan bahwa revolusi di Barat telah gagal. Rangkaian kekalahan dan kegagalan ini, menurut Yoseph V. Femia, telah menyebabkan keraguan dalam diri Gramsci terhadap kredibilitas teoritis aksi revolusi (Heru Hendarto, 1993: 71-72). Sehingga berdasarkan kenyataan dan kesulitan seperti itu Gramsci lalu berusaha menganalisis persoalan tentang bagaimana mencari strategi yang pas untuk menyukseskan revolusi sosialis di Italia dan Eropa Barat pada umumnya.

3. Tentang Hegemoni

Sebagaimana disinggung di atas hegemoni merupakan gagasan sentral dalam pemikiran Gramsci mengenai strategi perubahan sosial. Konsep ini pertama-tama muncul dalam rangka mengoreksi kegagalan revolusi sosialisme di negara-negara Barat, termasuk Italia, sekaligus mengevaluasi gagasan dasar Marxisme ortodoks paska Marx dan Engel yang menyatakan bahwa akibat kontradiksi-kontradiksi internalnya kapitalisme niscaya akan hancur dengan sendirinya digantikan dengan masyarakat sosialis melalui revolusi proletariat.

Bagi Gramsci sendiri revolusi adalah proses organik yang memerlukan pengorganisasian aktifitas sadar dan kesadaran kritis teoritis. Sehingga persiapan intelektual, budaya dan politik kelas pekerja adalah syarat yang diperlukan untuk suksesnya sebuah revolusi proletariat. Dalam konteks inilah hegemoni menemukan lokus urgensinya.

Hegemoni adalah konsep penting dalam tulisan-tulisan Gramsci, meski ia dipakai dalam berbagai pengertian. Konsep ini muncul berbarengan dengan upaya Gramsci untuk memajukan revolusi sosialis dalam rangka menghancurkan tatanan dan sistem kapitalisme. Pertama-tama yang harus dikatakan adalah bahwa Gramsci menggunakan istilah ini sebagai konsep yang netral, tidak bersifat baik atau buruk. Artinya, dia menggunakan konsep hegemoni dalam kerangka realitas perjuangan kelas dalam suatu tatanan masyarakat.

Kadang-kadang Gramsci mengidentifikasi hegemoni dengan kekuatan politik yang dijalankan dengan paksaan, tetapi pada umumnya ia menunjuk kepada kontrol terhadap kehidupan intelektual masyarakat melalui sarana-sarana kebudayaan (Leszek Kolakowski, 1978: 242). James Joll secara gamblang menjelaskan bahwa hegemoni suatu kelas politis berarti bahwa kelas tersebut berhasil membujuk kelas-kelas sosial lain untuk menerima nilai-nilai budaya, politik, dan moral dari kelas itu (James Joll, 1977: 99). Oleh karena itu hegemoni lebih terkait dengan upaya mencapai kekuasaan politik melalui konsensus antar kelas daripada melalui kekerasan. Bahkan dalam suatu hegemoni yang berhasil, kekuatan koersif sudah tidak dibutuhkan lagi oleh kelas berkuasa.

Dengan konsep hegemoni ini Gramsci menyadari pentingnya peran kebudayaan dalam revolusi sosialis, suatu faktor yang kurang memperoleh perhatian sebelumnya dalam analisis Marxisme ortodoks yang terlalu dibutakan oleh kerangka “basis-suprastruktur”. Kerangka ini sebagaimana disebut oleh Magnis Suseno menyimpan kekonyolan pengertian ekonomistik, dimana perubahan dalam basis struktur ekonomi menentukan perubahan dalam level suprastruktur politik, ideologi dan kebudayaan. Revolusi sosialis dianggap tergantung seratus persen dari perkembangan perekonomian kapitalistik. Adapun Gramsci dalam konteks ini sebenarnya mengikuti apa yang telah dilontarkan Lenin bahwa tanpa tekad revolusioner segala perkembangan ekonomis dengan sendirinya tidak pernah akan menghasilkan revolusi apapun. Karenanya Lenin memandang perlu hadirnya sebuah partai revolusioner pada khazanah pemikiran Marxis (Franz Magnis Suseno, 2003: 184). Dan melalui kepemimpinan partai ini Lenin telah membuktikan bahwa revolusi sosialis bisa dijalankan di Rusia.

Namun demikian bagi Gramsci peran partai saja tidaklah cukup untuk menggerakkan revolusi di negaranya, Italia, dan umumnya di Barat. Karena di Barat masyarakat sipil begitu kuat dan kompleks yang tidak hanya dikuasai oleh borjuasi tetapi juga mereka menyokong dan menjamin kedudukannya.

Di negara-negara Barat kekuatan kaum borjuasi sudah mencakup seluruh bidang kehidupan masyarakat: ekonomi, sosial, politik, budaya, agama, dan lain-lain. Kesatuan kekuatan borjuasi dalam masyarakat ini membentuk suatu “blok historis”, yakni suatu konstalasi di mana semua dimensi kehidupan kelas-kelas sosial dalam masyarakat ini menyatu dan saling mendukung di bawah hegemoni sebuah kelas, yaitu kelas borjuasi. Tampaknya inilah alasan mengapa revolusi sosialis pada kenyataannya tidak jua terjadi. Kelas borjuasi berhasil menguasai kelas-kelas di bawahnya melalui hegemoni sehingga krisis ekonomi tidak secara langsung melahirkan revolusi, karena persis krisis ekonomi tidak sekaligus membawa krisis nilai dalam masyarakat. Kelas borjuasi sebagai pemegang hegemoni blok historis tidak hanya berkuasa dalam bidang ekonomi dengan dukungan daya ancam negara, melainkan karena seluruh masyarakat menganggap situasi kekuasaan itu wajar saja, hegemoni borjuis itu masuk akal dan bisa dimengerti. Selain tentu saja karena hadirnya kelompok intelektual yang mendukung kedudukan hegemonial kelas itu melalui refleksi intelektual-filosofis (Franz Magnis-Suseno, 2003: 188).

4. Hegemoni dan Perang Posisi

Dari paparan di atas makin jelas bahwa sebuah revolusi sosialis tidak dapat dilakukan secara gampang tatkala semua kecenderungan, hasrat, perasaan dan kepentingan masyarakat berada dalam hegemoni kelas borjuis. Dalam konteks ini Gramsci menolak pandangan Rosa Luxemburg bahwa krisis ekonomi dalam sistem kapitalisme akan mendorong reaksi spontan masyarakat untuk menghancurkan sistem kapitalisme melalui partai dan sindikat-sindikat para pekerja. Sebaliknya ia menegaskan bahwa revolusi adalah proses organik dan molekular yang membutuhkan pengorganisasian aktifitas sadar dan kesadaran kritis. Ini artinya suksesnya revolusi proletariat juga sangat ditentukan oleh prasyarat persiapan intelektual, budaya dan politik kelas masyarakat bawah sendiri.

Dengan kata lain, perubahan sosial politik baru bisa dimungkinkan jika masyarakat bawah terlebih dahulu berhasil merebut hegemoni kultural dengan menyingkirkan hegemoni kaum borjuasi yang menindas. Ini artinya sebelum mengambil alih kekuasaan politik, kelas buruh dan masyarakat bawah lainnya harus bisa mengambil alih pandangan dunia, nilai-nilai, dan harapan-harapan seluruh masyarakat atau paling tidak kelas-kelas penting, karena dalam rangka menciptakan sistem masyarakat yang baru itu diperlukan sebuah kebudayaan yang baru pula. Upaya pengambilalihan atau perebutan hegemoni inilah yang disebut Gramsci sebagai “perang posisi” (war of position).

Strategi tersebut digunakan Gramsci dalam rangka untuk mematahkan hegemoni borjuasi dalam masyarakat sipil melalui kepemimpinan intelektual, kultural dan ideologis dalam lembaga-lembaga privat, sekolah-sekolah, gereja, industri, asosiasi kota dan pedesaan, dan lain-lain. Gramsci membedakan antara “perang posisi” (war of position) dan “perang gerak” (war of movement) dalam kerangka strategi yang berbeda dalam perebutan kekuasaan. Yang pertama merujuk pada perebutan kekuasaan yang dilakukan melalui konfrontasi langsung, sementara yang kedua melalui proses gradual dan molekular yang menyiapkan kondisi bagi kekuatan sosialis progresif untuk merebut kekuasaan. “Perang gerak” hanya bisa dilakukan bila masyarakat sipil sangat lemah, sementara diperlukan “perang posisi” bila masyarakat sipil dalam negara itu sangat kuat.

Dengan belajar dari Rusia, Gramsci percaya bahwa keberhasilan Lenin merealisasikan revolusi proletariat di Timur, tidak dengan mudah bisa diikuti oleh negara-negara Barat. Perbedaan-perbedaan struktural antara Rusia dan Barat secara otomatis juga mengharuskan kaum proletar untuk membangun strategi politik berbeda. “Perang gerak” sebagaimana yang diterapkan Lenin di Rusia dianggap lebih cocok karena kondisi masyarakat sipil di sana sangat lemah di bawah kepemimpinan Tsar. “Perang gerak” ini sangat berhasil di Rusia karena kekuatan masyarakat sipil yang merupakan gabungan dari elit feudal, borjuis dan intelektual yang berkuasa di satu pihak dan massa petani yang berada dipinggiran kehidupan politik di pihak lain, sangat lemah; sementara kekuasaan negara tersentralisasi dan terkonsentrasi pada diri seorang kaisar Tsar. Dan dalam kondisi tersebut “perang gerak” lebih strategis dan efektif untuk merebut kekuasaan secara langsung.

Adapun di Italia kekuatan negara borjuasi tertanam dalam masyarakat sipil yang kuat dan kompleks. Negara memperoleh kekuatan dan sokongan dari jaringan organisasi-organisasi privat, sekolah, gereja, asosiasi pedesaan dan masyarakat urban, dan para industrialis utara. Tambahan lagi kapitalisme barat dan Italia sukses menciptakan blok politik, menyerap elemen-elemen budaya kelas pekerja dan menyatukan massa rakyat ke dalam struktur hegemonik. Realitas politik inilah yang menyebabkan “perang gerak” tidak berhasil dan tidak bisa diharapkan lagi (Leonardo Salamini, 1981: 126-134). Sehingga dalam struktur politik di mana masyarakat sipil sangat kuat dalam hegemoni kaum borjuasi maka strategi yang lebih masuk akal adalah “perang posisi” dengan menggerogoti kekuatan kultural dan ideologi borjuasi.

Gramsci yakin bahwa hegemoni borjuasi ini bisa dipatahkan melalui strategi “perang posisi”. Ini dikarenakan sebenarnya konsensus antara kelas-kelas sosial yang memapankan masyarakat borjuis adalah semu dan superfisial belaka, sehingga tatanan sosial yang dibangun pun hanya kelihatannya saja universal. Apa yang nampak sebagai kepentingan bersama seluruh masyarakat hanyalah kedok kepentingan kelas borjuasi. Karena dalam kenyataannya eksploitasi kelas-kelas buruh masih terus berjalan (Franz Magnis-Suseno, 2003: 193-194).

Selanjutnya dalam rangka mematahkan hegemoni borjuasi dan merumuskan pandangan dunia baru kelas proletar ini, Gramsci memiliki instrumen favorit yang sangat penting, yakni “intelektual organik”. Kelompok ini berperan signifikan untuk mengobarkan “perang posisi” guna mengambil alih hegemoni.

5. Intelektual “Organik”

Siapakah profil “intelektual organik” ini? Gramsci memakai istilah “intelektual” dalam arti luas yang secara praktis ekuivalen dengan “inteligensia” atau semua kelas terdidik. Dan pada umumnya setiap kelas utama memproduksi lapisan intelektualnya sendiri yang bertugas mempertahankan kontinuitas budaya kelas masyarakatnya dan menyatukan mereka berdasarkan solidaritas tertentu.

Bagi Gramsci, intelektual organik adalah para intelektual yang tidak sekedar menjelaskan kehidupan sosial dari luar berdasarkan kaidah-kaidah saintifik, tapi juga memakai bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman real yang tidak bisa diekspresikan oleh masyarakat sendiri (Leszek Kolakowski, 1978: 240). Intelektual organik adalah mereka yang mampu merasakan emosi, semangat dan apa yang dirasakan kaum buruh, memihak kepada mereka dan mengungkapkan apa yang dialami dan kecenderungan-kecenderungan objektif masyarakat.

Di atas tadi sudah disinggung secara panjang lebar bahwa kemenangan kelas bawah mustahil diraih tanpa suatu kemenangan budaya terlebih dulu, dan kemenangan budaya ini meniscayakan peran serta intelektual organik. Dalam hal inilah bisa dipahami bahwa dalam upaya-upaya perubahan sosial sangat diperlukan penyusunan dan pengorganisasian suatu lapisan intelektual yang mengekspresikan pengalaman aktual masyarakat dengan keyakinan dan bahasa terpelajar. Artinya kaum intelektual organik ini menghadirkan suara-suara kepentingan masyarakat bawah dengan bahasa budaya tinggi sehingga pandangan dunia, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan kelas bawah meluas ke seluruh masyarakat dan menjadi bahasa universal. Bila tahap ini berhasil, maka jalan semakin lebar bagi kelas bawah untuk melakukan perubahan revolusioner, yakni merebut kekuasaan politik.

Dalam pandangan Gramsci perubahan sosial bukanlah semata-mata upaya menyangkut masalah kekuatan ekonomi dan fisik, tapi juga melibatkan perebutan wilayah kebudayaan dan ideologi: suatu upaya masyarakat bawah untuk membebaskan diri mereka dari budaya kaum borjuis dan untuk membangun nilai budaya mereka sendiri bersama-sama dengan kaum tertindas dan lapisan intelektual yang berpihak. Dalam konteks inilah bisa dikatakan bahwa supremasi intelektual merupakan prakondisi tercapainya kekuasaan politik (Leszek Kolakowski, 1978: 242).

5. Kesimpulan dan Relevansi

Gramsci telah merevisi pandangan-pandangan Marxisme klasik yang cenderung “ekonomistik” untuk lalu menekankan arti penting budaya dan ideologi dalam pembentukan masyarakat sosialis. Ia menunjukkan bahwa kategori “struktur-superstruktur” tidaklah bersifat mutlak, deterministik dan monologis. Tapi sebaliknya dalam realitas masyarakat kedua bagian itu saling mempengaruhi, dan ideologi dan budaya justeru sangat menentukan keberhasilan dalam revolusi sosialis.

Gramsci mengikuti Lenin dalam arti dia menolak bahwa revolusi sosialis secara objektif akan datang begitu saja bila tiba waktunya dan kita tinggal menunggu saja kedatangannya. Sebaliknya, Gramsci melihat pentingnya kehendak dan tekad revolusioner itu ada dalam hati sanubari proletariat untuk menumbangkan kekuasaan kaum borjuasi yang telah merasuk dalam semua dimensi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan kelompok intelektual dan partai revolusioner untuk mewujudkan sosialisme. Namun berbeda dengan Lenin, tugas intelektual bukanlah mencekoki kelas buruh pengetahuan tentang teori yang benar, melainkan mengungkapkan belaka suara-suara kepentingan kelas buruh ini dalam bahasa yang bisa dipahami oleh masyarakat luas. Dalam arti ini maka penting sekali bahwa keberadaan kaum intelektual bukanlah di menara gading, elitis, melainkan harus menyatu dan berada di sisi kaum buruh. Demikian juga partai politik, tidak bertugas menyuntik ke dalam diri kelas buruh suatu kesadaran yang benar, melainkan membuat mereka sadar akan implikasi kesadaran yang sudah mereka miliki serta segi-segi perjuangan.

Hal ini semua karena terkait dengan upaya kaum buruh untuk menancapkan hegemoni kultural dan ideologis sebelum memulai perebutan kekuasaan politik. Bagi Gramsci proses perubahan sosial tidak semata-mata sebagai perebutan kekuasaan politik, melainkan suatu perebutan kekuasaan budaya dan ideologi. Demikian juga sebuah revolusi sosialis tidak dapat dilakukan dengan sekali jadi melalui perebutan kekuasaan politik, melainkan memerlukan waktu panjang dalam suatu perang posisi (war of position) untuk merubah pandangan dan nilai-nilai masyarakat sipil. Jika masyarakat sipil sudah dihegemoni maka sebenarnya secara de facto kekuasaan itu sudah berada di tangan kelas buruh, dan kepemimpinan politik bisa diambil alih secara mudah.

Tentu saja gagasan-gagasan Gramsci ini sangat relevan baik sebagai sebuah alat baca maupun sebagai perangkat membangun gerakan sosial.

Sebagaimana berlangsung sejak Orde Baru, berbagai gerakan sosial di Indonesia telah merepresentasikan kiprah para intelektual baik aktifis di berbagai LSM, organisasi keagamaan, aktifis kampus maupun organisasi profesi dalam membangun aliansi bersama untuk menumbangkan rezim Suharto. Proses penyadaran publik dan advokasi sosial terus menerus dilakukan dalam rangka menggerogoti dan mendelegitimasi rezim. Berbagai kekuatan ini telah membentuk semacam “blok historis” lain di luar kekuasaan rezim, dan berusaha meraih dukungan publik seluas-luasnya untuk menggusur hegemoni politik dan ideologis “pembangunanisme” Orde Baru. Dan dampak dari gerakan-gerakan ini mulai terlihat pada periode-periode akhir kekuasaan rezim. Gelombang demontrasi, pemogokan, dan perlawanan-perlawanan rakyat begitu menggelora hingga akhirnya pada 1998 rezim Soeharto itu tumbang.

Selain itu dalam konteks tatanan dunia sekarang ini dimana segala segi kehidupan berada di bawah hegemoni kapitalisme neoliberal dalam bentuk eksploitasi buruh sampai dengan komodifikasi dan konsumerisme, maka gagasan Gramscian tentang a counter-hegemonic transnasional blocco storico (blok historis atau kekuatan progresif transnasional) menjadi sangat penting.

Demikian juga konsep hegemoni Gramsci ini sangat bermanfaat dan menjadi pelajaran penting bagi para politisi partai dan intelektual kita. Sebuah partai akan besar dan sukses bila ia mampu mengartikulasikan kepentingan riil masyarakatnya. Dan menjadi tugas para intelektual untuk mengemban amanah perubahan dan pembebasan sosial. []

Bahan Bacaan:

Craig, Edward (ed.), Routledge Encyclopedia of Philosophy, Vol. 4, Routledge, London, 1998

Joll, James, Gramsci, William Collins Sons & Co. Ltd., Galsgow, 1977

Kolakowski, Leszek, Main Current of Marxism, Vol. III, Clarendom Press, Oxford, 1978

Kilminster, Richard, Praxis and Method: A Sociological Dialogue with Lukacs, Gramsci and The Early Frankfurt School, Routledge & Keagen Paul, London, 1979

Magnis-Suseno, Franz, Dalam Bayangan Lenin, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003

Nelson, Cary & Grossberg Lawrence (eds.), Marxisme and The Interpretation of Culture, MacMillan Education, London, 1988

Salamini, Leonardo, The Sociology of Political Praxis: An Introduction to Gramsci’s Theory, Routledge & Keagen Paul, London, 1981

Tim Redaksi Driyarkara (pny.), Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993

Femenisme 7

Luce Irigaray, dan Basis Emansipasi Perempuan

Posted by Mh. Nurul Huda on 24 November 2006

“And all the egalitarian slogans keep pushing us further back.

In my opinion, all those slogans simply promote a totalitarian ideology”,

Luce Irigaray

Pengantar

Luce Irigaray (1932-…) adalah seorang feminis Perancis yang unik. Dia termasuk pembawa gerakan feminisme generasi kedua yang tidak sekadar mempertanyakan ketidaksetaraan sosial yang dialami keum perempuan, melainkan mengamati struktur ideologis yang sudah tertanam lama dan membuat perempuan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dibandingkan laki-laki.

Keunikan yang segera tampak setelah membaca karyanya adalah bahwa baginya yang esensial dalam perjuangan pembebasan perempuan bukanlah menuntut kesetaraan, melainkan dengan membangun budaya perempuan-lelaki yang menghargai perbedaan antara kedua jenis kelamin. Dan oleh karenanya untuk mencapai cita-citanya itu, Irigaray menegaskan bahwa emansipasi perempuan hanya bisa diwujudkan dengan suatu “teori tentang gender yang berlandaskan jenis kelamin dan penulisan kembali kewajiban dan hak setiap jenis kelamin, sebagai dua unsur yang berbeda dalam kewajiban dan hak sosial”.[1] Dengan ini dia bermaksud menawarkan suatu upaya untuk membangun budaya perempuan-lelaki yang menghargai perbedaan antara kedua jenis kelamin.

Irigaray adalah ahli linguistik, sekaligus seorang filsuf. Ia dengan gemilang juga memanfaatkan capaian-capaian psikoanalisis dalam kajian filsafat dan pengandaian-pengadaian teoritiknya, terutama guna menyingkap sistem-sistem patriarkal yang membelenggu dan membungkam suara kaum perempuan.

Dalam tulisan ini, saya hendak menguraikan beberapa bagian dari gagasan Irigaray terutama kritiknya pada dasar-dasar sistem patriarkal. Lalu dilanjutkan dengan usaha besar Irigaray untuk mengembalikan identitas dan subjektifitas perempuan,dan bagian berikutnya akan ditunjukkan kritik dan kesimpulan.

Membongkar Budaya Patriarki

Dalam karyanya Speculum of the Other Woman, Irigaray berusaha mengembangkan tulisan yang khas feminis yang menyerang mitos dan hegemoni pemikiran kaum lelaki yang hadir dalam tradisi filosofis Barat dan disiplin kajian psikoanalisis, yang telah berperan besar terhadap pembungkaman suara kaum perempuan.[2]

Luce Irigaray mengritik rasio pencerahan. Menurutnya rasionalitas pencerahan tidak berlaku bagi perempuan karena ia meremehkan elemen-elemen non-rasional dalam pikiran manusia, demikian juga kehendaknya untuk berkuasa, mengontrol, memanipulasi dan menghancurkan atas nama yang rasional itu. Cara berpikir Pencerahan bersifat khas laki-laki. Kritik terhadap rasionalitas yang bersifat laki-laki ini, bagi Irigaray, sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengunggulkan irasionalitas perempuan. Melainkan semata hendak menunjukkan bahwa rasionalitas itu memiliki struktur tertentu, yakni prinsip identitas, prinsip nonkontradiksi (A adalah A, A bukan B) yang menyingkirkan ambiguitas dan ambivalensi, dan binerisme (oposisi alam/rasio, subjek/objek)

Jika rasio pencerahan mendapat kritik yang mendasar, Irigaray lebih jauh berusaha membongkar dasar hegemoni patriarki yang terbangun dalam tradisi budaya Barat beserta mitos-mitos yang berdiri di belakangnya. Untuk tujuan ini Irigaray berhutang budi pada konsep seksualitas Freud yang menyatakan bahwa dorongan seksualitaslah yang mempengaruhi kehidupan intelektual dan kultural manusia.[3]

Teori dasar Freud mengenai perempuan setidaknya tergambar dalam konsep katrasi atau pengebirian. Menurut Freud, bagian terpenting dari perkembangan seksual lelaki dan perempuan adalah ada tidaknya penis pada mereka. Kaum perempuan merasa sebagai manusia yang tidak lengkap dan selalu merasa kurang karena tidak memiliki penis, oleh sebab itu merasa dikebiri. Dan oleh karena itu pula mereka selalu merasa inferior. Bagi kaum Freudian status nomor dua yang ditujukan kepada kaum perempuan tidak bisa dihindari karena perempuan kekurangan organ penis yang menyimbolkan kesuperioritasan dan keotoritasan.

Selain melalui Freud, Irigaray juga memanfaatkan gagasan Lacan untuk mengritik, melawan dan mengajukan penjelasan psikoanalisis pada bias teoritis dalam kajian psikoanalisis. Berdasarkan konsep Lacan tentang Yang Real, Yang Simbolik, dan Yang Imajiner[4], Irigaray menganalisis bahwa tatanan simbolik Lacan, yakni kondisi bahasa, pada dasarnya bersifat maskulin dan patriarkal: yakni bahwa tatanan ini hanya mengartikulasikan pemikiran imajiner kaum lelaki dan, tatanan tersusun menurut hukum dan tatanan simbolik yang bersifat merangkum dan mendasarinya. Sehingga apapun yang berada di luar tatanan simbolik itu harus diterjemahkan agar sesuai dengan tatanan bahasa itu. Dalam konteks ini, karena tatanan simbolik sepenuhnya falik, maka ruang artikulasi bahasa perempuan menjadi teredam, dan tidak ada pilihan bagi perempuan kecuali berbicara dan berkomunikasi kecuali dengan cara menyesuaikan diri dengan bahasa patriarkal.[5]

Melalui psikoanalisis Freud dan Lacan inilah Irigaray tampaknya disadarkan bahwa konsep-konsep yang dibangun psikoanalisis, dan juga filsafat, telah dibangun oleh tokoh-tokohnya dengan bahasa dan cara pandangan kaum lelaki, dan karenanya sepenuhnya berbias maskulin. Lebih jauh Irigaray dalam satu gebrakan sesungguhnya juga mengkritik kategori-kategori Marxis dan sekaligus menegaskan bahwa keterpinggiran perempuan tidak semata-mata akibat dari hubungan produksi dalam ekonomi, melainkan juga disebabkan oleh keterpinggiran dalam tatanan dan hubungan-hubungan simbolik. Justeru melalui tatanan simbolik dan bahasa yang sepenuhnya phallocratic inilah, drama tentang kepenuhan yang maskulin dan kekurangan yang feminin ini beroperasi.

Irigaray menulis,

“Perbedaan seksual bukan sekadar data alami, ekstra bahasa. Perbedaan itu mempengaruhi bahasa dan bahasa mempengaruhnya….. perbedaan itu terletak di pertemuan alam dan kebudayaan. Namun peradaban patriarkal menurunkan nilai feminin sedemikian rupa sehingga realitas dan deskripsinya tentang dunia keliru. Maka alih-alih tetap merupakan gender yang berbeda, dalam bahasa kita feminin menjadi bukan-maskulin, artinya suatu realitas abstrak yang tidak hadir.”[6]

Pandangan dunia Barat yang phallocratic dan monoseksual telah mendefinisikan status perempuan sebagai laki-laki yang tidak utuh, sebagai yang “bukan maskulin”. Dampaknya adalah sarana komunikasi sosial juga didominasi oleh bahasa falik. Dan dalam sistem patriarki sesungguhnya perempuan mengalami keterbungkaman oleh suatu bahasa falik yang cenderung merendahkan dan meletakkan perempuan sebagai objek dalam hubungannya dengan subjek maskulin. Dan pada akhirnya struktur bahasa yang falik, menurut Irigaray, berperan besar menenggelamkan eksistensi dan identitas perempuan.

Sebagai seorang ahli lingustik, Irigaray membuat kajian mendalam terhadap bahasa dan ia menggarisbawahi bahwa kebudayaan patriarkal terwujud pada sistem batin bahasa.

Menurut Irigaray, adanya perbedaan gender gramatikal bukan tanpa alasan dan semena-mena, melainkan memiliki alasan semantik. Dan pemisahan pemaknaannya pun berkaitan dengan pengalaman inderawi dan kebertubuhan, dan bahwa pemisahan itu berubah sesuai dengan waktu dan tempat. Perbedaan seksual, misalnya, menentukan sistem pronomina, ajektiva posesif, juga gender kata dan pengelompokannya dalam kategori gramatikal: hidup/tak hidup, konkrit/abstrak, maskulin/feminin, dan seterusnya. Lebih lanjut dalam konteks budaya patriarki, kaum lelaki selalu berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan cara merepresentasikan segala sesuatu yang bernilai sesuai dengan citra dan gender gramatikalnya sebagai maskulin.[7] Ini terlihat dari pengelompokan kata bergender bahwa apa yang bernilai adalah maskulin, sedangkan yang tidak bernilai adalah feminin. Demikian juga pada matahari dilektkan gender maskulin, bulan bergender feminin; langit adalah laki-laki, sedangkan bumi adalah saudara perempuannya.

Membangun Budaya Baru

“Pokoknya kebutuhan kita pertama-tama atau yang harus dipenuhi adalah hak memiliki harkat manusiawi bagi semua orang. Itu berarti sebuah hak yang mengunggulkan perbedaan… Suatu keadilan sosial, khususnya keadilan seksual hanya dapat diwujudkan jika ada perubahan kaidah bahasa dan konsepsi mengenai kebenaran serta nilai-nilai yang mengatur tatatanan masyarakat.”[8]

1. Transformasi Bahasa

Dalam tradisi Barat kondisi feminin masyarakat diredam dan disingkirkan. Kaum perempuan tidak memiliki sarana-sarana simbolik yang memungkinkan mereka mengembangkan suatu bentuk komunikasi dan cara wicara yang bisa membentuk identitas dan subjektifitas mereka. Oleh karena itu untuk keluar dari penjara bahasa patriarki, menurut Irigaray kaum perempuan memerlukan sarana simboliknya sendiri, yakni rumah bahasa yang memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang. Irigaray secara tegas menyatakan bahwa “keniscayaan kebahasaan menentukan gerakan pembebasan”.[9]

Irigaray menegaskan bahwa pembebasan berbasis gender mustahil bisa dilakukan tanpa tanpa perubahan kaidah bahasa yang berkaitan dengan gender gramatikal. Mengapa? Karena bahasa adalah alat untuk memproduksi makna. Bahasa juga berperan membangun bentuk-bentuk mediasi sosial dari hubungan interpersonal hingga dalam relasi-relasi politik. Sehingga ketika hegemoni dan penghapusan subjek dan identitas perempuan berlangsung dan bekerja pada ranah simbolik, maka pembebasan perempuan melalui transformasi bahasa menjadi keniscayaan utama.

Pembebasan subjek perempuan ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa strategi, yakni kaidah bahasa baru tersebut diciptakan berdasarkan prinsip perbedaan seksual. Bagi Irigaray hal ini sangat penting karena bahasa sesungguhnya adalah alat bertukar dan berkomunikasi antar dua pihak yang hidup di dunia dengan perbedaan jenis kelamin. Dan kaidah bahasa baru ini pertama-tama diharapkan mampu menyeimbangkan hubungan di antara dua jenis kelamin baik dalam bahasa itu sendiri maupun dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan, sehingga pada akhirnya kaum perempuan mampu menemukan dirinya kembali sebagai subjek.

2. Etika Perbedaan Seksual

Selain strategi linguistik tersebut di atas, Irigaray menekankan pentingnya perbedaan seksual sebagai landasan etis dalam membangun relasi antara laki-laki dan perempuan. Tujuan Irigaray ini tidak lain adalah usaha membangun countersystem yang bersifat khas feminin untuk membuka ruang bangkitnya identitas seksual yang positif bagi perempuan sekaligus membangun relasi subjektif “To Be Two”[10] antara lelaki dan perempuan. Untuk tujuan ini ia memberikan latar argumentasi politis dan juga filosofis, bahkan argumentasi biologis dan pragmatis.

Berbeda dengan gerakan feminis pertama, Irigaray mengajukan konsep perbedaan seksual sebagai basis pembebasan perempuan disebabkan kenyataan realitas konkrit keterpinggiran kaum perempuan, bukan hanya akibat dominasi bahasa patriarkis melainkan juga oleh berbagai slogan yang mengatasnamakan kesetaraan lelaki-perempuan dan slogan kenetralan dalam klausul berbagai konvensi dan perundang-undangan. Menurutnya, slogan-slogan kesetaraan itu sudah menjadi candu masyarakat dan suguhan ilusi bagi kemajuan.

Irigaray menulis,

“And all the egalitarian slogans keep pushing us further back. In my opinion, all those slogans simply promote a totalitarian ideology”[11]

Di dalam kata pengantar edisi Perancis untuk bukunya Thinking the Difference for a Peaceful Revolution, Irigaray nyata-nyata menelanjangi Deklarasi HAM PBB dimana klausul-klausul yang ada di dalamnya dianggapnya telah mengingkari realitas keseharian kaum perempuan. Bukan hanya itu, menurutnya Deklarasi HAM bukanlah poin-poin normatif yang bersifat netral secara ideologis, melainkan sepenuhnya didefinisikan oleh kepentingan kaum lelaki.

Oleh karena itu untuk mempertahankan kepentingan dan melindungi diri dari manipulasi ideologi kesetaraan semacam itu, Irigaray secara politis menekankan pentingnya perbedaan seksual untuk memproteksi identitas kemanusian kedua jenis kelamin itu. Dan atas dasar itu, menurut Irigaray, hak-hak kaum perempuan harus didefinisikan kembali sehingga ia memperoleh hak yang sesuai dengan identitasnya sebagai perempuan. Dengan mendefinisikan hak-hak yang sesuai dengan dua jenis kelamin itu artinya kaum perempuan berupaya menggantikan susunan hak-hak abstrak yang mengandaikan individu-individu yang netral yang sama sebagaimana tertera dalam Deklarasi HAM Internasional. Di antara hak-hak konkrit yang mendukung identitas perempuan dimaksud, misalnya: hak untuk terhindar dari kekerasan fisik dan moral (hak tentang keperawanan dan kesucian pikiran), hak menjadi ibu yang bebas dari pengawasan sipil dan agama, hak terhadap kebudayaan perempuan yang spesifik, dan seterusnya.[12]

Selain upaya politis merumuskan nilai-nilai baru yang mempertimbangkan perbedaan seksual lelaki-perempuan, Irigaray secara fenomenologis juga menawarkan pola relasi baru yang khas feminin antara lelaki dan perempuan. Yakni suatu pola relasi intersubjektif yang menghargai perbedaan jenis kelamin, yang memungkinkan tidak adanya saling mengobjekkan atau saling mendaku antara diri (the self) dan yang lain (the other).

Pola relasi ini dirumuskan Irigaray saat membahas teks dari buku Maurice Merleau-Ponty Phenomenology of Perception tentang “tubuh seksual”.[13] Irigaray mengritik fenomenologi Ponty sebagai fenomenologi pesimistik, karena menurut Ponty, melalui kebertubuhan pola relasi diri dan yang lain (the other) adalah dialektika subjek-objek. Terhadap orang yang lain, saya menjadi subjek bagi diri sendiri dan sekaligus menjadi objek bagi orang lain. Irigaray juga menilai Ponty melupakan fungsi seksualitas sebagai suatu hubungan-dengan (a relationship-to), sekaligus mengabaikan persepsi sebagai sarana untuk menyambut yang lain sebagai yang lain (other).

Padahal melalui persepsi[14], dan bukan melalui sensasi, menurut Irigaray kita bisa melihat, mengenal dan lebih menghormatinya orang lain sebagai subjek, tanpa harus mengurangi nilai diri kita sebagai subjek. Demikian juga dalam relasi kebertubuhan, kita sama sekali bukanlah sosok subjek yang mencari objek dalam diri orang lain. Melainkan kita menyadari adanya relasi dialektik subjektifitas dan objektifitas itu dalam dan bagi diri kita, demikian juga bagi orang lain, tanpa suatu dikotomi subjek-objek. Dalam hubungan ini subjektif ini, masing-masing diri kita saling merawat dan menumbuhkan kejatidirian masing-masing.

Melalui fenomenologi, Irigaray melukiskan etika relasi perbedaan diri dan yang lain (the other) itu sebagai berikut:

Thanks to perception, we can each become, the one for the other, a bridge towards a becoming which is yours, mine, and ours. I can be a bridge for you, as you can be one for me…. I perceive You, I create an idea of you, I preserve you in my memory – in affect, in thought—in order to assist you in your becoming.[15]

Apa yang menarik dari argumentasi politis maupun filosofis yang khas feminin mengenai pentingnya basis perbedaan seksual lelaki-perempuan bagi pembebasan perempuan dalam relasi sosial dan simbolik ini adalah bahwa Irigaray juga menyuguhkan argumentasi yang bersifat biologis sebagai modal argumentasi. Dalam hal ini kajian Irigaray mengenai peran organ plasenta saat kehamilan ibu adalah contoh menarik.

Dalam wawancaranya dengan Helene Rouch, seorang guru biologi di sekolah Colbert, Paris, [16], Irigaray memperoleh insight berharga mengenai keterbukaan relasi yang ditunjukkan antara janin dan plasenta. Rouch menjelaskan, plasenta adalah jaringan yang terbentuk oleh embrio tetapi ia tetap merupakan entitas yang terpisah dan tidak tergantung pada embrio itu. Uniknya plasenta ini memainkan peran mediator pada dua level. Di satu pihak ia menghubungkan antara ibu dan janin, dan dipihak lain ia membentuk sebuah sistem yang mengatur pertukaran (baik berbentuk nutrisi dari ibu ke janin maupun berupa kotoran ke arah sebaliknya) diantara kedua organisme (ibu dan janin). Sehingga dalam hubungan yang kompleks ini, janin berkembang tanpa melemahkan ibu, dan tidak sekadar memasok nutrisi.

Dari penjelasan Helene Rouch ini, Irigaray mengambil titik kesimpulan penting. Plasenta adalah asal usul biologis dari relasi berbasis perbedaan dan penghormatan pada perbedaan. Ini artinya, tubuh perempuan memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh kebudayan (maksudnya: patriarki), berupa mekanisme toleransi terhadap perkembangan tubuh lain dalam dirinya tanpa menjadi penyakit, tanpa penolakan maupun kematian salah satu dari organisme hidup.

Irigaray menegaskan,

“Budaya antarlelaki bergerak terbalik. Artinya, menata diri dengan menyingkirkan dari masyarakatnya sumbangan dari jenis kelamin yang lain. Ketika tubuh perempuan memberi keturunan dengan menghormati perbedaan, kelompok masyarakat patriarkal dibangun secara hierarkis dengan menyingkirkan perbedaan.”[17]

Selain penjelasan biologis di atas, Irigaray juga mengajukan argumen pragmatis. Identitas gender yang dibangun berdasarkan perbedaan jenis kelamin perlu agar spesies manusia lestari, bukan hanya untuk reproduksi melainkan juga untuk kebudayaan dan regenerasi kehidupan.[18]

Catatan Akhir

Gagasan-gagasan Irigaray sebagaimana yang saya tampilkan dalam tulisan ini sangatlah istimewa. Melalui kajian filsafat dan psikoanalisisnya terhadap sejarah dan kesadaran manusia, ia berhasil membongkar sistem patriarki yang tersedimentasi dalam bahasa, masyarakat, dan kebudayaan yang meminggirkan posisi, peran, subjektifitas dan identitas kaum perempuan.

Namun Irigaray sesungguhnya tidak terpaku sampai di situ. Ia juga berusaha mencari jalan keluar agar kaum perempuan menemukan kembali identitas dan subjektivitasnya yang teredam melalui berbagai strategi. Irigaray menawarkan nilai-nilai baru yang digali dari pengalaman tubuh dan kebertubuhan perempuan, seperti: peran plasenta saat kehamilan perempuan, juga dari mitos-mitos sejarah dan simbol-simbol yang bisa mengembalikan subjektifitas perempuan, seperti: bunda Maria yang digendong ibunya, dan juga strategi untuk memutasi kaidah-kaidah bahasa, sistem budaya dan masyarakat.

Bagi Irigaray, karena peminggiran perempuan terjadi karena perbedaan jenis kelamin, maka pembebasannya pun haruslah bertolak dari pembedaan jenis kelamin. Oleh karena itulah, slogan kesetaraan lelaki-perempuan seperti yang disuarakan oleh sebagian kaum feminis harus ditolak sebab bunyi-bunyian itu utopia belaka. Tuntutan itu seperti mimpi saja di siang bolong, bahkan malahan saja tuntutan semacam itu bisa melanggengkan konstruksi sosial dan budaya patriarkal yang sudah terlanjur mendominasi dan menggelamkan identitas dan subjektifitas perempuan.

Namun dari sini untuk sebagian titik tolak perbedaan jenis kelamin ini melahirkan pertanyaan. Seolah-olah Irigaray memandang perbedaan laki-laki dan perempuan itu sebagai realitas yang homogen: lelaki mesti lelaki dan perempuan mestilah perempuan. Sebagaimana juga disinggung John Lechte dan Madan Sarup, secara politis hal ini menimbulkan sikap bahwa seorang laki-laki tidak bisa menjadi feminis. Mustahil ada lelaki feminis! Karena menurut Irigaray, kefemininan seorang lelaki adalah usaha penjajahan kesekian kalinya yang akan mengeluarkan perempuan dari ruang kulturalnya.[19]

Masalah inilah rupanya yang akan menjadi perbincangan hangat dalam untaian gagasan Irigaray. Ia begitu menekankan peran perempuan-sebagai-subjek, sehingga menjadi cara, kalau bukan satu-satunya cara, untuk keluar dari penjara patriarki. Dalam konteks inilah maka rasanya wajar bila perjuangan perempuan hanya mungkin apabila diupayakan oleh kaum perempuan sendiri dengan terlibat langsung dalam proses rekayasa kultural dan politik, demi menghindari bias-bias ideologis yang mungkin dalam proses itu. []

Daftar Pustaka:

Craig, Edward (ed.), Routledge Encyclopedia of Philosophy, Vol. 5, Routledge, London, 1998

Irigaray, Luce, Aku, Kamu, Kita: Belajar Berbeda, (terjemahan dari Je, tu, nous. Pour une culture de la difference), Penerbit KPG, Jakarta, 2005

Irigaray, Luce, To Be Two, The Athlone Press, London and New Brunswick, NJ, 2000

Irigaray, Luce, Thinking the Difference for a Peaceful Revolution, The Athlone Press, London, 1994

Lechte, John, 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Poststrukturalisme, (terj.), Penerbit, Kanisius, 2001

Sarup, Madan, Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis, (terj.), Penerbit Jendela, 2003


[1] Luce Irigaray, Aku, Kamu, Kita: Belajar Berbeda, (terjemahan dari Je, tu, nous. Pour une culture de la difference), Penerbit KPG, Jakarta, 2005, hal. 11-13. Menurut Irigaray tuntutan kesetaraan lelaki-perempuan adalah ekspresi kritik budaya yang dangkal, dan sekaligus bersifat utopis. Karena itu berarti menuntut pelenyapan perbedaan jenis kelamin yang sama halnya dengan upaya pembantaian umat manusia. Lagi pula, tuntutan itu hanya melanggengkan konstruksi sosial dan budaya patriarkal saja yang sudah terlanjur meminggirkan dan melenyapkan identitas dan subjektifitas perempuan.

[2] Madan Sarup, Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis, (terj.), Penerbit Jendela, 2003, hal. 204.

[3] John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Poststrukturalisme, (terj.), Penerbit, Kanisius, 2001, hal. 248

[4] Menurut Lacan, Yang Real merepresentasikan posisi ibu dan kematian, Yang simbolik sebagai lingkup hukum yang didasarkan pada demi Nama-Bapa, serta Yang Imajiner sebagai akibat dari Yang Simbolik dalam kesadaran dan imajinasi.

[5] John Lechte, Ibid., hal. 248-249

[6] Irigaray, Aku, Kamu, Kita, hal. 21-22

[7] Irigaray, Ibid., hal. 88-89

[8] Irigaray, Ibid., hal. 23-24

[9] Irigaray, Ibid., hal. 41

[10] Frase “To Be Two” merupakan judul salah satu buku Irigaray yang membahas masalah ini, yakni bagaimana membangun sebuah relasi lelaki-perempuan yang bukan saja berniat tanpa melenyapkan identitas dan subjektivitas salah satu dari kedua jenis kelamin, melainkan juga berorientasi saling menumbuhkan, memperkaya dan merawat kehidupan, kebebasan dan identitas masing-masing. Lihat, Luce Irigaray, To Be Two, The Athlone Press, London and New Brunswick, NJ, 2000

[11] Luce Irigaray, Thinking the Difference for a Peaceful Revolution, The Athlone Press, London, 1994, hal.xi. Bandingkan dengan: Luce Irigaray, Aku, Kamu, Kita: Belajar Berbeda, hal. 100

[12] Irigaray, Thinking the Difference, hal. xv-xvi

[13] Irigaray, To Be Two, hal. 20-22

[14] Bagi Irigaray, hanya dengan persepsi kita bisa menghubungkan antara penerimaan kita terhadap yang lain dan intensi kita pada dunia dan realitas lain. Sementara sensasi adalah pengalaman pasif yang membagi intersubjektifitas ke dalam dikotomi subjek dan objek. Bagi Irigaray hubungan yang dibentuk melalui sensai melahirkan intersubjektifitas yang dekaden.

[15] Irigaray, To Be Two, hal. 43

[16] Lihat Luce Irigaray, Aku, Kamu, Kita, hal. 48-50

[17] Irigaray, Ibid., hal. 57.

[18] Irigaray, Ibid., hal. 15 dan 45.

[19] Lihat John Lechte, Op.cit., Hal. 253; lihat juga, Madan Sarup, Op.cit., hal. 212-213

Teori Posmodern Dan Kapitalisme Ekonomi

Posmodernisme, dan Logika Kapitalisme Lanjut

Posted by Mh. Nurul Huda on 24 November 2006

Pengantar

Pada awal tahun 1960-an, jagad sosial-budaya disemarakkan oleh munculnya perkembangan baru baik dalam dunia kebudayaan maupun dunia pemikiran sosial dan filsafat. Munculnya berbagai mode berpikir dan cara melihat realitas secara baru ini pada umumnya dipengaruhi oleh berbagai kritik kultural maupun politis terhadap krisis kondisi modernitas yang telah melahirkan kecemasan, keterasingan, imperialisme, pembantaian (holocaust) dan perang.

Sejak kelahirannya mode berpikir baru ini terus berkembang dan menjadi perbincangan serius di kalangan filsuf, budayawan, ilmuwan sosial, dan para politikus, baik dalam cara pandang maupun dalam sisi validitas konseptualnya. Hingga kini perdebatan ini telah melibatkan banyak khalayak dan telah memproduksi ratusan literatur di segala bidang di bawah sebuah tema besar yang masih terus diperdebatkan yang kini disebut dengan: posmodernisme. Mereka yang terlibat dalam perbincangan fenomena baru ini di antaranya adalah Theodor Adorno, Max Horkheimer, Jurgen Habermas, Jean-Francois Lyotard, Richard Rorty, Jacques Lacan, Gilles Deleuze, Felix Guattari, Michel Foucault, Derrida, dan masih banyak lagi, termasuk pemikir sosial yang hendak dikupas dalam tulisan ini, yakni: Fredric Jameson.

Berbeda dengan para pemikir lainnya, Jameson memiliki mode berpikir yang tidak kalah unik dan khas dalam wacana posmodernisme. Analisisnya menunjukkan suatu upaya besar untuk merevitalisasi Marxisme dengan cara membangun sintesis antara wacana posmodernisme dan Marxisme. Jameson melihat posmodernisme sebagai totalitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan sejarah yang menandai gejala-gejala sosial mutakhir sejak 1950-an seiring dengan munculnya struktur masyarakat baru yang disebut dalam berbagai perbincangan akademis sebagai “masyarakat pos-industrial” (Daniel Bell), atau “masyarakat konsumer”, “masyarakat media”, “masyarakat informasi”, “masyarakat elektronik”, dan lainnya.

Bagi Jameson semua teori tersebut sebenarnya hendak melukiskan sebuah formasi sosial baru yang berbeda dengan struktur sosial kapitalisme lama. Yakni suatu formasi sosial-budaya yang lebih merupakan produk logika budaya kapitalisme multinasional.

Dalam tulisan ini, saya mencoba mengeksplorasi upaya-upaya Jameson membongkar dominasi kapitalisme multinasional dan sekaligus mengetengahkan strategi perlawanan terhadap gejala-gejala ini. Paparan ini saya maksudkan agar kita memiliki perspektif yang lebih luas dan cara baca yang kaya dan mendalam terhadap fenomena ekstasi budaya di sekitar kita.

Sekilas Fredrich Jameson

Fredrich Jameson adalah seorang kritikus budaya paling penting dalam tradisi berbahasa Inggris sekarang ini, dan dikenal sebagai penyokong utama tradisi teori kritis Marxisme Barat. Ia dikenal juga sebagai seorang teoritisi politik Marxis, sekaligus seorang kritikus sastra.

Jameson lahir di Cleveland, Ohio, pada tahun 1934. Setelah kuliah di Haverford College pada tahun 1954, ia bepergian ke Eropa dan mampir di Aix-en Provence, Munich dan Berlin, untuk belajar perkembangan baru filsafat kontinental termasuk strukturalisme. Berselang kemudian dia pindah Amerika dan mengambil studi doktoral di Yale pada tahun 1960 dan menggarap disertasinya dengan judul Sartre: the Origins of a Style, di bawah bimbingan Erich Auerbach, seorang ahli filologi Jerman yang juga pernah menulis sejarah style, yang lalu sangat berpengaruh pada Jameson.

Jean-Paul Sartre, tokoh eksistensialis Perancis ini sendiri adalah figur yang sangat berpengaruh pada tahap awal perkembangan filsafat dan politis Jameson, di samping pengaruh dari dua peristiwa yang saling terkait, yakni berakhirnya McCarthyisme[1] dan munculnya gerakan Kiri Baru (New Left). Pada saat menyelesaikan tesis doktoralnya, Jameson sendiri adalah bagian dari gerakan yang menentang aliran Kritisisisme Baru yang mendominasi Amerika waktu itu. Dan pilihannya terhadap figur Sartre bukan sekadar ingin mempelajari fenomenologi eksistensial, melainkan juga memiliki intensi politik. Bagi Jameson, Sartre merupakan teladan bagi sosok intelektual yang melambangkan intellectual engage dalam politik, yang “bagi keseluruhan generasi intelektual Perancis, dan bahkan bagi para intelektual Eropa, khususnya kaum muda Kiri di Inggris, juga di Amerika seperti saya sendiri, Sartre mewakili contoh intelektual politik, satu dari beberapa model penting yang kita miliki, bahkan seorang model yang serba mencukupi” (Sean Homer, 1998).

Pencarian Sartre terhadap formasi Marxisme yang relevan secara teoritis maupun secara politis bagi Perancis kontemporer dan terpisah dari dogmatisme Partai komunis dan Uni Soviet, berpengaruh sangat kuat pada pandangan Marxisme Jameson. Dan bagi Jameson sendiri Marxisme bukanlah sebuah sistem yang kaku, melainkan suatu wacana yang tersituasikan, pemikiran yang terbuka dan fleksibel yang berkembang sesuai dengan lingkungan historis yang spesifik. Oleh karena itu tugas kaum Kiri adalah membangun bentuk Marxisme yang mungkin sesuai dengan kebutuhan masyarakat Amerika kontemporer dan sesuai dengan ‘masalah-masalah khas yang lahir dari monopoli kapitalisme di Barat’ (Sean Homer, 1998: 9).

Dalam perjalanan karir intelektualnya, Jameson menulis banyak buku. Selain buku disertasinya di atas ia menulis Marxism and Form (1971), The Prison-House of Language (1972), The Political Unconscious (1981), Late Marxisme (!990), Signatures of the Visible (1990), Postmodernism or, The Cultural Logic of Late Capitalism (1991), The Geopolitical Aesthetic (1992), The Seeds of Time (1994) dan the Cultural Turn (1998).

Bukunya Postmodernism or, The Cultural Logic of Late Capitalism (1991) yang akan menjadi fokus kajian tulisan ini sesungguhnya adalah perluasan dari eseinya dengan judul yang sama dalam jurnal New Left Review yang terbit pada 1984. Karya ini adalah yang paling berpengaruh dan sistematis yang memformulasikan wacana posmodernisme dalam kebudayaan, dengan tesis utama bahwa gejala posmodernitas merupakan logika budaya kapitalisme lanjut.[2]

Fenomen Populisme Estetis

Gejala posmodernisme sebagai fenomena kebudayaan mulai menampakkan wajahnya yang khas kira-kira sejak akhir 1950-an dan awal 1960-an. Di masa-masa ini rupanya dunia telah berkembang sedemikian jauh melampaui masa-masa sebelumnya yang ditandai dengan berbagai perubahan radikal baik dalam lapangan kemasyarakatan, kesenian, kebudayaan, kesusasteraan, dan dunia arsitektural (Fredric Jameson, 1999: 1-3). Dalam bidang kesenian, misalnya. Muncul penolakan estetis dan ideologis terhadap gerakan seni modern, seperti: penolakan terhadap ekspresionisme abstrak dalam lukisan. Dalam kesusasteraan, muncul penolakan atas keyakinan adanya representasi final dalam novel dan juga atas aliran puisi modernis sebagaimana yang dikanonisasikan dalam karya Wallace Stevens. Sementara itu dalam pemikiran dan filsafat muncul penolakan atau kritik terhadap eksistensialisme, dan juga ditandai oleh lahirnya sejumlah mode pemikiran yang menyebut gejala-gejala “krisis” atau “kematian”, seperti “kematian ideologi”, “kematian seni”, “kematian kelas sosial”, atau “krisis Leninisme”, “krisis demokrasi sosial”, “krisis negara kesejahteraan” dan seterusnya.

Bersamaan dengan padamnya corak gerakan budaya modern tersebut, lalu muncul bentuk-bentuk ekspresi wajah budaya baru yang coraknya tampak lebih heterogen, empiris dan chaotic. Misalnya dalam seni populer, terdapat photorealisme; dalam musik ada sintesis style-style klasik dan populer seperti dalam karya-karya Phil Glass dan Terry Riley; ada budaya punk; ada gelombang baru musik rok, seperti the Beatles dan the Stones; sementara dalam film ada sinema dan video eksperimental dan juga tipe baru film-film komersial lainnya.

Selain itu ada juga gejala lain yang menunjukkan perubahan yang sangat jelas dan dramatis, yakni dalam dunia arsitektur. Bahkan bagi Jameson, perubahan dalam dunia arsitekturlah awal munculnya perdebatan seputar konsepsi posmodernisme ini. Jameson membedakan apa yang disebut dengan bentuk arsitektur modernisme tinggi (high modernisme) dan arsitektur posmodernisme. Menurut Jameson, gaya arsitektural modernisme tinggi telah merusak karya cipta model kota-kota tradisional dan kultur lingkungan lama dan menggantinya dengan model bangunan tinggi dan menjulang yang secara sosial berkesan angkuh, elitis, terpisah dengan konteks lingkungan sekitarnya, dan tampak otoritarian. Sementara posisi arsitektur posmodern mengritik model semacam ini. Estetika posmodern bersifat lebih populis karena hilangnya batas-batas antara budaya tinggi (high culture) dan budaya massa (mass/popular culture). Populisme ini bukan hanya tampak dalam estetika arsitektural, melainkan juga dalam bentuk budaya massa atau barang budaya komersial yang diproduksi secara massal dalam suatu industri budaya dan dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat.

Singkatnya, posmodernisme pada umumnya ditandai oleh sebuah gejala baru yang disebut dengan “populisme estetis”, yang memungkinkan munculnya berbagai artefak budaya yang bisa dikonsumsi secara massal.

Posmodernisme sebagai Dominan Budaya Kapitalisme Lanjut

Mulai dari pengamatan terhadap gejala budaya baru ini, Jameson rupanya secara cerdik berusaha membangun proyek intelektualnya. Menurutnya, gejala dominasi budaya dalam posmodernisme bukan sekedar fenomena perubahan style atau fashion belaka, melainkan juga fenomena sejarah. Dengan pernyataan ini sesungguhnya Jameson hendak mengungkapkan hubungan antara estetika atau transformasi sosial simbolik dalam ruang kebudayaan dengan transformasi historis mode produksi kapitalis. Dengan merujuk karya Ernst Mandel Late Capitalism (1972), Jameson menghubungkan tahap-tahap realisme, modernisme dan posmodernisme dalam momen estetis dengan tiga tahap fundamental dalam kapitalisme, yakni: tahap kapitalisme pasar klasik, kapitalisme monopoli (imperialisme) dan kapitalisme multinasional (late capitalism).

Ernst Mandel menguraikan tiga lompatan fundamental dalam evolusi teknologi mesin di bawah kendali modal. Pertama, produksi mesin dengan mesin uap tahun 1848; kedua, produksi mesin dengan mesin elektrik dan sistem pembakaran sejak tahun 1890; dan ketiga produksi mesin dengan mesin elektronik dan aparatus tenaga nuklir sejak tahun 1940-an. Periodesasi ini sekaligus menggarisbawahi tiga momen fundamental dalam kapitalisme: kapitalisme pasar, kapitalisme monopoli (imperialisme) dan kapitalisme multinasional. Menurut Mandel, kapitalisme multinasional merepresentasikan kapitalisme yang paling murni dari yang pernah ada karena telah melakukan ekspansi besar-besaran ke wilayah yang sebelumnya tidak dijadikan komoditas, seperti: penetrasi dan kolonisasi terhadap alam, kolonisasi wilayah estetika dan ketidaksadaran (unconciousness), yakni berupa penghancuran sistem pertanian prakapitalis dan kelahiran industri media dan iklan (Madan Sarup, 2003: 323-4). Mengikuti alur tahapan perubahan momen kapitalisme tersebut, Jameson lalu mengajukan sebuah analisis yang menyejajarkan posmodernisme dengan ekspansi komoditas budaya secara besar-besaran dalam tahap kapitalisme multinasional (late capitalism). Ia tampaknya masih mengikuti konsep basis-superstruktur Marx bahwa perubahan struktur ekonomis juga tercermin dalam perubahan kebudayaan meski hubungan ini sangat komplek.

Bagi Jameson, dalam era kapitalisme multinasional telah terjadi ledakan kebudayaan yang sangat luar biasa di segala aspek kehidupan yang ia sebut sebagai “dominan budaya” (cultural dominant). Di dalam cara mengada dunia seperti ini, konsep modern mengenai pembagian dan otonomi kerja dalam ruang-ruang sosial (ruang ekonomi, budaya, politik) telah runtuh: ruang budaya menjadi ruang ekonomi, sedangkan ruang ekonomi dan politik berubah menjadi bentuk-bentuk kebudayaan. Segala batasan-batasan produksi budaya era sebelumnya (modernisme) diterabas, tidak ada lagi kanonisasi atau institusionalisasi akademis modernis terhadap produk kebudayaan. Dalam pandangan Jameson, dominan budaya dalam era posmodern ini terjadi karena hampir semua “produksi estetis telah terintegrasi menjadi produksi komoditas” (Jameson, 1999: 4).

Kepentingan ekonomi kaum kapitalis memaksa produsen untuk menghasilkan barang-barang yang selalu baru dan mendorong mereka untuk berinovasi dan terus bereksperimentasi menciptakan barang-barang yang baru. Era yang juga disebut posmodernisme ini ditandai oleh komodifikasi besar-besaran di hampir seluruh ruang kehidupan, baik terhadap alam fisik maupun terhadap tubuh manusia sendiri. Dengan kata lain, dominan budaya posmodernisme secara struktural adalah representasi kultural dan ideologis kapitalisme lanjut (late capitalism/multinasional capitalism) dan secara sosial diterima sebagai budaya konsumerisme.

Mengenai istilah “late capitalism” serta situasi dan kondisi di dalamnya, Jameson memberikan catatan yang menarik. Istilah itu berasal dari Madzhab Frankfurt, diantaranya Theodor Adorno, Max Horkheimer, dll. dan menunjuk pada bentuk kapitalisme yang datang dalam periode modern dan kini sedang mendominasi era posmodernisme. Jika late capitalism versi Madzhab Frankfurt ditandai dengan dua ciri esensial: jaringan kontrol birokrasi dan interpenetrasi kapitalisme negara, maka Jameson menambahkan versi late capitalisme[3] tersebut dengan elemen-elemen baru posmodernisme, yakni:

Pertama, munculnya formasi-formasi baru organisasi bisnis yang bersifat multinasional dan transnasional yang melampaui tahap kapitalisme monopoli ala Lenin, yakni melampaui batas-batas nasional (Jameson, 1999: xviii-xix).

Kedua, internasionalisasi bisnis melampau model imperial lama. Dalam tata dunia kapitalisme baru, korporasi multinasional tidak terikat pada satu negara tetapi merepresentasikan sebentuk kekuasaan dan pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang satu negara manapun. Internasionalisasi ini juga berlaku dalam pembagian kerja yang memungkinkan eksploitasi yang terus berlanjut terhadap para pekerja di negara-negara miskin guna mendukung modal multinasional. Dalam hal ini Jameson lalu menunjuk pada “aliran produksi ke wilayah-wilayah dunia ketiga yang sudah maju, bersamaan dengan akibat-akibat sosial yang sudah lazim meliputi krisis buruh tradisional, munculnya profesional muda yang ambisius (yuppies) dan kelas elit (gentrification) pada skala global” (Jameson, 1999: xix).

Ketiga, dinamika baru yang tak seimbang dalam perbankan internasional dan pertukaran saham, termasuk utang dunia kedua dan ketiga yang sangat besar (Jameson, Ibid.). Melalui struktur perbankan yang seperti itu perusahaan multinasional Dunia Pertama mempertahankan kontrol mereka terhadap pasar dunia.

Keempat, munculnya formasi-formasi baru interrelasi media. Bagi Jameson, media termasuk salah satu produk baru kapitalisme lanjut yang sangat berpengaruh, seperti: print, internet, televisi, dan film, dan merupakan sarana-sarana baru bagi kaum kapitalis mengambil alih kehidupan kita. Melalui proses mediasi kebudayaan, kita semakin tergantung pada realitas yang dihadirkan media, yakni versi realitas yang dipenuhi secara dominan dengan nilai-nilai kapitalis.

Kelima, komputer dan otomatisasi (Jameson, Ibid.) Kemajuan-kemajuan dalam otomatisasi komputer memungkinkan produksi massal sampai pada taraf yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menghasilkan profit-margins lebih besar bagi korporasi multinasional.

Keenam, keusangan (planned obsolescence) (Jameson, 1999: 5). Jameson menyatakan bahwa dibalik produksi secara besar-besaran barang-barang yang selalu baru, baru dan baru lagi, dan terus menerus diperbarui agar tampak tak ketinggalan, dari baju sampai pesawat terbang, telah menandai fungsi dan posisi struktural yang semakin esensial bagi inovasi dan eksperimentasi estetik.

Dan terakhir adalah dominasi militer Amerika. Di balik dominan budaya posmodernisme, Jameson mengungkap sebuah kenyataan secara lugas bahwa “This whole global, yet American, postmodern culture is the internal and superstructural expression of a whole new wave of American military and economic domination throughout the world: in this sense, as throughout class history, the underside of culture is blood, torture, eath, and terror” (Jameson, 1999: 4).

Elemen-Elemen Budaya Posmodernisme

Berangkat dari kerangka referensi ekonomi-politik yang ajukan Mandel di atas beserta kesimpulan mengenai logika kapitalisme multinasional di belakang dominan budaya posmodernisme, Jameson lalu berupaya memahami elemen-elemen budaya posmodernisme sambil melukiskan karakter dasar masyarakatnya (masyarakat posmodern).

Pertama, posmodern ditandai dengan “kedangkalan” yang disebabkan oleh realitas pencitraan. Produk kultural posmodernisme dipenuhi dengan citra-citra (image) yang dangkal dan tidak memuat kedalaman makna di dalamnya. Contoh yang baik mengenai “pendangkalan” ini adalah maraknya berbagai produk iklan komersial di media massa. Setiap waktu dan setiap detik masyarakat disuguhi berbagai tontonan (spectacle) atau adegan peristiwa yang dibungkus dengan pencitraan tertentu yang direpresentasi melalui media massa. Dalam konteks ini, “masyarakat tontonan” secara terus menerus dibombardir oleh pesona “simulakrum” yakni suatu kopian dari salinan realitas yang tidak memiliki referensi pada realitas sesungguhnya. Budaya posmodernisme dilingkupi oleh produksi citra-citra atau gambaran-gambaran dunia yang tidak memiliki rujukan pada kenyataan. Karena itu ia menebarkan “kedangkalan makna” dan sekaligus melarutkan pikiran manusia dalam “kedangkalan” untuk terus menerus bertindak konsumtif tanpa mampu memaknai kehidupan itu sendiri.

Kedua, posmodernisme ditandai oleh kepura-puraan atau kelesuan emosi, atau oleh apa yang disebut Jameson sebagai ”the wanning of affect”. Menurut Jameson, selain telah terjadi perubahan dalam dunia objek (munculnya simulakrum), perubahan mendasar juga terjadi dalam dunia subjek. Perubahan subjek individual yang dimaksud di sini adalah hilangnya bentuk estetika yang merepresentasikan ekspresi individual dan personal yang otonom. Eksistensi subjek individu otonom yang memiliki ekspresi atau style yang unik dan personal serta keotentikan perasaan individual kini sudah lenyap. Subjek individu telah terfragmentasi, terbelah-belah hingga ke dalam relung dasar emosi (Jameson, 1991: 10-11).

Contoh yang menarik dalam konteks sekarang ini adalah kasus komodifikasi sosok artis melalui pembentukan citra diri di media massa, khususnya televisi. Menurut Jameson konstruksi citra diri artis semacam itu (Jameson memberikan contoh artis Marilyn Monroe) sesungguhnya adalah tontonan belaka (spectacle) dan sama sekali tidak merepresentasikan individualitas otentik artis tersebut. Jadi ada sejenis eforia aneh berkaitan dengan perasaan posmodern atau yang disebut Jameson dengan istilah “intensitas-intensitas”. Ada intensitas yang terjadi ketika tubuh berhubungan dengan media elektronik. Muncul kepura-puraan, suatu bentuk kesemuan. Jameson juga memberi contoh sebuah foto pemandangan kota “dimana kecelakaan mobil bahkan diberi pancaran cahaya yang mengkhayalkan kegemerlapan kehidupan kota”. Eforia berdasarkan kecelakaan mobil di tengah-tengah kemelaratan urban semacam itu benar-benar sejenis gejala luapan emosi yang aneh.

Ketiga, posmodernisme ditandai oleh hilangnya kesejarahan. Kita tidak bisa mengetahui sejarah atau masa lalu, meski semua yang kita jalankan pada masa kini adalah hasil naskah tentang masa lalu. Menurut Jameson, hilangnya rasa sejarah ini menyebabkan “kanibalisasi atau peniruan acak terhadap gaya masa lalu”. Pemahaman ini membawa kita pada konsep kunci dalam posmodernisme, yakni pastiche(Jameson, 1991: 67-97).

Pastiche adalah praktek peniruan atau imitasi mentah-mentahan atas sesuatu yang asli tanpa maksud-maksud tersembunyi apapun, tanpa motif kritik maupun parodi (Sean Homer: 104). Contoh yang baik dalam kasus ini adalah produksi dan distribusi film-film nostalgia bikinan Hollywood. Film-film ini sebenarnya diproduksi atas dasar konsep pastiche yang hanya mengcopy dan meniru saja peristiwa-peristiwa sejarah masa lalu. Apa yang ditekankan film-film ini adalah sekadar bentuk dan kualitas citra/gambar (image) dengan isi yang dibentuk seolah nyata. Padahal jenis konsumsi budaya semacam ini tidak mereferensikan kompleksitas konstekstualnya, dalam artian film semacam itu sama sekali tidak menunjuk pada realitas konteks yang sesungguhnya melainkan hanya mengeksploitasi pencitraan dan stylization yang hampa makna, yang ditujukan untuk komodifikasi dan konsumsi. Menurut Jameson fenomena stylization atau pastiche ini merupakan gejala runtuhnya historisitas, suatu keterputusan dengan sejarah, dan sekaligus gejala ketidakmampuan kita merepresentasikan pengalaman kekinian kita sendiri (Jameson, 1991: 21).

Keempat, posmodernisme ditandai oleh pasar media global yang berperan besar menggabungkan dunia hiburan dengan periklanan dan telah menarik masyarakat ke dalam ideologi konsumerisme. Bagaimana ini terjadi? Dalam pasar media global telah terjadi simbiosis antara pasar (market) dan media, sedemikian rupa sehingga batas-batas antar keduanya meluntur. Konsekuensinya muncul suatu tendensi bahwa komoditas diidentikkan dengan citranya dalam media, “yang real” tidak dibedakan dari “yang tidak real”. Dan dalam arti tertentu pula tidak ada pemisahan antara sesuatu benda dengan konsep benda itu, antara ekonomi dan kebudayaan, bahkan antara basis dan suprastruktur.

Dalam konteks inilah Jameson lalu menyatakan bahwa kini produk komersial telah tersebar dan menempati seluruh ruang segmen hiburan, bahkan menjadi bagian dari hiburan itu sendiri. Bahkan bagi Jameson, dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi reproduksi, seperti komputer dan internet, kini muncul tipe konsumsi yang lain, yakni: mengkonsumsi proses konsumsi itu sendiri, yang melampaui isi dan produk komersialnya. Segalanya menjadi komoditas termasuk apa-apa yang diproduksi media, seperti produksi gaya hidup, fashion, bintang dan selibritis, dll (Jameson, 1994: 292-293). Bukan hanya itu, Dengan demikian benarlah bahwa gejala hilangnya batas-batas modern antara seni budaya tinggi yang dimonopoli kaum aristokratik dan seni budaya “rendah” milik masyarakat berkat teknologi media, pada saat yang sama sesungguhnya menandai suatu estetisasi komoditas berdasarkan selera komersial. Atau dengan kata lain telah berlangsung “the becoming cultural of economic, and the becoming economic of the culture” di dalam era posmodernisme (Jameson, 1998: 60). Selain itu dalam pandangan Jameson, elemen budaya pasar juga telah menghapuskan perbedaan kelas sosial dengan cara mensimulasi dan mengemas perbedaan-perbedaan kelompok etnis kultural itu menjadi sekadar identitas-identitas gaya hidup yang bisa dijual (Jameson, 1991: 318-330; 340-356). Perubahan radikal juga terjadi dalam finansial. Jenis uang sebagaimana yang lazim kita kenal kini telah mengalami dematerialisasi ke dalam trilyunan kode-kode digital, mengalami deteritorialisasi, dan bisa ditransfer kemanapun di seluruh dunia dengan kecepatan yang belum pernah diperhitungkan, yang sekaligus mengundang spekulasi dalam ruang cyber global.

Kelima, posmodernisme ditandai dengan temporalitas dan spasialitas yang paradoks. Jameson menggunakan konsep schizophrenia untuk menandai temporalitas posmodernisme. Jameson mengambil istilah ini dari Lacan. Lacan melihat schizophrenia terutama sebagai language disorder, yakni kegagalan ikut serta di dalam tatanan simbolik, dunia percakapan dan bahasa. Menurut Lacan pengalaman temporalitas (usia manusia, masa lalu, masa kini, ingatan, dan bertahannya identitas personal) adalah pengaruh bahasa. Kita bisa memiliki pengalaman waktu konkrit atau hidup, karena bahasa memiliki masa lalu dan masa depan. Namun, karena orang mengalami schizophrenia sehingga tidak tahu artikulasi bahasa dengan cara seperti itu, maka ia tidak mengalami pengalaman kontinuitas temporal seperti yang kita alami. Dalam pandangan Jameson, pengalaman schizoprenia inilah yang dialami oleh masyarakat konsumeris. Mereka selalu mencari sesuatu yang baru dan berusaha mengkonsumsi hal yang terbaru terus menerus guna memenuhi selera itu. Manusia posmodern terbelenggu dalam “kekinian abadi”, dan dalam kondisi itu membuatnya ingin selalu memenuhi hasrat kekinian atau kebaruan secara lebih intens dan semakin besar.

Paradoks yang membangun temporalitas posmodern adalah perubahan yang sedemikian cepat dalam fashion, gaya hidup (style), bahkan dalam keyakinan-keyakinan. Tetapi pada saat yang sama perubahan cepat ini juga disertai dengan standardisasi dunia kehidupan, karena kita bisa membeli komoditas yang sama di seluruh pelosok dunia (Sean Homer, 1998: 105; Madan Sarup, 2003: 257).

Sementara itu paradoks dalam spasialitas posmodern ditandai dengan munculnya fenomena yang disebut dengan neologi “glokalisasi” (glocalization). Artinya yang global itu sendiri sekarang ditemukan dalam yang lokal. Perusahaan-perusahaan transnasional menyebar dan melewati batas-batas teritorial negara, mereka mengemas dan memasarkan komoditasnya melalui identitas-identitas nasional spesifik dalam sebuah negara. Dengan demikian globalisasi menyamarkan dirinya sebagai regionalisme. Identitas etnis dan gaya hidup dikemas dan dijual ke pasar dunia. Lalu ideologi standardisasi pasal global ini menjualnya pada kita sebagai perayaan atas perbedaan, stimulasi libidinal, dan suatu hyperindividualitas yang mendorong individu-individu itu ke dalam hyperkonsumsi (Sean Homer, 1998: 147-148).

Berdasarkan paparan ini bersamaan dengan perubahan-perubahan penting dalam hegemoni ekspansi modal multinasional dan penetrasi, kolonisasi, serta komodifikasi semua bidang kehidupan, Jameson membuat kesimpulan yang sangat menarik: manusia posmodern tinggal dalam ruang yang disebut “global hyperspace”. Ruang yang tampak penuh dengan jebakan dan perangkap yang menggoda, menggiurkan dan sekaligus juga mengkhawatirkan.

Istilah ini terkait dengan dengan konsep Jean Baudrillard tentang “hyperreality”: yakni situasi dimana kedalaman (the depth) dan materialitas dunia real sedang jatuh dalam “kedangkalan” selera, rayuan komoditas dan godaan simbol-simbol pencitraan yang mematikan pikiran cerdas dan subjektifitas manusia. Manusia dan masyarakat posmodern larut dalam “kekinian abadi” dan tenggelam dalam “kedangkalan” budaya konsumer, serta tidak mampu menghubungkan kedalaman masa lalu dengan lingkungan masa kini. Dalam ruang hyperspace semacam ini, individu-individu tidak mampu membayangkan suatu masa depan yang berbeda dan tidak mampu memusatkan diri pada cita-cita dan sejarahnya, kecuali hanya jatuh dalam eforia berlebihan terhadap tontonan (spectacle) yang semu, gaya hidup yang superfisial dan citra konsumerisme yang berujung pada kehampaan diri (Jameson, 1999: 317).

Selain itu global hyperspace juga berdampak pada individu sebagai subjek politik. Menurut Jameson, individualisme dan identitas personal nyaris sekadar warisan masa lalu, bahkan sudah mati karena individu-individu itu kini telah masuk ke dalam realitas multidimensional jaringan global kapitalisme multinasional. Ruang hyperspace melahirkan problem politik. Individu sebagai subjek telah kehilangan peta, tidak mampu memahami posisi, ruang dan situasi historisnya di dalam hegemoni sistem kapitalisme global. Sebuah problem yang pada bagian berikutnya hendak diatasi oleh Jameson melalui konsep sentralnya tentang cognitive mapping (pemetaan kognitif).

“Cognitive Mapping” dan Strategi Perlawanan Politik

Dari paparan di atas diperlihatkan dengan jelas bagaimana ruang budaya global posmodernisme menyediakan jebakan dan telah mengkooptasi subyek individual. Berbagai aktifitas resistensi budaya lokal dan intervensi politis pernah dilakukan oleh beberapa kelompok politik, namun diam-diam aktifitas itu layu, terlucuti dan bahkan terserap sendiri ke dalam pusaran arus sistem global itu karena ketidakmampuannya mengambil jarak dari kekuatan supra-sistem. Problem utamanya adalah subjek individu tidak memiliki kemampuan untuk memetakan jaringan komunikasi yang begitu terdesentralisasi dan bersifat multinasional dalam kekuasaan hegemonial kapitalisme global.

Oleh karenanya dalam konteks ini, Jameson menawarkan dua bentuk strategi resistensi budaya untuk melawan logika posmodernisme.

Pertama, strategi homeophatik. Yakni suatu praktek budaya hegemoni-tandingan (counter-hegemonic cultural practices) yang dilakukan dengan cara menyerang citra spektakuler masyarakat kapitalisme lanjut dari dalam dengan menggunakan berbagai sumberdaya imagistik. Atau dalam bahasa Jameson sendiri “merusak citra dengan citra itu sendiri, dan dengan merencanakan logika simulakra dengan dosis simulakra yang lebih besar lagi”. Termasuk dalam upaya ini adalah membuat gangguan budaya, membuat praktek-praktek bermakna perlawanan, dan juga menolak nilai-nilai yang dikomodifikasikan.

Kedua, strategi cognitive mapping. Strategi ini digunakan untuk memecahkan problem posmodernisme, seperti: simulasi media dan hyperealitas komersial, yang sudah melumpuhkan agen politik dan kehendak perubahan sosial. Caranya adalah mendorong individu dan masyarakat untuk menciptakan budaya politik baru dengan menyadari the truth of postmodernism sebagai ruang dunia kapitalisme multinasional. Tugas setiap individu adalah membuat terobosan untuk menciptakan cara baru merepresentasikan diri dalam berhubungan dengan ruang dunia kapitalisme global sebagai suatu keseluruhan (yang berbeda dengan representasi kapitalis), dan lalu mulai memahami positioning mereka sebagai individu dan subjek kolektif dalam ruang dan waktu historis, yang pada akhirnya melangkah untuk berjuang melawan dominasi logika kapitalisme (Jameson, 1999: 54).

Bagi Jameson, karena posmodernisme adalah logika budaya kapitalisme multinasional yang mengglobal dan total, maka strategi cognitive mapping pada dasarnya adalah strategi pemetaan dan perlawanan yang berangkat dari subjek-subjek individu yang berorientasi total dan global pula. Ini artinya Jameson hendak menekankan pentingnya formasi kesadaran kelas berskala global dan gerakan-gerakan terorganisasi lain berskala global untuk melawan totalisasi kapitalisme multinasional.

Catatan Akhir: Relevansi Pemikiran

Mencari relevansi pemikiran Fredric Jameson dalam konteks masyarakat kita sekarang bukanlah perkara sulit. Lihatlah mereka para eksekutif muda yang bermalas-malasan saat kerja, atau kaum muda mudi yang tidak bersemangat saat harus membaca buku di bangku kuliah. Mereka lebih banyak waktu untuk menghabiskan waktu di diskotik dan pusat hiburan atau berbelanja di mall-mall dan pusat perbelanjaan atau pergi ke salon-salon kecantikan, tempat fitness, dan lain-lainnya. Pemikiran Jameson sangat relevan untuk melihat bagaimana mutasi budaya kapitalisme telah menciptakan apa yang disebut dengan “masyarakat komoditas” atau “masyarakat konsumeris”.

Masyarakat komoditas, kata Adorno, adalah masyarakat yang didalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama untuk memenuhi kebutuhan, melainkan demi profit dan keuntungan. Oleh karena itulah akan lahir konsentrasi kapital yang luar biasa yang memungkinkan terselubungnya operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari barang-barang yang distandarisasi. Dalam masyarakat komoditas telah terjadi komodifikasi seluruh ruang kehidupan dan ranah kebudayaan (produk, tontonan, informasi, olahraga, pendidikan, moralitas, religiusitas, cinta dan harga diri), dan menjadi tonggak munculnya drama masyarakat yang lebih pelik dan angkuh, yakni “masyarakat konsumer pasca modern” (Idi Subandy Ibrahim, 1997: xiii-xlvii).

Masyarakat konsumer adalah masyarakat yang dikuasai oleh hasrat konsumsi yang yang digelar lewat program gaya hidup dan citra diri dan dikemas dalam paket-paket komersial, melalui media televisi, film, MTV, iklan, majalah populer, dan seterusnya. Masyarakat konsumer dikendalikan oleh hasrat pemujaan gaya hidup dan penampilan diri. Oleh karena itulah orang tidak perduli apakah hidup hanya sekali, yang penting bagaimana bisa tampil modis dan trendy. Dalam ruang seperti ini tidak ada kreatifitas kultural selain menghamba pada citraan-citraan yang disajikan lewat TV, seperti Indonesian Idol, AFI, program kecantikan, dan gaya hidup selebritis, sesuatu yang disebut Bre Redana sebagai “budi daya kebodohan”.

Masyarakat konsumer posmodern adalah masyarakat yang kehilangan, meminjam istilah Jameson, peta kognitifnya. Mulai dari pejabat pemerintah, politisi, hingga aktivis mahasiswa. Mereka larut dalam godaan budaya pop dan tenggelam dalam hingar-bingar kemewahan dan perayaan gaya hidup yang artifisial yang diciptakan menurut logika kapitalisme lanjut yang berdiri kokoh di atas perkembangan teknologi komunikasi dan informasi.

Menarik apa yang disinyalir mantan Ketua MPR Amien Rais dalam seminar mahasiswa akhir 2005 lalu bahwa gerakan mahasiswa pasca kejatuhan Soeharto telah berubah. Gerakan mahasiswa yang dulu bersemangat, kini seperti “mati suri”. Aksi demonstrasi yang dilakukan untuk kepentingan rakyat tak banyak digelar, dan mahasiswa lebih banyak dibelenggu kemewahan hidup akibat kapitalisme (Kompas, 19-12-2005). Rupanya gejala ini juga paralel dengan kesimpulan Ariel Heryanto yang menyatakan secara parodis bahwa “yang kini melumpuhkan aktivisme bukan semprotan gas air mata Brimob, tapi semprotan parfum Paris”. Inilah manifestasi nyata jebakan-jebakan posmodernisme sebagai logika budaya kapitalisme lanjut. []

Bahan Bacaan:

Best, Steven & Kellner, Douglas, Teori Posmodernisme: Interogasi Kritis, Boyan Publishing, Yogyakarta, 2003

Docherty, Thomas (ed.), Postmodernism: A Reader, Harvester Wheatsheaf, England, 1993

Homer, Sean, Fredric Jameson: Marxism, Hermeneutics, Postmodernism, Routledge, New York, 1998

Ibrahim, Idi Subandi (ed.), “Lifestyle Ecstacy: Kebudayaan Pop dalam ‘Masyarakat Komoditas’ Indonesia” dalam Idi Subandi Ibrahim (ed.), Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta & Bandung, 1997

Jameson, Fredric, “Cognitive Mapping” dalam Nelson, Cary & Grossberg, Lawrence (eds.), Marxisme and the Interpretation of Culture, MacMillan Education, London, 1988

Jameson, Fredric, Postmodernism, or, The Cultural Logic of Late Capitalism, Duke University Press Durham, 1991

Jameson, Fredric, “Postmodernism and the Market”, dalam Slavoj Zizek, Mapping Ideology, Verso, London-New York, 1994

Jameson, Fredric & Miyoshi, Masao (eds.), The Cultures of Globalization, Duke University Press, London, 1998

Jameson, Fredric, “Notes on Globalization as a Philosophical Issue” dalam Jameson, Fredric & Miyoshi, Masao (eds.), The Cultures of Globalization, Duke University Press, London, 1998

Nelson, Cary & Grossberg, Lawrence (eds.), Marxisme and the Interpretation of Culture, MacMillan Education, London, 1988

Piliang, Yasraf Amir, “Realitas-realitas Semu Masyarakat Konsumer: Estetika Hiperealitas dan Politik Konsumerisme”, dalam Idi

Subandi Ibrahim (ed.), Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta & Bandung, 1997

Ritzer, George & Goodman, Douglas J., Teori Sosiologi Modern (terj.), Prenada Media, Jakarta, 2004

Sarup, Madan, Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis, Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2003

[1] McCarthyisme menunjuk pada usaha pemerintah Amerika di bawah senator McCarthy menangkap dan menginterogasi tanpa bukti kuat individu-individu dan tokoh penting yang dituduh menjadi anggota komunis atau simpatisannya. Peristiwa ini terjadi pada 1950-an dan merupakan dampak langsung dari perang dingin antara dua blok, Barat dan Timur.

[2] Ernest Kellner dalam “Jameson, Marxisme, and Posmodernism” menyebut teks ini sebagai rangkaian studi teoritis dan historis yang memberikan metodologi, kerangka kerja dan analisis teoritis yang diperlukan oleh teori masyarakat kontemporer. Jameson mengonseptualisasikan posmodenisme sebagai produk perjalanan sejarah yang spesifik, yakni transisi dari sistem kapitalisme monopoli/negara nasional yang khas menuju sistem kapitalisme bisnis multinasional yang saling berpautan. Tanggapan Kellner ini dikutip oleh Sean Homer, Ibid., hal. 99

[3] Secara umum Jameson memahami ‘late capitalism’ sebagai keadaan yang sedemikian meresap dalam zaman kita sekarang, sebuah kondisi yang menyangkut struktur ekonomi dan budaya. “What ‘late’ generally convey is … the sense that something has changed, that things are different, that we have gone through a transformation of the life world which is somehow decisive but incomparable with the older convulsions of modernization and industrialization, less perceptible and dramatic, some how, but more permanent precisely because more thoroughgoing and all-pervasive” (Jameson, 1999: xxi)

This entry was posted on 24 November 2006 at 11:09 am and is filed under Teori sosial/budaya. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.